Bekal Makan Siang

2610 Kata
Saat istirahat adalah waktu oaking di tunggu setiap pegawai, walaupun kebanyakan dari mereka sudah sarapan pagi namun seakan belum cukup untuk memenuhi perut. Dan hal itu terjadi pada para pegawai di rumah sakit Ellaine, para pegawai akan berbondong-bondong menuju kafetaria untuk melepas lapar. Namun hal itu tak Rafael lakukan, pekerjaannya amat menumpuk dan banyak sekali laporan yang harus segera ia serahkan ke atasan. Tak ada waktu bagi Rafael untuk berdiam diri ataupun sekedar menghabiskan waktu makan di sambi mengobrol dengan pegawai lainnya. “Dok, kamu nggak ke kafetaria?” tanya dokter Chakra rekan sesama dokter. Rafael masih fokus menatap layar komputer tanpa melihat dokter Chakra yang mengintip dari balik pintu ruangan, “Hari ini nggak dulu, masih banyak yang harus aku selesaikan” “Hei dok, ayolah kamu nggak mau makan soto kesukaan nona Brielle di sana? Lihat dia sudah datang seperti biasanya menggoda dokter Hans, hehe” sahut dokter Chakra, memang dia dan Rafael sangat suka menggoda Hans saat gebetannya datang. “Hush hush! Aku sibuk, sana pergi” usir Rafael. “Sudah ayo pergi” ajak rekan lainnya menyeret dokter Chakra pergi dari ruangan Rafael, “Maaf dok, aku akan menanganinya kali ini hehe” Rafael menunjukkan jempolnya dan tersenyum, ia kembali menyelesaikan semua pekerjaan yang tak ada habisnya ini. Namun jam menunjukkan pukul dua belas lebih sepuluh menit, masih ada beberapa waktu untuknya mengistirahatkan otak. Rafael menatap kotak bekal yang di berikan oleh ibu Nia pagi tadi, tanpa pikir panjang ia membuka bekal kotak makan siang. Matanya terpana menatap isi makanan di kotak, hanya nasi putih, telur dadar, krengsengan tempe dan juga tumis sayur. Makanan pemberian mereka memang sangat sederhana bila di bandingkan dengan makanan yang selalu di sajikan oleh keluarganya, namun Rafael merasakan keikhlasan pemberian mereka tanpa mnegharap sesuatu yang lebih. Lelaki yang berprofesi sebagai dokter itu melahap makanan buatan ibu Nia begitu lahap, walaupun tadi pagi ia makan banyak sekali namun rasanya perut Rafael selalu mampu menampung makanan dari rumah Nia sebanyak apapun. “Hei Rafa, maaf aku mengganggumu” kata Hans, ia masuk ruangan Rafael tanpa mengetuk pintu. “Hemm?” tanya Rafael, ia masih fokus makan bekal menghadap komputer. “Kau lagi makan ya?” “Hemm” jawab Rafael, ia menggeser kursinya hingga Hans bisa melihatnya dengan jelas. “Aku membawa berkas untuk kegiatan amal selanjutnya, bagaimana apa kau bisa menjadi perwakilan kita selanjutnya?” tanya Hans, matanya terfokus pada bekal makanan yang di bawa Rafael. “He’em” jawab Rafael, mulutnya penuh dengan makanan. “Aaah benar sekarang masih jam istirahat, maaf aku sudah kelewatan mengganggumu” kata Hans, matanya tetap fokus pada kotak bekal Rafael. “Sebaiknya kamu juga segera makan siang, sayang kalo waktu istirahat di pake bekerja terus” nah loh, Hans jadi bingung tumben banget Rafael mengatakan hal ini padahal sebelumnya dia termasuk pegawai tanpa mengenal istirahat. “Brielle nggak datang?” tanya Rafael lagi. “Dia ada di kafetaria sama dokter Chakra dan yang lain, tumben kamu nggak kesana?” Rafael menggeleng pelan, ia tetap makan bekal dari ibu Nia, “Aku bosen” Hans duduk di kursi khusus pasien di depan meja Rafael, ia mengeluarkan banyak laporan sebelum pergi ke kafetaria menyusul Brielle dan dokter Chakra. “Baiklah aku bakal tunjukkan laporan yang harus kamu teliti sebelum menyetujui semua kegiatan kita dua minggu lagi” kata Hans. Rafael mengangguk lagi, ia memperhatikan tingkah Hans yang tengah sibuk-sibuknya tak jauh dari diri Rafael sendiri. Sahabat yang sudah ia kenal sejak kuliah kedokteran di Singapore itu sangat memahami pekerjaan yang tengah membelenggu mereka di tempat ini, dan juga Hans tak segan memberikan banyak sekali pekerjaan padanya. Rafael menghela napas ketika membaca kegiatan yang akan di adakan beberapa waktu mendatang, kegiatan ini memang bersifat sosial namun sangat menyita banyak waktunya. Apalagi ia harus menyelesaikan masalah di tempat Nia. “Kau keberatan?” tanya Hans, melihat raut wajah Rafael saja Hans sudah tahu Rafael kesal padanya. “Mana pernah kamu nggak kejam sama aku?” cibir Rafael, ia menggigit telur dadar dengan toping bawang merah, bawang putih dan cabe merah. “Mana pernah kamu menolakku, Rafa?” sahut Hans. “Baiklah baik, aku akan melaksanakan semua perintahmu A’a Hans” ejek Rafael, ia mengejek panggilan orang tua Hans pada anaknya. “Hemph, tumben banget kamu bawa bekal?” tanya Hans, ia memperhatikan kotak sangat sederhana di tangan Rafael. “Kenapa memangnya?” tanya Rafael ganti, dia tahu cepat atau lambat Hans pasti mengetahui segalanya. “Nothing, it just not like usual” jawab Hans. Senyum Hans mengembang namun hal itu malah membuat Rafael kesal, sahabatnya beranjak pergi menyusul Brielle dan yang lain ke kafetaria. “Itu aja yang mau kamu bicarakan denganku?” tanya Rafael kesal. Hans berbalik badan namun wajahnya berseri, “Hee congratulation bro, finally you got her” Rafael sudah menduga Hans akan menangkap situasi secepat ini, sahabatnya satu ini memang punya insting luar biasa. Hanya dengan tatapan mata saja Hans akan tahu apa saja yang terjadi pada Rafael, berbeda dengan Rafael yang sedikit kesulitan untuk peka keadaan sekitar. “Nyebelin” gumam Rafael. “What? Kamu udah berani menunjukkan taringmu padanya setelah dua tahun berlalu, nggak ada salahnya kan kalo kamu memulainya dari sekarang” kata Hans. “Diamlah Hans” ujar Rafael, bibirnya cemberut karena semuanya di ketahui dengan mudah oleh Hans. “It’s okay, kamu nggak perlu terburu-buru mengungkap segalanya sekarang. Tapi aku kaget banget kamu berani datang ke rumahnya sampai di bawakan makanan ala rumahan, I wonder what happen yesterday” ejek Hans. “Just out of my room, you morron” teriak Rafael sembari melempar botol kosong di meja, wajahnya memerah padam. “Okay okay, if you need me just ask” ujar Hans sebelum meninggalkan Rafael. “Huh ngeselin amat, kenapa dia selalu tahu segalanya” gumam Rafael, ia kembali menghabiskan semua makanan di bekal. Malam hari mulai terlihat, hari ini sebisa mungkin Rafael menyelesaikan semua pekerjaannya tepat waktu meskipun ia harus hadir di dalam rapat paling membosankan. Ia mengemudikan mobil melewati kantor berita tempat Nia bekerja, Rafael memperhatikan gedung itu sudah sepi oleh karyawan, tentu saja sekarang sudah hampir jam enam sore. “Dia udah pulang belum ya?” gumam Rafael. Lelaki itu memutuskan untuk berhenti di depan kantor Nia dan mengamati setiap orang yang masih keluar dari gedung itu, sorot mata tajamnya mengawasi setiap pergerakan yang mencurigakan. Satu persatu pegawai di gedung yang sekarang banyak di kuasai oleh Bryan itu sudah mulai berkurang, Rafael melihat satu orang lelaki yang mengunci gedung. “Dia yang terakhir” gumam Rafael. Pria setengah baya itu mengendarai motor keluaran tahun dua ribu sepuluh perlahan dari halaman kantor, dia adalah satpam kantor yang kembali pulang paling akhir. Rafael menghembuskan napas panjang, malam ini ia terlalu khawatir memikirkan gadis spesial itu. “Syukurlah kalo dia sudah pulang, rasanya jantungku bakal meledak kalo terjadi sesuatu padanya” gumam Rafael. * Ibu Nia menatap putri semata wayangnya yang tengah menikmati makan malam hari ini, Nia sama sekali tak tahu kalau ibunya sedari tadi memperhatikan Nia. Gadis itu melirik ibunya yang tersenyum berkali-kali padanya, memang aneh kalau melihat orang tuanya senyum sendiri seperti ini. “Ada apa, bu?” “Nduk, ibu penasaran kamu ketemu laki-laki baik tadi pagi itu” jawab ibunya. Nia menyendok nasi di piringnya lagi, “Dia teman atasanku bu, dia kasih kabar baik tentang perjalanan bisnis atasanku. Itu aja nggak ada yang lain” jawab Nia, mana mungkin dia akan menceritakan hal menyebalkan soal Patrick kemarin. “Benarkah? Ibu suka sama kepribadiannya yang sopan dan sering tersenyum, jarang banget anak kota punya sifat ramah seperti itu” Nia mengingat kembali memori bersama lelaki asing yang di temuinya semalam, “Hemm, aku pokir dia memang baik” Tak ada tanda-tanda lelaki itu akan mencelakainya walaupun kemarin malam jelas sekali hanya ada mereka berdua di rumah ini, jika saja Rafael menututi apa kata sang penggoda iman mungkin ia sudah membuat Nia berbadan dua. “Namanya siapa, nduk? Tadi pagi dia nggak kasih tahu ibu siapa namanya” Nia tersedak nasi seketika, “Nduk kamu nggak apa-apa?” tanya ibunya khawatir, ia memberikan air putih pada Nia. “Nggak apa-apa bu, ada duri ikan yang ikut kemakan tadi uhuk uhuk” jawab Nia, ia meneguk segelas air putih dari ibunya. Nia baru saja ingat juga kalau lelaki itu belum memberitahu tentang namanya, ia tak menyangka bisa tinggal satu atap dengan orang yang tak ia ketahui namanya. Bahkan sampai mereka berpisahpun Nia masih belum tahu siapa dan riwayat dari lelaki itu. “Nduk?” tegur ibunya. “Emm ya, itu bu, eeh dia kemarin kasih tahu aku siapa namanya tapi aku lupa bu hehe” jawab Nia bohong. “Hemm baiklah, lain kali bawa dia kesini lagi ya nduk, jangan lupa kamu tanya dia suka makan apa. Nanti ibu buatkan banyak makanan yang dia suka” pinta ibunya. Nia mengangguk pelan, ia tak ingin membuat ibunya kecewa dengannya lagi. Betapa aneh pertemuan antar Nia dan Rafael, bisa-bisanya lelaki itu tak memberitahu siapa dirinya namun ia hanya memberikan petunjuk sebagai sahabat Ellaine saja. Nia merebahkan tubuhnya di atas kasur yang tak terlalu empuk, ia menatap langit-langit kamar yang terbuat dari papan kayu. Ia mengingat betul semalam tadi tempat tidur ini di gunakan oleh Rafael tidur, wangi aroma tubuh Rafael bahkan masih saja menempel di bantal miliknya. Harum aroma kahs lelaki itu terkesan lembut walaupun masih terasa kuat aroma macho, Nia berusaha mengingat dimana ia pernah mencium aroma serupa. Samar-samar wangi itu menghilang ketika ingatan Nia hampir menemukannya. “Aku nggak ingat dimana aku pernah mencium aroma ini, tapi aku ingat betul mereka punya aroma yang sama” gumam Nia. Gadis itu mulai penasaran dengan aroma menggugah batinnya, Nia mulai mencium bantal dan guling. Gadis itu mengendus setiap sisi yang memiliki aroma paling kuat, namun aroma itu akan menghilang saat Nia berusaha mencarinya. “Ini persis banget kayak lagi cari duit ilang di atas tumpukan jerami” gumam Nia sedikit kesal. “Nduk, kamu.. astgahfirullah Nia! Kamu ngapain, nduk?” pekik ibunya. Nia menghentikan kegiatan anehnya mengendus aroma kayak binatang pelacak, ia nyengir saat ibunya meraih guling dari tangan Nia. Ibunya menatap Nia yang bengong seperti baru saja mencium bau aneh yang belum pernah di ingat di dalam memori otaknya. “Ih buang, nduk. Kamu kok ngendus-ngendus begitu toh? Lagi ngapain belum tidur?” “Hehe Nia nggak sengaja mencium aroma aneh di guling sama bantal tadi jadi..” ucap Nia, ia hampir kelepasan bicara, “Well yap karena kemarin kasur Nia di pake orang asing jadi Nia mencium bau air liur, siapa tahu kan dia ngiler di bantal sama gulingnya Nia? Hehe Nia lupa belum ganti sih” “Ya udah ibu ambilkan sarung guling sama sarung bantal baru, nduk Nia tunggu disini ya” ujar ibunya. Nia menghela napas lega, ia menepuk gulingnya beberapa kali karena kesal, “Huuh kenapa juga aku nggak sadar ibu masuk ke kamarku, bau dia ngeselin sih jadi aku cariin tadi” sesal Nia. Nia kembali mencium guling di tangannya sekilas tapi di jauhkan lagi, “Ih ngeselin, seriusan kamu ngeselin guling!” Nia segera menyusul ibunya yang pergi duluan mengambil sarung bantal dan guling, berada di kamar terus menerus dengan aroma khas Rafael makin membuat otaknya sulit menghilangkan bayangan lelaki itu. Baru saja dua langkah Nia akan menyusul ibunya, telinganya yang tajam mendengar sesuatu berisik dari halaman depan. Nia mengerjap beberapa saat ketika suara itu menghilang, ia tak yakin suara berisik tadi adalah suara manusia, ia kembali meneruskan niatnya bertemu dengan sang ibu. “Ibu, udah dapat sarung bantal dan gulingnya?” tanya Nia ketika ia mendekati sang ibu. * Di malam yang terang dengan hadirnya sinar rembulan ini tak membuat hati Rafael tenang begitu saja, ia mati-matian mengerjakan laporan yang harus di serahkan besok pagi pada atasan yang tak lain adalah ayah Ellaine. Rafael memperhatikan setiap gerak gerik orang yang lewat di sekitarnya, kewaspadaan Rafael membuat pekerjaannya makin serius. Ia ingin segera menyelesaikan semua laporannya secepat mungkin, banyak hal lain yang harus ia lakukan setelah semua pekerjaan ini berakhir. “Tuan muda?” panggil seorang lelaki yang duduk di depannya. “Ada apa?” “Ehem, kami menemukan bawahan rentenir itu beberapa kali berjalan mengitari rumah gadis yang anda tunjukkan pada kami” “Berapa kali mereka mengitari rumahnya?” tanya Rafael matanya tetap fokus pada layar laptop. “Ehem, kami tidak menghitungnya tuan” jawab lelaki muda itu sedikit terbata. Rafael mendongak menatap bawahannya yang menjengkelkan itu, “Hish, lain kali nggak kerja yang bener bakal aku lempar kau ke sungai” ujar Rafael kesal. Lelaki muda itu nyengir ketakutan, “Maaf tuan, saya akan minta mereka untuk terus mengawasi rumah gadis anda” Dari semua body guard yang bekerja bersamanya, hanya anak muda ini yang menyebalkan. Dia di tunjuk sendiri oleh ayah Rafael agar membawanya saat di butuhkan, tapi bagi Rafael membawa anak muda minim pengalaman ini makin membuat kepalanya pusing. Rafael menutup laptopnya setelah ia mengirimkan semua berkas kopian pada Hans melalui email, Rafael meneguk satu botol air mineral hingga habis. Ia bersyukur bisa menyelesaikan semua pekerjaannya tepat waktu, matanya menyorot kendaraan yang lalu lalang dari dalam mobil. Hanya ada tiga orang disana, dia sendiri, sopir yang merangkap bodyguard dan juga anak muda aneh ini. Rafael kembali mengintai rumah Nia dari rekaman cctv yang sengaja di pasang diam-diam oleh orang-orang Rafael. Lelaki itu meminta anak buahnya untuk memasang delapan buah kamera berukuran sangat kecil yang tersebar di sekitaran rumah Nia. Rafael melihat semua rekaman para pekerjanya yang memasang kamera dengan hati-hati agar Nia maupun ibunya tak menyadari. Namun bukannya senang dengan hal itu, Rafael malah malu sendiri menghadapi para pekerjanya yang konyol itu. Di saat dua orang di tugaskan untuk memasang kamera secara sembunyi-sembunyi di teras depan rumah malah terpeleset hampir terjatuh sesaat setelah memasang satu kamera, tentu saja hal itu malah membuat suara berisik. Rafael menepuk jidatnya lagi, bagaimana bisa mereka seceroboh ini padahal mereka orang elit yang di sewa oleh keluarganya. “Ibu cuma bisa nemu dua model nduk, sisanya belum ibu setrika. Kamu mau pake yang mana nduk?” tanya ibu Nia sembari memperlihatkan dua motif sarung bantal yang berbeda. “Yang biru aja bu, kayaknya lebih kelihatan adem” jawab Nia enteng. “Ya sudah kamu bawa, besok yang abis di ilerin sama masnya biar ibu cuci” Dukk… suara itu sedikit keras hingga mengagetkan Nia dna ibunya, lampu seluruh rumah tiba-tiba saja padam padahal tadinya masih baik-baik saja. Rafael menutup matanya melihat dua orang anak buahnya yang melakukan hal mengerikan ini, lelaki itu menggigit jarinya cemas. “Tuan tenang saja, mereka bakal menyelesaikannya dengan cepat hehe” ujar lelaki muda bernama Alifuddin. “Diamlah Udin, atau ku jepret mulutmu pake penjepit kertas” ujar Rafael, kepalanya makin pusing dengan suara Udin yang menggema gembira. Rafael kembali melihat rekaman cctv yang telah di pasang di dekat tiang listrik tak jauh dari rumah Nia, dari sana Rafael bisa melihat jelas dua orang pekerjanya tengah memasang semua kamera di sekitar rumah Nia dengan sangat berhati-hati dan bergegas secepat mungkin sebelum Nia mengetahuinya. Sedangkan dua pegawainya lagi tengah mengawasi keadaan sekitar dari luar halaman. “Nduk, ibu lihat rumah sebelah ndak mati lampu. Apa sambungan listrik kita di cabut ya?” tanya ibunya khawatir. Nia mengelus pelan pundak ibunya, “Nggak kok bu, ibu tenang aja ya. Nia mau cek keadaan di depan dulu” ujarnya sebelum meninggalkan ibunya di ruang tengah. Rafael menggigit jarinya lagi, hal ini jarang sekali ia lakukan jika keadaannya tak semenegangkan ini. Dari jendela kayu yang terbuka itu, Rafael bisa melihat jelas dari rekaman cctv bayangan sosok gadis itu bakal keluar dari dalam. Gigitan jari Rafael makin kuat, jantungnya makin berdetak cepat membayangkan dua pekerjanya yang sembrono ini akan di pergoki oleh Nia. “Siapa disana?” teriak Nia keras.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN