Makan malam kali ini terasa begitu berbeda bagi Nia, ia banyak melirik ibunya yang terlihat santai saja makan di meja yang sama. Nia ingin sekali menanyakan perihal hutang yang ibu sembunyikn darinya, keingintahuan itu makin besar tak mampu ia pendam sendiri.
“Ibu?”
“Ya nduk?”
“Ibu aku ingin tanya tentang hutang ayah beberapa tahun yang lalu, apa ayah masih punya urusan dengan para rentenir itu?” tanya Nia tanpa basa basi lagi.
Ibunya sedikit terkejut namun sebisa mungkin menutupinya, “Tidak nduk, ayahmu nggak ada hutang sama mereka lagi” jawab ibunya sedikit gugup.
“Ibu, tolong beri tahu Nia besran hutang yang amsih di tinggalkan oleh ayah. Kalo memang benar, Nia bisa bantu ibu melunasinya” pinta Nia.
Namun ibunya beranjak ke wastafel, “Nia lanjutkan makan malamnya ya, kalau sudah selesai nanti ibu bereskan semua sisanya”
Lagi-lagi seperti ini, ibunya terlalu tertutup untuk urusan hutang sang ayah. Nia pun tak paham berapa besarana hutang yang ibunya pinjam pada para rentenir itu, setahu Nia tak ada yang berubah dati kedaan di rumah ini, tidak ada barang baru yang datang.
‘Lalu kemana uang yang di pinjam oleh ibu?’
Gadis itu menatap ibunya yang kelihatan merepotkan diri di wastafel seakan banyak pekerjaan agar Nia tak bertanya apapun lagi, jika sudah bagini biasanya Nia akan mencoba berdiam diri dan mencari semua jawabannya sendiri.
Keesokan harinya lagi-lagi Nia mendapatkan telepon dari nomor yang tak di kenal, di jam istirahat kerja yang harusnya di gunakan untuk bersantai malah di kembali di ganggu oleh mereka. Terpaksa Nia harus meninggalkan temannya untuk mengangkat telepon, ia harus melakukannya kalau tidak orang ini akan terus mengganggu hidupnya.
“Nia mau kemana?” tanya temannya dengan mulut penuh soto.
“Bentar, aku ada kepentingan” jawab Nia sembari keluar dari rumah makan.
Nia mengangkat telepon dari nomor misterius itu, “Halo”
‘Halo, ini kau Nia?’ tanya seseorang bersuara lelaki dari ujung sambungan telepon.
“Ya, ini siapa?” tanya Nia tak ramah, ia sudah tahu betul para rentenir itu yang melakukannya.
‘Haha mana mungkin kau lupa dengan suaraku ini? Keluargamu sudah memakai uangku dan kau melupakan aku?’
“Katakan saja berapa hutang yang kalian berikan pada ibuku, aku akan melunasinya” jawab Nia ketus.
‘Baiklah karena kau yang memaksa, datanglah ke kantorku sore ini dan lunasi semua hutang orang tuamu!’ bentak pria itu sembari menutup teleponnya.
Nia menghela napas panjang sesaat pria itu menutup teleponnya dengan kasar tanpa salam atau apapun itu, Nia mengernyitkan alisnya keheranan apa semua debt collector punya perilaku semena-mena ini?
“Siapa yang telpon kamu, Nia?” taya Ratna, teman kantornya.
“Sales, hehe” jawab Nia bohong.
“Oh ku kira siapa, kalo dari cowok kan aku jadi kepo hehe”
“Mau nambah lagi nggak?” tawar Nia sengaja ingin mengalihkan perhatian Ratna.
“Udah kenyang nih, kamu aja deh yang nambah ntar aku yang bayarin hehe”
“Aku juga udah kenyang nih, balik aja yuk” ajak Nia dan di setujui oleh Ratna.
Nia menatap jarum jam di dinding kantor yang meninjukkan pukul empat sore, ini sudah waktunya untuk kembali pulang setelah seharian ia bekerja. Nia segera mengemasi semua barang-barangnya, ia ingin secepatnya bertemu dengan debt collector itu dan menguak mistrei hutang sang ibu.
Tiba di depan kantor koperasi yang tak jauh dari kompleknya, jantung Nia terasa di tusuk-tusuk walaupun ia belum menginjakkan kakinya ke dalam kantor.
“Semuanya akan baik-baik saja, aku bisa melewati ini semua” gumam Nia.
Gadis itu benar-benar mausk ke dalam kantor debt collector yang di sulap menjaid koperasi ini, Nia tak melihat ada satu orangpun di dalam sini. Jam menunjukkan pukul lima dan Nia tahu betul para pegawai koperasi pasti sudah pulang.
“Hei kau!” gertak seorang pria berbadan gempal dari belakang Nia.
“Kantor sudah tutup, kembalilah besok kalau butuh uang!” bentaknya lagi.
“Heeh jadi ini pelayanan ramah seperti slogan disana ya? Waah berbanidng terbalik banget astaga” tanya Nia tanpa rasa takut ia menunjuk slogan sopan di dinding.
Pria itu naik pitam mendengar ucapan Nia namun seorang lelaki dengan tubuh lebih kecil datang untuk menghadang keributan antar Nia dan pegawai itu.
“Hei sudah hentikan, dia tamu pak bos” ujarnya.
“Huh, dasar w************n!” geram pria bertubuh gempal itu.
‘Apa?’ gumam Nia tak paham.
“Masuklah, bos sudah menunggumu disana” perintah lelaki itu.
Tanpa banyak bicara Nia menurutinya, ia masuk ke dalam ruangan agak dalam dari ruangan pertama. Ia melihat seseorang berjaga di depan ruangan, tanpa banyak bicara orang itu menunjukkan ruangan dimana Nia harus pergi.
Nia melihat sosok bertubuh tambun dengan jenggot tipis yang memenuhi wajahnya, mata pria itu kecil dan bulat namun melotot pada Nia tak henti berkedip. Lelaki berumur itu duduk di kursi kebesarannya terus menerus menatap Nia.
“Jadi kau ya putri bu Kalsum?” tanya pria tua yang di panggil bos oleh semua pegawai disini.
“Anda bisa melihat sendiri wajahku sangat mirip dengan ibuku bukan?” jawab Nia ketus, ia tak mau beramah tamah dengan lelaki yang sudah mencekik orang di sekitar sini dengan bunga pinjaman yang besar.
“Hei jangan kaku begitu, aku ingin kau datang karena aku dengar kalau kau akan melunasi hutang ibumu. Aku akui kau punya kepercayaan diri yang tinggi bertemu denganku, hehe aku suka gadis sepertimu” kata bos itu tak henti menatap Nia.
“Maaf pak, saya nggak punya banyak waktu bicara dengan anda. Bisa langsung saja saya lihat berapa hutang yang di pinjam oleh ibu saya?” tanya Nia ketus.
“Hemm baiklah bawa kesini berkasnya” pinta sang bos, sembari menjentikkan jarinya.
Salah satu orangnya membawa berkas hutang ibu Nia, bos tambun itu memperlihatkan semua hutang dari ibu Nia yang mencapai angka dua digit. Nia tak menyangka ibunya memiliki hutang sebanyak ini, namun sekali lagi Nia yakin bisa melunasinya dengan baik.
“Bagaimana? Hutang ibumu sangat besar kan?” ejek bos tambun itu.
“Hanya ini saja hutang ibu saya?” tantang Nia.
“Apa?”
Nia menghela napas panjang, “Saya akan mengambil alih hutang ibu dan melunasinya selama satu tahun, dengan begitu anda tak perlu lagi meneror kami dengan telepon atau membuntuti aku setiap pulang bekerja”
“Apa?” tanya bos tambun itu.
“Aaah saya sudah tahu lelaki disana itu yang membuntuti saya setiap hari, jadi anda tak perlu melakukannya lagi karena saya akan melunasinya” jawab Nia enteng.
“Hei hei gadis manis, apa kau sadar berapa bunga yang naik setiap bulannya?” tantang si bos.
“Yup saya tahu betul, dan saya yakin anda terus menaikkan bunganya walaupun hutang ayah saya sudah lunas. Saya bisa mempidanakan hal ini jika terus terjadi, saya minta agar anda segera menghentikan permainan kotor ini sebelum saya bertindak dengan cara saya sendiri”
‘Benar, harus ada orang yang bergerak agar tak ada lagi korban selanjutnya’ ucap Nia dalam hati.
“Hei gadis manis, aku bisa menawarkan bantuan agar kau nggak perlu repot melunasi semua hutang ibumu”
Nia menatap mata pria tambun yang tak punya daya tarik baginya, mata bulat kecil itu terus saja berpetualang menatap semua bagian tubuh Nia. Walau tak memakai make up tebal namun kecantikannya terpancar bagai mentari pagi.
“Persembahkan dirimu padaku, gadis manis”