O

1798 Kata
Satu hal yang tak pernah ada dalam kamus hidupku adalah kepo. Ya, aku tak pernah peduli dengan urusan orang lain. Sebodo amat, selama gak mengusik ketenanganku, apapun yang terjadi di sekitar aku tak peduli. Dan seumur-umur pake batok kepala cantik ini, baru sekarang aku merasakan kepo. Benar-benar ingin tahu apa yang dibicarakan oleh Pak Michael di ruangan tadi. Aku sampai di kamar lalu segera berbaring di samping Moza dan pura-pura tidur. "Hei! Clara!" Terdengar teriakan Pak Michael di luar sana. Sepertinya dia marah. Halah, tibang obrolan gitu doang juga. Apa bagusnya? Yah, walau pun sebenarnya aku juga penasaran. Mataku masih terpejam saat terdengar pintu kamar dibuka. Tapi hening tak ada suara. Apa Pak Michael sudah kembali? Lalu siapa yang membuka pintu kamar? Jangan-jangan .... Wush, ada hembusan angin dingin menerpa wajahku. Kuberanikan membuka mata. "AA-hmph!" Mataku membulat, Pak Michael menutup mulutku dengan telapak tangannya. Wajah kami begitu dekat. "Jangan berteriak! Moza bisa bangun!" bisiknya sambil mendengus kesal. "Bapak bikin saya kaget! Muncul seperti hantu!" jawabku sambil mengelus d**a. Kaget, sumpah! "Bukannya terbalik?" "Maksudnya?" "Kamu yang muncul seperti hantu dan menguping pembicaraan orang!" "Weh, saya gak nguping kok, sumpah! Hanya saja kalau mendengar sesuatu, mana bisa saya cegah? Orang kuping saya udah nempel di kepala dari sononya kok, dua lagi. Mana bisa ditaro dulu ya kan?" "Ish, ngomong sama kamu lama-lama tekanan darah saya bisa naik! Sini!" Pak Michael menarik tanganku hingga terbangun. "Apa sih, Pak?" jawabku kesal. Mau diapain coba? Ditarik begini? Dikira aku karung beras pake diseret-seret segala! "Duduk!" perintahnya tegas saat kami sampai di ruang TV. Aku nurut. Menunggu apalagi yang akan dia lakukan. Pak Michael berjalan kesana kemari seperti setrikaan. Tangannya bergerak gelisah. "Kamu! Ya, kamu!" "Saya, Pak? Kenapa dengan saya? Cantik ya? Emang dari dulu saya cantik kok." Pak Michael berdecak kesal, "Apa saja yang kamu dengar tadi?" "Yang saya dengar?" "Iya. Kamu nguping kan? Apa yang kamu dengar?" "Gak banyak kok, tenang saja. Yah, walaupun saya jadi penasaran." "Katakan, Clara! Apa yang kamu dengar?" Dasar pemaksa! "Baiklah, saya hanya mendengar Anda bertanya tentang perkembangan. Entah apa itu. Perkembangan teknologi kah atau penelitian kah, saya tidak tahu." "Hanya itu?" "Gak, masih ada lagi," ucapku sambil menatapnya curiga. "Kenapa kamu menatap saya seperti itu?" tanya Pak Michael. "Bapak nikahin saya karena apa?" tanyaku. Sumpah, aku gak bisa menyembunyikan rasa penasaran ini. "Katakan dulu, apa yang kamu dengar selain yang kamu sebutkan!" "Ya, saya dengar Anda lega karena Moza ada yang ngurus. Apa Anda membicarakan saya?" "Masih ada lagi?" "Gak ada." "Yakin?" "Iya, yakin kok." "Sip, gadis pintar!" Pak Michael mengacak rambutku. Hih, kenapa dia nampak bahagia? "Pak, jawab dong pertanyaan saya. Bapak nikahin saya karena apa?" "Bukannya kamu juga sudah tahu?" "Nilai?" "Tuh kamu tahu." "Ya tapi kan gak gitu juga kali, Pak. Masa karena nilai saya sampe harus nikah segala? Padahal kan hanya tugas resensi saja sudah cukup?" desakku. "Baiklah. Kamu mau tahu?" "Tentu saja. Nenek pikun aja pasti faham, orang bertanya kan karena ingin tahu, Pak." "Ini semua demi Moza. Anak saya. Simbiosis saja. Kamu dapat nilai, dan saya dapat pengasuh Moza." "Wah kenapa Anda gak bilang? Kan kalau cuma ngasuh Moza gampang. Kita gak perlu sampai nikah segala kan?" "Siapa bilang? Kamu ngasuh Moza sampai dia tidur." "Saya bisa pulang malam." "Saya gak bisa jamin jika saya gak nikahin kamu, kita akan selamat dari gosip orang." "Lho, kan gak ada bedanya, Pak. Saya bolak balik sini orang gak tahu kita udah nikah. Nikah juga sembunyi-sembunyi gini kek orang nyolong ayam gak bilang-bilang." "Ada bedanya dong!" "Apa?" Pak Michael mendekat. Sumpah! Saat ini aku sangat berharap ada tokek atau cicak atau apalah yang buang limbah perut mereka di kepala si Mimisan ini. Siapa tahu bisa menghentikan gerakan kepalanya yang kian maju. Membuatku mundur dan kepentok di sandaran sofa. "Bedanya, jika saya menikahi kamu, gak ada yang bisa menyalahkan saya jika suatu saat saya khilaf." Glek. Tolong beri aku mantra ajaib pengusir setan! Agar semua setan m***m di kepala pria ini enyah dalam sekejap. "Khilaf?" tanyaku sambil mati-matian menyembunyikan rasa gugup. "Ya, khilaf yang terasa nikmat," bisiknya dengan suara berat. Sial, kenapa lidahnya ikut berpartisipasi sih? Sedikit menjilat cuping telingaku. Gawat, keadaan ini harus segera teratasi. Telunjukku mendorong pelan dadanya. "Mundur, Pak! Remnya blong ya?" cicitku. "Kamu jangan percaya diri! Saya hanya menjawab pertanyaan kamu. Bukan tertarik sama kamu!" ucapnya lalu bangkit dan meninggalkanku begitu saja. Jawaban yang menyebalkan sih, tapi setidaknya aku lega. Tubuhku selamat dari kekhilafan yang katanya terasa nikmat itu. Ah, pantas saja suara wanita di video laknat yang sebulan terakhir tak lagi kulihat, nampak keenakan. Apa benar senikmat itu? Aku memukul kepalaku. Berengsek! Mimisan k*****t benar-benar telah meracuni otakku. *** Whoah, hari yang cerah! Hari ini aku sangat senang! Kusebut sebagai hari pembebasan sementara! Mau tahu karena apa? Yeah, karena hari ini adalah hari aku berangkat KKN. Sedikit menghirup udara segar tanpa gangguan dua manusia yang akhir-akhir ini membuat otakku sedikit stres. "Eh, Nov! Lo serius cuma bawa barang segitu?" tanya Riaz sambil melirik tas ranselku yang hanya satu. Tanpa embel-embel jinjingan dan yang lainnya. "Iya. Lo pikir mau pindahan rumah apa? Pake bawa tas segede gaban begitu! Kita kan nginep cuma 2 bulan, Nyet!" "Lo aja yang kekecilan tasnya! Lagian gue heran sama lo, cewek biasanya lebih banyak barangnya," Riaz menatapku curiga, "Jangan bilang lo mau nebeng dari gue?" "Kagak, cuma biar bisa bantuin lo," mataku melirik jinjingan di tangan Riaz, "Eh apaan nih?" "Woi, itu bekal makan gue! Mau dibawa kemana?" "Tenang saja, berhubung tangan lo udah penuh barang bawaan, biar gue bawain sekalian. Mumpung tangan gue kosong." "Gue malah khawatir makanan gue lo culik! Sini balikin!" "Minta dikit kek, ntar gue bawain sampe lokasi deh!" "k*****t lo, ngatain gue tahunya mau ikut nebeng!" Aku tertawa menanggapi omelan Riaz dan berlari meninggalkannya di belakangku. "Kumpul semua!" teriakan sang ketua kelompok menghentikan aksi kejar-kejaran aku dengan Riaz. Kami semua, kelompokku yang terdiri dari 12 orang, menghampiri Yoga yang sedang memegang toa. Dikira kami b***k lagi kali ya, pake toa segala! Pantes teriakannya bikin gendang telinga serasa mau pecah. "Oke, gaes! Kita ke lokasi sekarang. Semua sudah lengkap kan? Woi, Novi! Denger gak? Lo udah cek kan?" "Lengkap," jawabku santai. Sambil menghitung dalam hati. Yes, pas ada 12 orang. Kami berangkat naik mobil kolbak. Berasa jadi hewan kurban tahu gak? Tapi yeah, inilah seninya. Kalau gak gini gak seru kan? Perjalanan yang ditempuh memakan waktu sekitar 2 jam. Kami ditempatkan di perkampungan. Rumah aja masih jarang. Ini sih, cocok buat ngadem menurutku. "Masukin barang-barang kalian!" teriak Riaz sambil mengangkut beberapa peralatan kelompok. Rumah ini terdiri dari dua kamar, satu kamar mandi, dapur, dan ruang TV yang merangkap ruang tamu. Mayanlah buat tinggal selama 2 bulan. 5 orang cowok dan 5 orang cewek. Pas banget dibuat 2 kamar. Ah, jangan lupakan Tuan Mimisan yang juga ikut serta. Ya, ya, dia memang pembimbing kelompok kami. Saat ini kami duduk melingkar di ruang tamu tanpa kursi. Hanya beralaskan karpet spon bergambar kartun Aladin yang sudah sobek di sana-sini. "Oke, untuk selanjutnya kalian susun kegiatan. Ingat, sebelum memulai kegiatan, temui dulu pejabat setempat. Bagi tugas dan kalau sudah selesai, kirimkan sama saya," ucap Pak Michael menyudahi bimbingannya. Kumpulan langsung membubarkan diri. Aku masuk ke kamar. Waktunya rebahan bersama ponsel tercinta. "Nov! Bantuin masak dong!" teriak Aufa sambil berkacak pinggang kesal. "Gue gak makan!" jawabku lalu memasang earphone. Berisik banget sih! Bawel ngalahin emak-emak rempong pemburu diskonan. Baru aja suara merdu Justin Bieber akan berkumandang, tetiba ponselku bergetar. Lha, Riaz? Ngapain tuh bocah? "Apaan?" jawabku tanpa basa-basi. "Mana nasi gue, Nyet?" teriak Riaz sambil mendengus kesal. "Elah, gue lupa. Napa lo? Lapar?" "Sue, lapar lah! Lo pikir gue kenyang makan angin doang? Anterin keluar!" "Songong lo! Masih serumah juga! Iya gue keluar!" Ternyata di dapur rame. Mereka lagi makan ternyata. "Nov! Sini makan bareng!" seru Indana. Si Indana ini cewek dengan nominasi otak ternormal di antara teman kelompokku. Cantik, baik, pinter pula. "Ya, In. Anak-anak cowok mana?" "Mereka di halaman." Aku mengangguk lalu mengambil kantong bekal milik Riaz. Mataku mencari keberadaan Riaz. Nah itu dia! Anak itu sedang menyalakan api hendak membakar sampah. "Yas, lo jadi makan gak?" tanyaku sambil berjalan mendekatinya. "Jadi dong! Mana nasinya?" "Berdua ya?" tanyaku sambil nyengir. "Ck, iya, cepetan buka!" Aku dan Riaz agak menjauh dari teman cowok lain. Membuka bungkus nasi yang dibuatkan nyokap Riaz. "Nov, lo hutang cerita sama gue!" "Cerita apaan?" Poing! Tangan laknat Riaz menoyor kepalaku. "Heh, itu tangan minta dimutilasi ya? Main toyor aja!" "Biar otak lemot lo cepet sembuh! Cepetan cerita!" "Yang mana?" "Ck, 'mommy'." Aku diam. Baiklah, terpaksa aku beberkan rahasia terbesarku ini. Kalau tidak, sampai belut berbulu juga dia akan terus mengejar dan mencari tahu. "Sebenarnya gue sama Pak Michael sudah menikah," cicitku sambil tengok kanan-kiri. Aman. Semua sibuk dengan kumpulannya masing-masing. "Anjir! Lo gak lagi kesurupan kan?! Whoah, berarti lo udah pernah ..." Riaz menumpuk dua telapak tangannya sambil dibuat kembung kempes. "Diam, Parjo! Gue belum selesai cerita!" "Omaigat! Demi apa, lo udah digrepe juga?!" Riaz makin meringis. Pletak! Tanganku sukses memberikan hadiah jitakan mulus di kepalanya. "Syet, sakit, Ijah!" "Ngomong jangan sembarangan! Gue masih utuh!" sungutku menahan kesal. "Serius?" Riaz menatapku tak percaya. "Bukannya lo pernah ..." Riaz memanyunkan bibirnya. "Ck, gue lagi kerasukan saat itu. Selebihnya jelas lah, gue bisa jaga diri!" Mata Riaz memicing, "Lo gak perkosa Pak Dosen kan?" "Sialan! Ngapain gue bohong?" "Hm, tapi ngapain Pak Michael ngawinin lo?" "Dia bilang sih buat nyebokin anaknya yang bulat itu. Mana kelakuannya udah kek tuyul kerusupan lagi! Ngeselin!" Tetiba mata Riaz mengerjap beberapa kali, "Nov! Nanti lagi ceritanya!" bisik Riaz. "Lha, kenapa dipotong? Lagian udah tanggung elo tahu semuanya. Biar ngerti apa yang gue rasakan selama ini," Yah terlanjur tahu, curhat aja sekalian! Selama ini aku gak pernah curhat sama siapapun. Curhat sama Om Wisnu sama aja bohong. "Nov, e-emang lo kenapa?" Si Riaz abis makan kawat ya? Mendadak gagap nih anak! "Gue kesal. Ya, kesal! Lo tahu? Gegara si Mimisan k*****t yang ngawinin gue itu, hidup gue jadi berantakan! Mana otaknya m***m banget lagi!" Si Riaz meringis. Matanya mendelik ke arah belakang. "Me-m***m ya?" "Iya, nah lo kaget juga kan? Sama gue juga! Pak Michael yang selama ini bersikap so cool itu ternyata m***m banget. Gue aja beberapa kali hampir dicium tahu gak?" "Hehe, iya, terus?" Mata Riaz melotot lalu menunjuk dengan dagunya ke belakangku. "Lo kenapa sih? Jangan-jangan lo ketularan m***m juga ya? Bersihkan otak lo pake deterjen sana!" "Nov," Tangan Riaz menempel di bibirnya. "Siapa yang bilang saya m***m?" Krik. Krik. Krik. Glek. Tetiba bulu kudukku berdiri semua. Kok kayak suara Pak Michael ya? Aku bertanya dengan isyarat. Riaz mengangguk dengan ekspresi cemas. Perlahan aku menoleh ke belakang. Duarr!! Bagai petir di malam kelam, mataku membulat sempurna. Pak Michael menatapku tajam sambil berpangku tangan. Mampus!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN