Part 7

1811 Kata
Meyra terkejut, namun menahan teriakannya setiap kali efek musik membuatnya kaget. Ya. Dia sedang makan schootel makaroni ditemani film horor. Karena terlalu fokus pada efek suara dalam film, ia tidak menyadari riakan air dalam kolam. Sampai akhirnya tokoh menyeramkan muncul memenuhi layar ponselnya bersamaan dengan keluarnya Nathan dari kolam renang. Mau tak mau teriakan yang ditahannya keluar juga. Nathan yang mendengarnya langsung menoleh dan melihat Meyra yang memandangnya dengan tatapan terkejut dan takut. "DEMI TUHAN! APA YANG KAU LAKUKAN DISANA? KAU MENCOBA MENAKUTIKU?!" Teriaknya lantang dengan napas terengah dan tangan terkepal di d**a.  Nathan mengusap wajahnya, mencoba menghilangkan air yang menetes namun tanpa melepaskan perhatiannya pada gadis itu. Apa yang dilakukannya? Jelas saja ia sedang berenang. Dan menakuti gadis itu? Ia bahkan tidak berpikir untuk melakukannya. Ia sendiri tidak menyadari keberadaannya. "Aku sedang berenang, kalau saja kau tidak tahu." Jawabnya kemudian dengan nada santai. "Apa kau sudah gila? Bagaimana bisa kau berenang di tengah malam buta seperti ini? Kau tidak takut terserang flu?" Meskipun nadanya tinggi dan membentak, Nathan tau ada perasaan khawatir disana. "Memangnya kau tidak bisa berenang seperti orang normal?" Tanyanya dengan suara yang lebih pelan. "Memangnya kalau orang normal berenangnya kapan?" Tanyanya dengan nada menggoda. "Dan kalau kau sangat peduli padaku, bisakah kau membawakanku handuk atau mungkin bathrobe?" Meyra hanya menatapnya tajam, namun tak urung juga dia bangkit dan masuk ke dalam mencari apapun yang diminta Nathan sementara pria itu memilih untuk kembali berenang. Meyra mengutuki dirinya sendiri, bagaimana bisa ia tidak sadar akan keberadaan Nathan? Dan sebenarnya sejak kapan pria itu ada disana? Apakah pria itu sudah ada disana sebelum Meyra keluar? Tapi kenapa Meyra tidak melihatnya? Meyra kembali mengutuki dirinya saat membuka pintu penyimpanan namun tidak menemukan bathrobe disana. Pada akhirnya dia hanya mengambil handuk yang ada disana, tidak mengecek apakah handuk itu besar atau tidak. Ia berjalan kembali kehalaman dan mendekati kolam renang, sebisa mungkin menjauh menghindari licin. Ia tidak suka kolam renang, bukan hanya karena ia tidak bisa berenang, namun karena hal lain yang menakutkan. Meyra meletakkan handuk yang diminta Nathan di atas kursi pantai yang terbuat dari kayu dengan kualitas terbaik yang sudah dialasi busa yang terbungkus lapisan anti air. Lalu kemudian kembali berjalan menjauh. "Masih tidak menyukai kolam renang, hmm?" Suara itu terdengar begitu dekat di telinganya. Bahkan hangat napas dan panas tubuh pria itu begitu menguar. Meyra berbalik dan melihat pria itu berdiri menjulang di hadapannya. Ini pertama kalinya dalam kurun waktu enam tahun Meyra berdiri begitu dekat dengan Nathan. Jarak mereka bahkan terlalu dekat, tidak sampai tiga jengkal. "Bukan urusanmu!" Desisnya tajam. Ia berusaha menghapus rasa gugupnya karena berada terlalu dekat dengan pria pujaannya. Tangannya terkepal erat, mencoba menahan diri untuk tidak menyentuh d**a bidang yang berada begitu dekat dengan jangkauannya. Meyra bahkan menolak untuk mendongak. Ia tidak ingin menatap mata pria itu dan tenggelam dalam keindahannya. Meyra melangkah mundur secara perlahan. "Kenapa bukan urusanku?" Tanya pria itu dengan tatapan menyelidik. Meyra kembali mundur selangkah. Dan pria itu maju setengah langkah. "Memang bukan urusanmu!" Jawabnya dengan ketus. "Apa yang kusuka dan tidak suka itu bukan urusanmu." Meyra berbalik, namun seketika itu lengannya dicengkeram tangan besar Nathan. "Memang bukan urusanku, princess. Tapi tetap tidak mengurangi keingintahuanku." Jawabnya santai. Ia melepaskan pegangannya di lengan Meyra, dan entah kenapa Meyra merasa kehilangan. "Kau memang baru masuk kuliah, dan temanmu belum banyak. Tapi pasti kau tidak merasa aneh jika di negara ini sudah menjadi kebiasaan diadakannya pool party. Kalau kau masih tidak menyukai kolam renang, bagaimana bisa kau datang ke pesta seperti itu. Apakah kau akan selalu menghindari dan menolak ajakan teman-temanmu? Sementara jika kau terus menerus menghindari pesta seperti itu, lama kelamaan temanmu akan menjauhimu karena kau dirasa kurang asyik." Bosan diejek, Meyra mendongakkan kepala dan menatap langsung tepat ke bola mata Nathan. "Aku bisa 'selalu' menghadiri pesta itu tanpa harus 'mendekati' kolam." Jawabnya dengan angkuh. "Aku bahkan bisa memamerkan bikini keluaran Tiffany tanpa harus menceburkan diri ke kolam dan membuatnya basah." Nathan mengangkat sebelah alisnya dengan dingin. Mendengar kata memamerkan bikini membuat amarahnya tiba-tiba memuncak. "Tentu saja aku juga tahu bahwa pool party tidak harus selalu berurusan dengan kolam renang. Aku bisa memilih untuk duduk di sudut terjauh dari kolam dan melakukan kegiatan lain seperti yang dilakukan teman-temanku." Meyra melipat kedua tangannya di depan d**a. Lupa bahwa ia tidak mengenakan bra dan bahwa kaos lengan panjang kebesaran yang kini dipakainya sudah terlalu tua sehingga sudah menipis dan bisa membuat siapapun menerawang melihat apa yang ada di baliknya. Nathan berusaha menahan matanya untuk tidak melihat gundukan menggiurkan yang membulat di atas lipatan lengan Meyra dan memilih untuk fokus pada wajah Meyra. Namun hal itupun tidak menghilangkan ketegangan di bagian bawah tubuhnya. Ketegangan yang tadi ia coba hilangkan dengan berenang yang kini malah berkali lipat semakin membesar. Terlebih melihat rona merah marah yang menyebar di pipi Meyra yang bisa ia lihat dibawah sinaran lampu kolam. Dan bibir ranum itu, meskipun mengeluarkan kalimat pedas namun begitu menggiurkan untuk dihisap. "Kalau boleh tahu, kegiatan seperti apa yang kau maksud?" Nathan kembali memfokuskan pikirannya pada pembicaraan mereka. Ia berdiri tegak dan melipat kedua tangannya di d**a seperti yang Meyra lakukan. "Tentu saja kegiatan yang biasa dilakukan orang dewasa pada umumnya." "Orang dewasa?" "Ya! Orang dewasa!" Pekiknya kasar. Meyra melotot ke arah Nathan saat mendengar dengusan mengejek dari pria itu. "Memangnya kau pikir apa yang dilakukan orang dewasa pada umumnya?" "Jangan berpura-pura bodoh, Nathan! Dan jangan mengira aku bodoh!" "Aku tidak mengira kau bodoh, princess. Aku hanya ingin tau, siapa tahu persepsimu tentang kegiatan 'orang dewasa' berbeda dengan versiku." Nathan kembali berjalan mendekat, sementara Meyra kembali berjalan mundur. Entah kenapa tatapan Nathan terlihat begitu menakutkan dibanding tatapan dingin yang biasa ia tunjukkan. "Jadi, princess. Coba jelaskan padaku, apa yang 'orang dewasa' lakukan?" Namun jawaban Meyra tertelan oleh suara desahan yang makin lama makin nyaring. Meyra menoleh dan sadar bahwa film yang tadi ia tonton masih berputar, dan karena posisi berdiri mereka kini sudah dekat dengan posisi ponsel, secara otomatis suara ponsel yang tadi dinyalakan secara maksimal juga sampai ke telinga mereka. Tangan Nathan yang lebih panjang dan gerakannya yang lebih cepat membuatnya bisa menjangkau ponsel Meyra lebih dulu. Nathan memandang ponselnya dengan sebelah alis terangkat dan senyum mengejek. "Jadi ini, yang kau maksud 'orang dewasa' lakukan? Ini yang kau pelajari tentang pool party versimu. Laki-laki dan pria telanjang dan saling menindih?" Suaranya pelan, dingin dan tentu saja mengejek. "Kembalikan ponselku!" Bentaknya seraya menggapai tangan Nathan yang mengacung tinggi. Tangan Meyra hanya bisa meraih sebatas siku pria itu. "Kembalikan padaku, Nathan!" Ucapnya dengan nada lebih tinggi. Meyra marah karena ia merasa malu. Kenapa adegan itu bisa ada ketika Nathan berada disana? Kenapa tidak saat mereka masih berdiri di dekat kolam renang. "Apa ini yang kau pelajari?" Nathan kembali mengulang pertanyaannya. "Bukan urusanmu! Apapun yang kupelajari, itu bukan urusanmu! Sekarang kembalikan ponselku!" Meyra kembali mencoba meraih ponselnya. Bahkan meskipun ia berjinjit dan melompatpun, ia masih tidak bisa menggapainya. Tubuhnya terlalu pendek, atau memang tubuh Nathan yang terlalu tinggi. Nathan merengkuh pinggang Meyra dan menyentakkan tubuh mungil itu ke tubuhnya dalam gerakan cepat, Meyra mematung seketika. "Itukah yang kau pelajari, princess?" Nada suara Nathan semakin dingin. Sementara gelenyar aneh yang dirasakan tubuhnya membuat tubuhnya terasa panas. "Kalau iya, kau mau apa?" Sedetik kemudian Meyra menggigit bagian dalam bibirnya. Ia tidak bermaksud mengkonfrontasi Nathan, apalagi membuat pria itu menganggap dirinya murahan. Namun perkataan pria itu entah kenapa seolah memancing kemarahannya. "Siapa?" Tanya pria itu dengan bisikan pelan. Meyra menatapnya dengan bingung. "Kau mempelajarinya dengan siapa?" Ulangnya seolah paham dengan kebingungan Meyra. "Siapapun dia, itu bukan urusanmu!" Cengkeraman tangan Nathan di pinggang Meyra semakin kuat. "Itu urusanku, princess. Kau tinggal di bawah atapku dan aku sudah berjanji pada kedua orangtuamu untuk menjagamu. Jadi katakan padaku, siapa orang itu?!" Perintahnya kasar. Jadi semua ini karena tanggung tanggung jawab. Kemarahan pria itu padanya atas ucapannya bukan karena didasari cemburu, melainkan karena tanggung jawab. Meyra tertawa dalam hati. Bagaimana bisa dia begitu bodoh mengira kalau Nathan cemburu padanya jika dia dekat dengan pria lain? "Aku menunggu jawabanmu, princess." Gumam pria itu lagi. Meyra menatap pria itu tajam. "Tidak ada." Jawabnya lirih. Pria itu mematung. "Tidak ada siapapun. Aku tidak mempelajarinya dengan siapapun." Jawabnya dengan suara lebih keras. Ia meraih ponselnya secepat yang dia bisa lalu memasukkannya ke dalam saku. "Atau setidaknya belum." Jawabnya kemudian dengan senyum manis yang tersungging di bibirnya. Ia tidak boleh kalah begitu saja oleh Nathan. Ia tidak boleh membiarkan harga dirinya terinjak-injak. Ia tidak boleh membuat Nathan berpikir bahwa ia tidak bisa melakukannya. Bahwa ia belum bisa melupakan pria itu. Ia tidak boleh membuat ego pria itu melambung dengan mengira bahwa sampai saat ini Meyra masih mencintainya, masih mengharapkannya. Maka pikiran jahil itu muncul dalam benaknya. Ia berjalan menjauh dari pria itu. "Gilbert baru saja mengenalkanku pada teman main bowling nya. Namanya Steven. Mungkin kau mengenalnya." Meyra mengangkat nampan yang berisi sisa makanan dan minumannya. Lalu menegakkan punggung dan kembali memandang Nathan yang masih berdiri di tempatnya. "Dia tampan, dan dia juga manis. Aku menyukainya. Dan Gilbert juga bilang kalau Steven menyukaiku. Jadi kupikir, tidak ada salahnya mencoba. Tapi Gilbert bilang kalau aku harus menggunakan cara tarik ulur, jadi aku hanya perlu mencobanya." Tanpa menunggu tanggapan Nathan, Meyra masuk ke dalam rumah. Ia meletakkan gelas kotor di pencucian dan menyimpan sisa makanan di lemari es. Ia bisa menghangatkannya lagi besok, pikirnya. Lalu kembali ke bak cuci piring dan mencuci gelasnya. Ketika ia berbalik, ia terpekik karena melihat Nathan berdiri bersandar pada meja bar dengan santainya. "Apa yang bisa diajarkan bocah itu padamu? Pengalamannya tidak lebih baik daripadamu. Kau tidak bisa mengharapkan bantuannya." Ucapannya jelas sekali menyiratkan ejekan. Meyra kembali mengangkat bahu. "Gilbert mengenal Steven, dia tahu apa yang Steven suka dan tidak. Aku hanya tinggal menuruti instruksinya." "Jadi kau akan berubah menjadi orang lain untuk menarik perhatiannya?" Pria itu berjalan ke arahnya dan meraih gelas yang ada dalam genggaman Meyra. Berjalan menuju lemari es dan menuangkan air dingin ke dalamnya. "Tentu saja tidak! Kenapa aku harus menjadi orang lain? Jika aku ingin orang menyukaiku, dia harus menyukai diriku, bukan membuatku menjadi apa yang disukainya." Jawabnya dingin. Meyra melihat Nathan meneguk air dingin itu, membuat jakunnya naik turun. Melihat itu, Meyra memilih berbalik memunggungi pria itu, takut tergoda untuk memeluk tubuh pria itu dari belakang. Sebagai gantinya ia mencengkeram erat sisi meja untuk menahan diri. Namun tanpa ia duga, pria itu malah berdiri di belakangnya, mengurungnya diantara kedua lengan kokohnya. Meyra mencoba menahan napasnya, berdoa semoga detak jantungnya yang memburu tidak sampai di telinga pria itu. "Lantas, setelah dia menyukaimu, apa yang akan kau lakukan?" Hangatnya hembusan napas pria itu memberikan gelenyar aneh di tubuh Meyra. Meyra bisa merasakan tubuh pria itu membungkuk karena kepala pria itu berada di sisi kanan kepalanya. "Apa kau akan mempraktekkan apa yang tadi kau lihat dengan Steven? Mencoba mempelajarinya lebih jauh dan memuaskan rasa penasaranmu?" Bibir pria itu begitu dekat di telinganya karena pertanyaan yang ia lontarkan berupa bisikan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN