Kenangan Ayah

1550 Kata
Minggu yang cerah untuk setiap umat di seluruh muka bumi, hari dimana banyak manusia yang mengistirahatkan tubuh setelah beberapa hari terus menekan diri di tempat kerja. Udara sejuk dan hawa yang tak sepanas biasanya membuat hari ini lebih bercahaya di bandingkan sebelumnya. Jam sepuluh pagi ini Nia tengah menikmati suasana pagi di ruangan pasien tempat ibunya di rawat, sudah tiga hari ini Nia menemani sang bunda tercinta berada di sini. Tak di pungkiri kehadiran Nia sangat berarti untuk bu Kalsum, Nia selalu memiliki cara untuk menghiburnya di kala ia merasa kesakitan. Seperti saat ini, Nia membaca buku dari dongeng yang sangat di gemari sejak ia masih duduk di bangku TK. Ibunya ingat betul Nia pernah merengek minta di belikan buku dongeng seperti teman lainnya, namun kala itu keuangan keluarga Nia tak sebaik keluarga lainnya sehingga Nia harus sabar menunggu sampai buku dongeng anak-anak itu sampai di tangan mungilnya. “Di hari ketiga, ibu tiri dan ayahnya Hansel dan Gretel kembali mencoba untuk membuang kedua anak-anak mereka ke dalam hutan. Namun kali ini Hansel membawa roti di dalam saku, sayang sekali roti yang di taburkan Hansel di makan oleh burung, Hansel dan adiknya tersesat di hutan yang gelap” kata Nia, ia membaca dongeng kesukaannya sejak kecil. Ibu Nia sangat suka mendengar suara Nia saat tengah bercerita seperti ini, suaranya memiliki cirri khas yang lembut dan terkesan anggun. Gadis muda itu sangat antusias dengan buku cerita usang yang di belikan oleh sang ayah dulu kala. “Hansel dan Gretel menemukan banyak mutiara di sekitar rumah penyihir lalu membawanya pulang untuk sang ayah, mereka akhirnya bisa hidup berkecukupan selamanya” kata Nia mengakhiri cerita dengan buku bergambar itu. “Ceritanya menarik nduk, banyak sekali pesan moral yang di sampaikan disana. Nia masih suka banget sama cerita dongeng ini ya, nduk?” kata ibunya pelan. Nia mendekati ibunya yang tengah terbaring, “Ya tentu saja, makanya Nia suka banget sama dongeng anak-anak. Banyak banget pesan baik yang di sampaikan disana” “Ibu masih ingat betul Nia merengek sama ayah minta di belikan buku dongeng bergambar ini saat usia Nia masih lima tahun” “Nia merengek, benarkah?” Ibunya mengangguk pelan, “Saat itu ibu harus mengikuti ayah yang di pindah tugaskan ke luar kota, kami harus berpindah-pindah selama lebih dari lima tahun” tutur ibunya mengenang masa lalu. “Lalu bagaimana dengan rumah di Jakarta ini?” tanya Nia penasaran. “Ibu meminta ayah untuk berhenti menerima tugas baru bila di haruskan pindah kota karena ibu tengah mengandung Nia, alhasil ayahmu memutuskan untuk menetap di Jakarta sampai Nia lahir” “Jadi begitu rupanya? Aku kira rumah kita peninggalan nenek dari jaman Belanda dulu” “Ya, ayah mendapatkan rumah itu sangat murah di jamanya. Waktu itu kami berdua harus selalu berhemat untuk menutupi kebutuhan Nia, walaupun kami banyak kekurangan tapi ayah selalu bekerja dengan giat setiap hari. Hingga saat dimana kamu sudah mulai tumbuh seusia lima tahun, Nia mulai punya rasa penasaran yang tinggi sama hal baru” “Hal baru contohnya apa bu?” “Suatu hari Nia baru saja pulang dari sekolah, bukannya ganti baju lalu makan tapi Nia langsung merengek minta di belikan buku dongeng seperti teman Nia di sekolah yang punya banyak sekali buku dongeng” jawab ibunya. “Aah, benarkah bu?” tanya Nia, ia malu sendiri dengan perilakunya yang tak sopan saat masih kecil. Ibunya mengangguk pelan, “Saat itu ibu sangat marah karena Nia terus saja merengek minta di belikan buku dongeng yang bagus padahal ada kebutuhan lebih mendesak di bandingkan membeli buku dongeng, tapi ayahmu selalu membesarkan hati ibu agar tidak memarahi Nia” “Apa yang ayah katakan saat itu, bu?” “Ibu ingat ayahmu selalu bilang, jangan memarahi Nia bu. Sudah sewajarnya Nia mau barang-barang seperti milik teman-temannya di sekolah, nanti ayah akan usahakan untuk membelikannya ya, ayah janji” “Dua minggu setelah ayah mengatakan itu, ayah benar-benar menepati janjinya. Ayah pulang membawakan buku dongeng bergambar pertama Nia, saat itu Nia sangat senang dan hampir setiap hari minta di bacakan buku dongeng yang sama sebelum tidur” “Nia hanya mau di bacakan dongeng yang sama setiap hari sama ayah, walalupun ayah sangat lelah setelah pulang bekerja tapi ayah nggak pernah menolak keinginan sederhana Nia. Bagi ayah nggak ada satu hal apapun yang bisa menggantikan senyuman Nia, kata ayah Nia punya senyuman yang menyihir rasa lelahnya jadi semangat lagi” lanjut ibunya lagi. Nia terenyuh mendengar ucapan sang ayah yang selalu menenangkan jiwanya, wajah ibunya pun kelihatan damai ketika beliau mengingat betapa ramah dan baik sifat ayah Nia. Gadis itu ingin sekali bertemu dengan ayahnya walau hanya dalam mimpi, namun sampai saat ini tak satupun ingatan tentang sang ayah yang tersisa di memori otaknya. “Ibu, bisa ceritakan nggak gimana ayah dulu?” Kedua tangan lemah itu terangkat pelan mengarah pada Nia, tentu saja Nia dengan senang hati meraih tangan sang ibu dan di peluknya erat. Napas dan detak jantung ibu yang sangat di cintainya itu terasa seperti alunan musik yang indah. “Ayahnya Nia dulu seseorang yang pekerja keras, meskipun pekerjaan ayah sangat sibuk namun ayah mendapatkan upah yang nggak sebanding. Ayah adalah manusia yang sangat taat, beliau melakukan semua perintah atasan dan berpindah ke berbagai kota, semua di lakukan demi bisa meraih pangkat lebih baik dan membuat kita berdua hidup lebih nyaman” “Ayah Nia orangnya juga jujur, nggak pernah neko-neko. Setiap hari ayah bangun pagi sekali untuk berangkat kerja lebih awal dan pulang sampai malam tapi ayah selalu pulang tepat waktu bahkan di malam minggu sekalipun, ayah nggak pernah ikut temannya untuk pesta minum atau karaokean. Ayah selalu memprioritaskan hidup keluarga kecil di atas segalanya, bagaimana pendapat Nia tentang ayah?” “Menurutku, ayah.. emm pasti beliau dulu banyak mengalami kesulitan” “Yaah tapi itu sudah menjadi tanggung jawab seorang pria, lihat ayah sudah membesarkan Nia dengan baik, semua ilmu yang di tinggalkan ayah menjadikan Nia pribadi yang tangguh bukan?” “Bener sih, tapi dengan semua pengabdian ayah Nia rasa ayah termasuk pegawai yang sangat loyal. Mungkin nggak semua orang menyadari hal itu tapi aku rasa sifat ayah menurun padaku, bu” “Tentu dong, Nia akn putri ayah dan ibu. Sudah jelas sifat bekerja dengan gigih itu pasti dari ayah, apa ada lagi yang Nia tanyakan soal ayah?” tanya ibunya. “Emm ada banyak banget mengingat aku nggak banyak mengingat ayah karena beliau meninggal sejak aku masih kecil” jawab Nia. “Banyak hal menarik yang belum Nia ketahui soal ayah, kapan-kapan kita pergi ziarah ke makam ayah ya. Nia bisa banyak cerita sama ayah selama tinggal sama ibu, ahaha ibu yakin ayah pasti seneng banget bisa lihat putrinya sekarang sudah tumbuh dewasa dan sangat cantik” “Aku nggak secantik ibu tapi” “He, siapa bilang?” “Buktinya ibu bisa dapatkan suami kayak ayah yang serba sempurna begitu, kalo aku belum tentu bisa dapat suami berhati adonan kue super lembut begitu” ucap Nia, ia kmebali duduk lagi di kursi. “Hemm ibu yakin nanti Nia pasti dapatkan suami yang sayang banget sama keluarga seperti ayah, bahkan ibu yakin suami Nia nanti bisa membahagiakan seperti apa yang kamu inginkan, nduk” kata ibunya. “Berdoa sama Yang Maha Kuasa, minta agar di berikan suami sebaik ayah. Insyaallah Nia bakal bahagia banget sampe tua kayak ibu” “Ibu masih bahagia meskipun ayah udah nggak di sini lagi?” Ibunya mengangguk pelan, “Ibu sudah lebih dai bahagia nduk, bertemu sama ayahmu itu takdir paling manis yang pernah ibu rasakan tapi ayah memberikan kenang-kenangan yang nggak jauh lebih indah lagi” “Kenang-kenangan? Apa aja bu?” “Satu kenangan yang tersimpan di ingatan ibu, dua putri ibu” jawab ibunya, tak terasa air mata ibu Nia jatuh membasahi pipi yang sudah menampilkan garis-garis usia senja. Nia menggenggam tangan ibunya yang masih lemah kembali, “Aku nggak tahu ternyata ayah sosok yang sangat suamiable dan mengangumkan, ibu beruntung banget dapatkan lelaki seperti ayah yang sudah jarang ada di jaman sekarang” “Masih banyak lelaki baik yang ada di luar sana hanya saja Nia belum bertemu mereka, meskipun semuanya nggak sama seperti ayahmu tapi ibu yakin ada satu orang yang akan selalu berusaha membuat Nia bahagia, ibu jamin itu” “Haha baiklah, aku akan terus berdoa supaya lelaki baik itu segera datang” kata Nia. “Bawa dia ke rumah kalo sudah ketemu ya, nanti ibu masakin banyak makanan kesukaan Nia” goda ibunya ganti. “Ibu bakal kasih pepes ikan ke calon menantu?” “Kenapa, pepes ikan enak loh. Semua orang suka sama pepes ikan, ibu nggak bisa masak pizza nduk yang ada malah jadi kue ban kalo ibu yang bikin hahaha” goda ibunya lagi. “Hehe baiklah, aku akan minta calon menantu ibu makan semua hidangan yang ada di meja” ujar Nia, ia menggenggam erat buku dongeng pemberian ayahnya lagi. “Kamu mau simpan buku dongeng itu lagi, nduk?” Nia mengangguk pelan, “Iya, sampai kapanpun Nia mau simpan buku ini. Hanya buku ini satu-satunya kenangan yang ayah tinggalkan padaku” jawab Nia pelan, semakin erat ia menggenggam buku dongeng itu. Buku usang yang suda lama di simpan itu di genggam begitu erat oleh Nia, seakan ia menggenggam permata paling berharga yang pernah di temukan, seperti itulah Nia menggenggam kengangan ayahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN