Y

1644 Kata
Ada yang bilang kalau pangeran berkuda putih itu hanya ada di negeri dongeng. Gak ding! Aku melihat langsung dengan kedua mataku. Ada sosok pangeran berkuda putih yang membopongku saat bintang-bintang di kepalaku berputar-putar. Wangi sekali, aku tidur nyaman dalam dekapannya. Hangat. Aku suka. Pangeran itu tersenyum, manis sekali. Melebihi es gula batu di kantin kampus, sumpah! Dia mendekat dan mulai mencumbuku. Lembut dan membuai! Mengecap seluruh rongga mulutku. Sungguh memabukkan. Apa ini sentuhan bidadara syurga? Membangkitkan seluruh syaraf di titik sensitif-ku. Nafasku memburu. Hingga samar-samar terdengar seseorang memanggil. "Mom! Mommy! Wake up!" Tunggu, itu kan suara tuyul kecil yang akhir-akhir ini merecoki hidupku. Perlahan mataku memicing. Sial! Ternyata yang tadi hanya mimpi. Aku bangun dan duduk. "AA!!" Seekor kucing melompat dari sampingku. Kaget banget! Sue! "Huft, akhirnya si catty lepas juga dari dekapan Mommy," ucap si Moza sambil tersenyum lebar, memamerkan giginya yang penuh dengan noda coklat. Ah, bukan hanya giginya ternyata, tangan dan pipinya juga sudah tak berbentuk lagi. Penuh dengan coklat. "Apa kamu bilang? Mom dekap kucing?" tanyaku bingung, lalu menatap hewan berbulu tebal yang dipanggil si Catty itu. "Iya, erat banget. Tapi catty juga nampaknya nyaman. Padahal aku ingin main sama catty," jawabnya dengan bibir cemberut. "Serius?! Jadi yang terasa nyaman itu ..." Anjir! Pangeran berkuda putih dari negeri antah berantah ternyata makhluk berbulu yang sangat tidak kusukai! "Mom juga suka catty ya?" tanya Moza lalu mengambil kucingnya dan memeluk erat makhluk itu. "Ih, enggak!" jawabku sambil bergidik ngeri. "Buktinya Mom tak mau melepaskan catty," jawab Moza, bibirnya tersenyum lebar sambil mengelus kepala kucing itu. "Ya udah terserah kamu! Ntar mewek lagi! Eh, tapi kamu tahu gak siapa yang gendong Mom ke sofa ini?" Lho, ini kamar kan? Keningku berkerut berkali-kali lipat. "Bukannya semalam kita ada di ...." Wait, apa ini?! Omaigat! Berani dikutuk jadi wanita terseksi di dunia! Kenapa bajuku jadi kaos oblong kelonggaran begini?! Celana dalamku! No, no, aku segera memeriksanya. Oh, huft, warnanya masih sama dengan yang kupakai terakhir kali. Tapi kok berasa ada yang kurang ya? Bra!!! Sumpah, braku kemana?! "Dad bilang, Mom mabuk berat, karena itu aku yang jalan dan Mom yang digendong," jawab Moza sambil sedikit cemberut. Sejenak aku berpikir, "Jadi Mom digendong?" "Iya, menyebalkan sekali! Harusnya aku yang digendong! Tapi Dad bilang terkadang orang dewasa juga butuh digendong." "Sama siapa?!" tanyaku panik. "Apanya?" tanya Moza tanpa melihatku, tangannya sibuk mengelus kucing berbulu tebal yang tampak nyaman, lalu kucing itu turun dari pangkuan Moza,"Sini catty!" "Jawab Moza! Jujur, siapa yang gendong Mom semalam? Dan bagaimana bisa Mom ganti baju?" Moza diam, lalu tubuhnya berdiri tegap sambil menepuk d**a. Lah ngapain tuh bocah? "Daddy bilang, ini rahasia sesama pria!" jawabnya sambil mengangguk mantap. Mataku menatapnya curiga, "Rahasia?" "Iya." "Moza! Tidur ke kamarmu!" suara ngebass milik Pak Michael terdengar dari luar kamar. Bentar, kalau begitu, ini kamarnya ... Si Mimisan k*****t itu?! "Ok, Dad! Aku hanya mengambil catty yang tidur dengan Mom tadi." Moza hendak keluar dari kamar. Entah kenapa kok aku malah gak mau badut kecil itu keluar dari sini ya? Berduaan dengan Pak Michael sedikit agak horror. "Eh, mau kemana?" tanyaku. "Mau tidur!" jawabnya singkat. "Tidur sama Mommy yuk?" bujukku dengan memasang tampang termanis sepanjang sejarah. Berharap anak kecil belepotan dengan coklat itu bisa memenuhi ajakanku. Alih-alih menerima, Moza malah menggeleng. "Anak pria harus tidur sendiri!" ucapnya mantap. "Good boy!" sahut Pak Michael sambil mengacungkan jempolnya. Ck, sial dasar kloningan mimisan k*****t, susah amat sih dibujuk gitu aja? Tapi aku gak nyerah. Rasanya tak rela jika harus tidur berdua dengan manusia kaku itu. Bukan mustahil dia memberiku lagi buku super tebal untuk diresensi. Kuhampiri Moza yang sudah keluar dari kamar. "Moza!" "Yes, Mom?" "Kamu tahu gak, katanya nih ya, kalau musim hujan begini, banyak hantu berkeliaran lho?" "Benarkah? Apa seperti di film Annabelle? Aku pernah lihat sama Daddy." Anjrit! Tuyul gendut ini bukan tipe penakut rupanya. Pantas saja gak masalah tidur sendiri. "Kamu gak takut?" tanyaku meyakinkan. "Tidak." "Sama sekali tidak takut?" Moza menggeleng. "Apa malam ini Mom merasa takut? Apa ada kecoa?" tanyanya cemas. Wait, kecoa dia bilang? Jangan-jangan .... "Moza, katanya nih ya, kecoa di malam hari sering berkekuatan lho?" Wajah Moza sedikit menegang. "Tapi Daddy bilang, rumah ini aman dari serangga." "Ish, kamu gak tahu ya? Di tempat tak tersentuh seperti dalam lemari, kecoa suka datang." Tebakanku tidak meleset. Anak gendut ini ternyata takut kecoa. Bagus, kena kau! "Mom mau tidur sama aku?" Mataku berbinar cerah, "Yah, tentu saja. Ayo!" Aku hendak menuntun Moza ke kamarnya. Tapi kaki anak itu malah tak beranjak sedikit pun. "Lah, kenapa, Moza? Yuk ke kamar kamu!" Moza menggeleng. Wajahnya masih tegang. "Jangan di kamarku." "Loh kok, kenapa?" "Di kamarku ada satu lemari yang jarang kubuka," jawabnya sambil merengut. "Emangnya kenapa?" "Bukannya tempat tak tersentuh jadi tempat terbaik makhluk menjijikkan itu?" tanyanya sambil meringis. Lah, senjata makan tuan! Dia jawab pake omonganku sendiri. Tadinya sih pengen tidur beda kamar gitu ya sama Pak Mimis. Tapi malah seperti ini. Huft. Meski dongkol akhirnya aku mengikuti langkah Moza yang kembali masuk ke kamar Pak Michael. "Kenapa? Mau tidur sama Daddy?" tanya Pak Michael. "Iya, sama Mom juga." Pak Michael menatapku meminta jawaban. "Apa, Pak? Ini keinginan Moza sendiri kok. Tadinya saya mau tidur di kamar Moza. Tapi dianya gak mau. Ya kan?" Moza mengangguk. Tangannya memberi isyarat agar aku mendekat. Aku menurutinya, badanku sedikit membungkuk. Moza berbisik pelan, "Mengenai rasa takutku sama kecoa, jangan bilang ke Daddy ya? Ini rahasia kita berdua!" Aku mengangkat jempol. Ide bagus. Dengan begitu, Pak Michael tidak akan tahu kalau aku menakut-nakuti anaknya tadi. "Punya rahasia apaan kalian?" tanya Pak Michael sambil menahan tawa. "Tidak ada. Ayo cuci muka dulu!" ajakku sambil menuntun bocah gendut itu. Setelah bersih, kami kembali ke atas kasur. Lah, bagaimana ini? Apa aku tidur di sofa lagi seperti tadi ya? Ah, sepertinya sofa memang tempat teraman buatku. "Mom, sini!" ucap Moza yang tahu-tahu sudah tidur di samping Pak Michael. "Kamu mau tidur di sofa, saya gak apa-apa. Tapi masalahnya Moza mau sama kamu katanya," ucap Pak Michael tanpa melihatku ke arahku. "Iya, saya tahu. Moza, Mom di sini aja ya? Mom suka sekali tidur di sofa lho!" "Mom sini! Sudah lama aku tidak tidur dengan mommy-ku. Seperti cerita teman-temanku, mereka sering tidur dengan ibunya." Meski anak itu sangat menjengkelkan, tapi mendengar ceritanya yang seperti itu, rasanya aku tertohok. Bukan karena kasihan padanya, tapi lebih karena aku juga mengalami hal yang sama. Akhirnya aku mendekat dan mulai berbaring di samping Moza. Anak itu tanpa canggung langsung memelukku erat seperti guling. Tak butuh waktu lama, Moza nampaknya sudah tertidur pulas. Aku sedikit mengangkat kepalaku. Melihat Pak Michael yang bernafas dengan teratur dan tenang. Apa pria itu sudah tidur? "Saya dan Moza biasa tidur jam 9 malam. Tapi karena ulahmu, waktu tidur kami terganggu." Lah, belum tidur rupanya? "Ulah saya? Bukannya terbalik? Saya bahkan masih penasaran tangan siapa yang dengan beraninya membuka baju saya ini." "Saya yang buka. Kenapa? Kamu keberatan?" "Apa?! Jadi benar Anda yang melakukannya?!" "Tentu saja. Siapa lagi? Para pelayan di rumah ini belum masuk kerja lagi sejak kita menikah dua hari yang lalu." "Anda keterlaluan! Jangan bilang kalau Anda sudah melihat semuanya?!" teriakku frustasi. "Saya punya mata. Kamu pikir bagaimana caranya membuka kancing bajumu tanpa melihat?" Jawab Pak Michael, matanya masih terpejam dengan posisi tidur yang belum berubah. "Heh! Maksud saya, Pak Michael! Berani sekali Anda seperti itu sama saya?!" "Kamu jangan khawatir! Seribu kali saya melihat tubuhmu, tidak akan terpengaruh apapun, apanya yang bagus, ukuran payudaramu saja hanya sebesar ini," jawabnya santai sambil mengepalkan tangannya ke atas. Apa?! Dasar kecoa comberan! Kesal, kesal, kesallll!! Hah, aku bangun tergesa. Berdiri dan berjalan mengitari kasur. Aku berkacak pinggang di depan Pak Michael. "Jelaskan apa yang sebenarnya terjadi? Jangan-jangan ini akal-akalan Anda agar saya mabuk lalu Anda manfaatkan?! Dengar ya, walaupun ukuran p******a saya tidak terlalu besar, tapi buktinya banyak yang bilang saya sangat seksi!" Sumpah, rasanya pengen kucakar wajah menyebalkannya itu. Pak Michael bangun. Berdecak pelan lalu duduk. "Kamu mau tahu apa yang terjadi?" "Ya, tentu saja! Kenapa Anda membawa saya ke restoran gak jelas itu?! Mahal, tapi cuma bisa bikin orang pingsan! Katakan dengan jujur, apa makanan yang disajikan terbuat dari daging kodok?!" "Haha, kodok apanya? Ngaco! Salah kamu yang susah dikasih tahu! Makanya sebelum pesan tanya dulu, jangan main embat aja. Nah sekarang kamu tahu kan akibatnya? Saya sudah bilang cara minum minuman yang kamu pesan itu diminum sedikit demi sedikit. Lha, kamu malah meminumnya seperti onta gurun pasir yang sedang membuat cadangan minum selama sebulan. Teler lah!" "Saya mabuk karena minuman itu? Yang harganya hampir 3 juta?" tanyaku lebih pada diriku sendiri. "Tentu saja, karena apalagi memangnya. Itu jenis wine terbaik di restoran itu! Kamu tahu? Karena ulah konyolmu itu, jas saya penuh dengan muntahan menjijikkan dari mulutmu!" "Apa? Saya muntah?" "Ya, tentu saja! Kalau tidak, buat apa saya mengganti bajumu? Ah, sudahlah!" Pak Michael bangkit lalu keluar dari kamar. "Anda mau kemana?" "Kamu membuat kantuk saya hilang." Aku menatap sekeliling. Tidur di kamar orang gak nyaman ternyata. Ya, ya, aku memang payah. Sejak kecil, aku tidak suka menginap di tempat lain selain kamarku. Kalau tidak, aku akan sulit tidur. Akhirnya kuputuskan untuk keluar kamar. Pak Michael kemana ya? Ck, salahkan saja rumahnya yang terlalu besar! Banyak sekali ruangan di sini. Gede-gede lagi ruangannya! Setelah beberapa kali keluar masuk ruangan, aku menemukan Pak Michael yang ternyata sedang berdiri menatap jendela yang terbuka. Sepertinya dia sedang menerima telepon seseorang. "Bagaimana? Apa masih belum ada perkembangan?" Dia ngomong sama siapa ya? Kan jadi kepo aku! "Ya, setidaknya aku lega karena sekarang Moza ada yang mengurus." Apa? Maksudnya aku? "Aku masih berharap akan ada keajaiban," lirihnya. Sumpah, aku penasaran! Apa maksudnya? Keajaiban? Apa dia membicarakanku? Pak Michael berbalik dan nampak terkejut. "Kamu menguping?!" "Ah, ti-tidak!" Set dah, dia ngamuk kayaknya. Sebelum terjadi serangan nuklir, lebih baik aku lari lalu kembali ke kamar. "Hei! Jangan lari!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN