“Saya tadi dengar ada tukang ketoprak lewat, saya laper jadi saya keluar mau kejar bapak penjualnya hehe”
“Jam sebelas malam begini ketopraknya lewat, neng?”
Nia mengangguk, aneh sebenarnya kalau di pikir lagi, “Iya tadi saya sempet dengar, atau saya yang salah dengar ya?”
Para bapak yang tegah berpatroli itu mengangkat alisnya tinggi-tinggi, jarang sekali ada penjual ketoprak lewat di komplek mereka. Dua orang bapak celingukan di jalanan namun mereka tak menemukan satu penjualpun disana.
“Neng yakin dengar suara penjual ketoprak?”
Nia mengangguk pelan, “Hehe kayaknya saya dengar pak, tapi saya juga kurang yakin sih. Mungkin salah dengar kali ya pak” tak baik juga kalau lama-lama berbohong pada mereka.
“Neng Nia masuk lagi aja, udah malem neng. Neng temenin bu Kalsum aja ya, nanti ibunya cariin loh” pinta para bapak-bapak itu.
Nia mengangguk pelan dan berpamitan masuk lagi ke dalam rumah, isi kepala Nia hanya berputar soal lelaki misterius yang ia temui tadi. Heran terus saja memutar di kepalanya, sebelum ini lelaki itu berusaha mengejar Nia namun saat dia ingin bicara empat mata lelaki itu malah kabur.
“Ya sudah mungkin dia orang asing, jangan di pikirkan lagi deh” gumam Nia pelan.
Nia kembali masuk ke dalam rumah da tidur dengan tenang, ia tak ingin memikirkan hal aneh yang terjadi sebelumnya. Nia yakin lelaki itu hanyalah orang asing yang ingin iseng saja, ia akan terus mengejar Nia saat dia ketakutan namun akan mundur saat korbannya tak lagi ketakutan.
Di hari kedua Nia bekerja, dia sudah mendapatkan beberapa teman yang bisa di ajak mengobrol. Walaupun Nia terpikir untuk dekat dengan siapapun namun Nia sudah bersyukur dia mendapatakan sambutan positif dari beberapa orang.
Ting.. satu pesan masuk ke ponsel Nia, ia tak segera membuka pesan tersebut karena jam kerja masih berjalan. Nia tak ingin menyia-nyiakan waktu walau satu menit saja untuk menjawab pesan yang di berikan oleh sang pengirim.
Jarum jam kembali tertuju pada angka empat, semua pegawai mulai bersiap untuk kembali ke rumah masing-masing. Namun nampaknya hanya Nia sendiri yang masih duduk menahan diri di tempatnya, ia membaca pesan yang di berikan oleh pengirim tadi.
‘Hei, cepat lunasi hutang yang kalian punya kalau tidak kami akan menyita semua aset milik kalian!’
Nia terkejut bukan main, ia ingat tidak pernah berurusan dengan pengutang ataupun pinjaman dari bank mana saja. Nia membaca pesan yang masuk ke ponselnya kembali, disana tertera nama pemilik nomor yang tak lain adalah seseorang yang biasa meminjamkan uang pada orang yang membutuhkan, namun Nia tahu betul dia mematok bunga yang sangat besar.
“Aku nggak ingat pernah meminjam dari mereka, apa jangan-jangan.. ibu..” gumam Nia.
Ia bergegas kembali pulang untuk melihat keadaan ibunya, tak di sangka Nia akan kembali berurusan dengan para lintah darat ini. Bahkan jika memang semuanya benar, ia tak ingin ibunya terseret dalam kubangan lintah seperti orang lainnya.
Nia mempercepat jalannya hingga sampai ke rumah, ia berlarian kecil sampai tak memperdulikan beberapa panggilan orang yang mengenalnya di jalanan. Nia terus saja menerobos jalanan untuk memastikan ibunya baik-baik saja.
Nia menatap rumahnya dari depan halaman namun terlihat sunyi senyap, tak ada tanda para penagih hutang itu datang kemari. Ia membuka pintu secara paksa, ia tak melihat keberadaan ibunya dari depan maupun di belakang rumah. Nia mencoba masuk ke dalam dapur dan kamar ibunya namun nihil, Nia tak juga menemukan satu-satunya anggota keluarga yang masih ia miliki.
“Ibu.. Ibu..” gumam Nia ketakutan.
Nia mencoba menelpon ibunya namun panggilannya terus menerus terpotong, Nia panik bukan main tatkala ibunya sama sekali tak mengangkat telpon darinya. Terdengar bahwa sambungan dari sang ibu terus menerus terpotong, Nia makin panik takut ibunya di bawa oleh para penagih hutang.
Ia keluar rumah mencari keberadaan sang ibu, Nia tahu betul ibunya bekerja sampingan sebagai penjahit baju anak-anak di rumah tetangga. Rumah tempat usaha tetangganya itu tak jauh dari rumah Nia, ia bisa berjalan cepat kesana untuk memastikan ibunya baik-baik saja.
“Assalamualaikum, bu Rodiyah?” salam Nia dari depan pintu rumah.
“Waallaikumsallam, eh neng Nia. Baru pulang kerja neng?” sapa sang pemilik rumah.
Nia mengangguk namun pandangan matanya tertuju pada semua pegawai yang tengah sibuk dengan kain yang ada di depan mereka. Namun Nia tak melihat keberadaan ibunya dimanapun ia menyorot, Nia kebingungan sendiri tatkala isi otaknya hanya di penuhi dengan ibunya.
“Neng, neng Nia?” panggil bu Rodiyah mengejutkan Nia.
“Iya bu?”
“Ada perlu apa neng kemari?” tanya bu Rodiyah.
“Eh, ibu saya masih ada disini bu?” tanya Nia cemas.
Bu Rodiyah sedikit tertegun dengan Nia, “Loh ibu kamu tadi minta ijin pulang duluan katanya neng Nia barus jatuh kemarin jadi bu Kalsum mau ke apotek beli obat” jawab pemilik usaha itu.
Nia tak bisa lega dengan sendirinya, ia tak yakin dengan jawaban wanita paruh baya di depannya ini, “Tapi kok aneh ya, apotek ka nada di jalan besar sebelah kanan sana tapi ibumu malah pergi ke jalan lurus itu tempat pertokoan” ujar bu Rodiyah.
Jantung Nia kembali berdetak tak karuan, ia tahu betul deretan toko yang di maksud oleh bu Rodiyah adalah deretan menuju kantor si pemberi hutang. Nia bergegas pergi ke tempat itu untuk menyusul sang ibu, ia tak ingin melihat ibunya berlutut memohon keringanan pembayaran seperti orang lainnya.
Yang lebih menyebalkan kenapa dia tak tahu soal hutang di pinjam oleh sang ibu walaupun mereka satu rumah? Nia menyesalkan kebodohannya yang terlalu santai dengan keadaannya saat ini, namun bu Rodiyah memegangi tangan Nia sebelum gadis itu pergi.
“Kamu mau kemana, neng?” tanya bu Rodiyah khawatir, “Hari sudah sore, sebentar lagi matahari bakal turun. Neng balik ke rumah aja ya, nanti ibumu bakal kembali ke rumah bu Rodiyah jamin”
‘Bagaimana bisa aku membiarkan ibuku jalan-jalan sendiri sejauh itu dalam keadaan beliau yang menahan sakit?’
‘Beliau menderita diabetes basah, meskipun pengobatannya terus membaik namun aku yakin berjalan beberapa langkah saja sudah membuatnya menderita’
‘Mana mungkin aku akan membiarkan ibuku memohon seperti pengemis di depan para rentenir itu? tidak, aku nggak akan pernah membiarkan ibuku meminjam dari mereka lagi’