Plester dan Hansaplast

1050 Kata
“Kamu mau kemana, neng?” tanya bu Rodiyah khawatir, “Hari sudah sore, sebentar lagi matahari bakal turun. Neng balik ke rumah aja ya, nanti ibumu bakal kembali ke rumah bu Rodiyah jamin” Senyum Nia mengembang sempurna, ia menyentuh telapak tangan bu Rodiyah yang memeganginya, “Bu Rodiyah tenang aja, saya Cuma mau cek ke apotek. Saya yakin beliau masih ada disana, soalnya ibu kalo jalan pelan jadi saya harus menyusul” Bu Rodiyah mengangguk pelan, “Oh benar juga, ya sudah neng Nia cepat susul ibumu kesana ya. kalo ketemu langsung pulang aja, matahari mau tenggelam” Nia mengangguk segera setelahnya ia berlarian menuju jalan yang di tuju oleh ibunya, tidak salah lagi dari keterangan bu Rodiyah tadi sang ibu berjalan menutu pertokoan di sekitar sini. Nia berlarian tak peduli luka di kedua lututnya kembali berdarah. “Ibu.. tunggu aku, ku mohon jangan bertemu dengan para rentenir itu” gumam Nia sembari melewati jalanan menuju kantor rentenir itu. Langkah kaki Nia terhenti saat tubuhnya berhasil tiba di depan kantor koperasi langganan para ibu-ibu rumah tangga yang kepepet masalah ekonomi. Di kantor ini para nasabah akan di berikan kemudahan saat meminjam uang namun mereka mematok bunga yang begitu besar. Nia sedikit ingat tatkala ayahnya masih hidup pernah meminjam uang di koperasi ini, Nia tak tahu seberapa besar bunga yang di berikan oleh para rentenir itu akan tetapi mnegingat kembali semua perjuangan ibunya bekerja sebagai penjahit baju, Nia tersadar bahwa bunga dari mereka terus saja bertambah walaupun bertahun-tahun telah berlalu. “Ibu.. dimana ibu” gumam Nia. Matanya terbelalak saat melihat papan kecil yang terpasang di depan pintu, kantor ini telah tutup! Nia mengacak-acak rambutnya. Ia menatap kembali kantor bagian depan yang sepi tanpa terlihat kehidupan disana, tak ada satupun manusia yang keluar dari pintu yang tertutup rapat itu. “Apotek, apa ibu benar-benar pergi ke apotek? Aku sangat berharap ibu benar-benar pergi ke apotek, nggak menginjakkan kakinya di tempat terkutuk ini” gumam Nia. Walaupun kakinya sudah benar-benar pegal tak kuat berjalan lagi, namun Nia tak ingin apapun terjadi pada ibunya. Nia berjalan terus saat matahari mulai terbenam, di depan apotek yang berada sekitar lima ratus meter dari pertokoan itu, Nia tetap tak menemukan keberadaan ibunya. “Loh neng, ada perlu apa kok nggak masuk?” tanya pegawai apotek yang sudah mengenal baik Nia. “Kenapa kamu Nia? Napasmu kelihatan ngos-ngosan begitu?” tanyanya lagi. “Dian, kamu lihat.. aah aku mau beli sesuatu disini” jawab Nia kikuk, ia tak akan menanyakan keberadaan ibunya pada teman sekolahnya. Nia sedikit tertatih masuk ke dalam apotek, walaupun dia tak membutuhkan apapun tapi Nia tak ingin kelihatan mencurigakan di depan orang lain. Nia menatap satu per satu pegawai disini, semuanya kelihatan biasa saja menatapnya. “Kamu mau beli apa, Nia?” tanya Dian. “Emm perban” jawab Nia kikuk. “Apa lagi?” “Emm hansaplast” jawab Nia lagi. “Itu aja?” tanya Dian. Nina mengangguk saja tanpa mengatakan apapun lagi, selagi Dia mengambilkan beberapa barang yang di inginkan olehnya, Nia kembali menatap satu persatu pegawai yang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. “Tumben banget kamu butuh perban sama hansaplast? Kamu lagi sakit atau ibumu yang terluka?” tanya Dian sembari membungkus dua benda itu dengan plastik. “Hemm, aku membutuhkannya beberapa hari ini. Kemarin sore aku jatuh di perjalanan pulang” jawab Nia singkat, ia ingin memancing lebih jauh pembicaraan ini. “Oh ya? kenapa nggak chat aja Nia, bilang aja sama aku kalo kamu butuh apa-apa. Makanya jalanmu agak aneh tadi ku perhatikan, lagian kamu nggak harus datang kesini Nia. Kalo lukamu makin parah gimana? Ibumu bakal cemas nantinya” omel Dian. “Heem, aku nggak enak kalau merepotkan ibuku jadi aku berangkat sendiri kemari” jawab Nia makin masuk ke dalam pembicaraan ini. “Oh ya gimana kabar bu Kalsum? Aku dengar pengobatannya mulai berhasil, apa beliau sekarang sehat?” Nia tahu hal ini akan terjadi, ibunya tak pernah datang kemari seperti yang di katakan oleh bu Rodiyah sebelumnya. Jika memang ibunya kemari, jelas para pegawai akan terkejut karena ibunya tak bisa berjalan lebih dari beberapa meter saja. Dan juga Dian malah menanyakan perihal kesehatan ibunya, harusnya Dian bisa menanyakannya sendiri saat ibunya datang tadi. Bila sungguh datang kemari, Dian dan pegawai lainnya tak akan menanyakan perihal ibunya lagi. “Hei, Nia! Bengong aja malah, ini belanjaan kamu” omel Dian kembali mengagetkan Nia. “Oh ya terima kasih Dian” “Sampaikan salamku pada ibumu ya, sehat-sehat selalu” pinta Dian. “Oke haha. Oh ya menjawab pertanyaanmu tadi, keadaan ibu baik-baik saja saat ini. Terima kasih sudah menanyakan kesehatan beliau” Dia melempar kantung plastik kosong pada Nia, teman sekolahnya ini memang sangat jahil sejak dulu. Nia hanya tertawa mendengar omelan Dian yang tak henti walaupun dia sudah berada di luar apotek. Dentuman detak jantung makin lama makin terdengar jelas, Nia bergegas kembali pulang ke rumah, berlari sekencang yang ia bisa. “Ibu, kemana ibu pergi di hari selarut ini?” gumam Nia. Ia berlari sekencang kakinya melaju, perih yang ia rasakan di kedua lututnya tak ia pedulikan lagi. Di tengah perjalanan Nia bertemu dengan lelaki yang ia temui kemarin malam, lelaki itu sangat tenang walaupun Nia melewatinya. Gadis itu berdiri mematung di depan pagar kayu rumahnya menatap lelaki misterius berpakaian serba hitam, hari ini lelaki itu masih saja diam setenang air. Tetap saja segalanya membingungkan Nia, ia tak lagi memperdulikan lelaki tadi, wajah ibunya terlintas di kepalanya beberapa detik. “Ibu..” gumam Nia berlari ke dalam rumah meninggalkan sang pria sendiri. Sore menjelang pukul enam ini terlihat begitu cerah, matahari menunjukkan warna kemerahan sebelum tertutup oleh gelapnya malam. Sinar matahari berwarna kemerahan itu masuk melalui celah rumah Nia, ia berjalan perlahan memasuki rumahnya yang sunyi. Matanya menyorot wakjah cantik nan lembut yang tengah duduk di sofa sembari menjahit baju yang sobek. Sudah kebiasaan ibunya selalu menjahit pakaian sembari menunggu kepulangan sang puteri semata wayangnya. Ibunya menoleh dengan senyuman yang tak bisa di artikan oleh Nia, “Nduk, kamu sudah pulang?” Sekali lagi ibunya tengah menyembunyikan sesuatu yang penting darinya, sekeras apapun Nia mencoba namun ibunya selalu punya cara untuk mengalihkan perhatian Nia. Tatapan mata sang ibu yang terkesan menyejukkan, wajahnya yang diterpa oleh cahaya kemerahan matahari membuatnya makin berbeda dari sebelumnya. “Ibu.. apa yang ibu sembunyikan dariku?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN