Harum aroma bunga melati khas pedesaan menyeruak di seluruh rumah minimalis ini, sudah menjadi rutinitas turun temurun oleh keluarga Nia memetik bunga melati setiap pagi dan membawanya ke dalam rumah sebagai hiasan.
Harum khas ala melati membuat pagi mereka lebih segar dan siap menjalani hari, sinar mentari perlahan masuk melalui celah gorden sederhana yang di pasang di setiap jendela kayu rumah. Suasana yang jarang sekali di temukan di daerah perkotaan, hangat sinar mentari seakan memanjakan setiap insan untuk tetap terlelap dalam balutan mimpi.
“Wangi..” gumam seseorang yang masih betah berada di atas ranjang.
Hidungnya yang sensitif mencium aroma makanan yang telah siap saji di atas meja, wangi aroma ikan goreng dan juga sambal terasi. Aroma menggugah selera itu terus menggelitik hidungnya, aroma rempah dari masakan khas pedesaan yang tentu sangat di rindukan oleh banyak orang.
Orang itu menyentuh guling di sampingnya lalu memeluknya erat, sejenak ia merasakan tempat yang ia tiduri terasa lebih nyaman walaupun tak seempuk tempat tidur di rumahnya sendiri. Seketika orang itu membuka matanya, ia memandangi langit-langit ruangan yang tak luas dan sederhana.
*
Pagi hari seperti biasanya Nia selalu menyempatkan diri untuk membantu ibunya menyiapkan sarapan, Nia meletakkan bakul nasi berukuran sedikit besar di meja. Ia tersenyum manis ketika harus memasak banyak makanan di pagi hari, meskipun sangat sederhana namun Nia tetap menikmati proses memasak makanan sederhana ini.
Ibu Nia selesai menumis kacang panjang dan juga tempe, beliau menuangkannya ke wadah kecil. Bu Kalsum mendekati putrinya dan meneliti semua masakan yang di buat bersama anak paling di cintainya, sesekali ia membetulkan posisi piring.
“Temenmu udah bangun, nduk?” tanya ibunya.
Nia menggeleng pelan, “Nggak tahu bu, dari kemarin dia tidur pules banget di kursi depan”
“Kamu tengok gih, ibu takut dia udah nggak napas”
Nia tersenyum geli mendengarnya, “Haha mana mungkin, ibu ini ada-ada aja deh. Badannya segede itu masa bisa tewas secepat itu?”
“Siapa tahu, kamu bilang kemarin dia tidur di depan lama kan? Ibu takut dia demam, nduk”
“Haha oke oke, Nia tengok dia sekarang. Ibu jangan khawatir lagi, ya”
Nia bergegas meuju kamarnya yang tak jauh berada di dekat dapur, ia mengetuk pintu namun sama sekali tak terdengar jawaban dari dalam kamar. Perlahan gadis itu membuka pintu kamar namun yang di dapatinya Rafael masih memejamkan mata.
“Hemm dia belum bangun ya?” tanya Nia dengan suara pelan sekali.
Gadis itu mendekati Rafael yang terlelap, wajahnya yang sedikit terpapar sinar matahari terlihat begitu tenang. Nia memanyukan bibirnya karena lelaki asing ini, dia harus mengalah dan tidur di sofa ruang tamu. Dan anehnya tempat tidur miliknya kelihatan sangat sempit di pakai oleh tubuh besar Rafael.
Nia menggoyangkan tubuh Rafael pelan, “Mas, mas?”
Tak mendapatkan tanggapan sama sekali, Nia menggoyangkan tubuh Rafael sekali lagi, “Mas, udah siang ayo bangun”
Tetap saja Nia tak mendapati Rafael bangun, bahkan lelaki itu sama sekali tak bergeser dari posisinya. Nia memanyunkan bibirnya lagi, lama-lama ia kesal dengan tingkah lelaki yang tak tahu malu ini, sejenak Nia mendekati wajah Rafael yang bersemu kemerahan.
Nia beranjak akan pergi meninggalkan lelaki itu, “Ya udah kalo nggak bangun, aku tinggal pergi”
“Eh tunggu dulu!” teriak Rafael, ia bergegas bangun dari tidurnya.
“Nah kan, ketahuan kalo udah bangun” ujar Nia.
Rafael hanya bisa nyengir mendengar omelan Nia di pagi hari, “Maaf aku.. aku..”
“Mas mandi dulu ya, aku sama ibu nungguin mas di meja makan” kata Nia sebelum keluar kamar.
Rasanya hati Rafael tengah di kerubuti oleh kupu-kupu yang akan menghisap seluruh jiwa raganya ingga mengempis. Ucapan manis itu tak di duga sama sekali, bisa-bisanya Nia mencabut nyawa Rafael secepat ini.
“Tapi sebelum mandi bereskan tempat tidurnya dulu, aku nggak mau kamarku jadi berantakan” ujar Nia, raut wajahnya sedikit berubah melihat tingkah pola tidur Rafael yang acak acakan.
“Tentu, tentu aku bereskan” jawab Rafael terbata-bata.
Nia meninggalkan Rafael di kamarnya sedangkan lelaki itu menggaruk kepalanya yang tak gatal, ia baru tahu kalau kamar ini milik Nia. Jantungnya makin tak karuan karena ia memakai semua benda yang biasa di gunakan Nia untuk tidur.
“Bodohnya aku, bisa-bisanya ketiduran di rumah orang” gumam Rafael mengutuk dirinya sendiri, ia melihat bantal yang terjatuh dari kasur dan guling yang berada di kakinya.
Rafael menepuk jidatnya sedikit keras, “Bisa-bisanya aku tidur pake mode reog kayak begini di rumah dia, astaga”
Tak mau lama membuat ibu dan anak itu terus menunggunya, Rafael segera merapikan semua benda di atas kasur yang ia gunakan. Sedikit tertarik Rafael menatap seluruh kamar milik Nia, memang tak seluas kamar di apartemen maupun rumah orang tuanya namun kamar ini kelihatan sangat nyaman.
Hanya ada sedikit perabotan disini bahkan bisa di hitung dengan jari, Rafael melihat bunga melati yang di letakkan di dalam vas bunga di atas meja kecil tak jauh dari tempat tidur. Jika di rumahnya sudah tersedia pengharum ruangan otomatis yang siap menyemprot cairan pengharum itu setiap beberapa menit, namun Nia menggunakan pengharum lebih alami.
Senyum Rafael menyungging seketika, betapa sederhana kedua ibu dan anak ini di tengah kota besar bahkan Nia sendiri sama sekali tak gengsi dengan keadaan ibunya. Sejak pertama kali mengenal sosok Nia, Rafael yakin gadis ini tergambar layaknya tokoh sederhana yang menjadi pujaan banyak orang.
Nia dan ibunya menatap Rafael yang baru saja keluar dari kamar mandi, wajah itu kelihatan sangat segar dan rambut basahnya membuat Rafael kelihatan seperti artis tanah air. Ibu Nia tersenyum tulus pada sosok lelaki yang baru ia temui, ia mempersilahkan Rafael untuk duduk dan menikmati sarapan bersama.
“Pagi Bu, Pagi Nia”
Nia menatap lelaki berwajah tampan itu seksama, “Pagi, mas”
“Ayo silahkan duduk, nak” pinta bu Kalsum, Rafael mengangguk tanpa ragu lalu duduk di depan ibu dan anak itu.
“Silahkan di makan, makanannya nggak mewah tapi semoga kamu suka ya nak” kata ibu Nia dengan senyuman yang amat tulus.
Rafael jadi sungkan sendiri melihatnya, “Terima kasih banyak, bu. Saya suka makanan rumahan seperti ini kok”
Ibu Nia bergegas mengambilkan nasi di atas piring Rafael, ibunya memberikan lauk yang sekiranya di sukai oleh lelaki bertubuh besar ini. Setelah embaca doa bersama, Rafael segera melahap semua makanan yang tersaji di piringnya, tentu saja Nia dan ibunya menatap takjub napsu makan Rafael yang begitu besar.
“Nggak udah sungkan nak, kamu ambil aja kalo masih lapar” kata ibu Nia, mungkin ini rasanya memiliki anak lelaki, mereka akan makan semua masakan ibunya dengan lahap.
Sedangkan Nia terbengong melihat lelaki asing di depannya, nggak nyangka kalau sahabat Ellaine itu begitu banyak makan, “Nggak heran badannya bisa sebesar itu, makannya aja porsi kuli” gumam Nia.
Hanya beberapa sendok saja Nia sudah sangat kenyang, ia meletakkan sendok dan garpu di atas piring. Rafael menatap Nia yang sudah menyelesaikan sarapan padahal baru sepuluh menit berlalu, sedangkan ibu Nia terus menerus memberikan lauk dan nasi di atas piring Rafael.
“Kamu udah selesai makannya?” tanya Rafael.
“Iya, aku udah kenyang lihat mas makan sebanyak itu” jawab Nia.
“Ish, nduk nggak boleh begitu sama tamu” tegur ibunya pelan namun suaranya masih lembut, “Ibu tambah lagi nasinya ya nak, kamu pasti capek tadi malam sudah mengantar putri ibu pulang”
Rafael mengangguk mantap, “Boleh boleh, saya nggak keberatan makan semua masakan yang di buat Ibu”
Nia bergidik ngeri mendengar jawaban Rafael yang mengerikan itu, entah sudah berapa puluh suap yang masuk ke dalam mulutnya namun ia masih saja kuat menghabiskan makanan satu meja. Namun dalam hati kecilnya, Nia sedikit tertarik dengan lelaki aneh ini.
Makannya sangat lahap seperti anak kecil yang baru saja kembali dari main di lapangan bersama temab-teman sebayanya. Biasanya anak laki-laki memiliki kekuatan yang lebih besar dan mereka akan membutuhkan banyak asupan energi setelah melakukan banyak aktifitas, kasus ini mirip dengan Rafael sekarang.
‘Tapi aku nggak paham kegiatan apa aja yang di kerjakan orang ini sampe napsu makannya sebesar ini, lagian seingatku malah dia duluan yang tidur, ish ish’ ucap Nia dalam hati, ia meneguk teh hangat buatan sang ibu.
“Baru kali ini ada yang menghabiskan semua makanan yang Ibu buat, lain kali jangan sungkan ya datang lagi ke rumah” ujar ibu Nia.
Rafael mengangguk penuh semangat, “Siap, saya suka makanan seperti ini. Rasanya nggak jauh beda sama masakan restoran”
Ibu Nia makin senang dengan sosok lelaki berparas tampan namun sangat sopan dan sederhana. Meskipun terlihat jelas sekali aura orang kaya namun Rafael tak menunjukkannya, bahkan lelaki itu sama sekali tak mengeluarkan benda mahal yang ia bawa.
Matahari pagi makin menyinari seluruh kehidupan yang ada di bumi, pagi ini rasanya ada yang berbeda di rumah Nia. Keadaan jauh lebih ramai karena kehadiran Rafael yang selalu tersenyum pada kedua wanita ini, ibu Nia membawakan bekal makan siang pada keduanya.
Nia akan berangkat ke tempat kerja, tak jauh berbeda dengan Rafael yang akan kembali bekerja dengan jadwal yang penuh padat hari ini. Namun sampai saat ini dua wanita di depannya tak sekalipun menanyakan hal itu, Rafael ingin tetap diam tanpa banyak menunjukkan gelagat aneh.
“Bawa ini ya nak, ibu nggak yakin kamu suka tapi setidaknya nanti di tempat kerja kamu nggak lapar” kata ibu Nia sembari menyerahkan bekal yang di letakkan pada wadah sederhana.
“Ibu kasih dia juga?” tanya Nia tak percaya.
“Nduk, nggak boleh begitu. Ibu nggak mau membedakan anak ibu sama temennya Nia” jawab ibunya namun tetap dengan suara lembut.
“Tapi bu, dia bukan temennya Nia” sanggah Nia.
“Kalo bukan kenapa dia sampai repot mau mengantar Nia pulang?” tanya ibunya, Nia di buat kicep dengan pertanyaan ibunya.
“Haha kami baru saja bertemu kemarin bu, maaf kalau saya terlalu sembrono tidur di rumah ibu” kata Rafael, ia menerima bekal sederhana yang di berikan oleh ibu Nia.
“Mau baru kenal atau sudah lama kenal, ibu yakin kamu orang baik nak. Tolong maafkan Nia kalo dia kasar sama kamu ya, nak” pinta ibu Nia, “Ibu nggak bisa balas kebaikan kamu dengan hal mewah, tapi ibu harap kamu suka ya”
Entah mengapa ucapan ibu Nia terasa menyentuh hati Rafael yang terdalam, sifat keibuannya menghangatkan paginya setiap detik. Rafael mengangguk berulang kali, berbeda dengan Nia yang sudah gedek dengan kelakuan Rafael yang aneh.
Mereka berdua meninggalkna halaman menuju tempat kerja masing-masing, Rafael berjalan riang gembira di samping Nia. Walaupun langkah kaki gadis itu terkesan lebih lambat darinya namun Rafael sama sekali tak keberatan kalau memperlambat laju kakinya sendiri.
“Wajah kamu muram banget hari ini, kamu kesel aku datang dan menghabiskan makanan kalian?” tanya Rafael selagi di jalan.
Nia menggeleng pelan, “Aku penasaran sama sesuatu, apa mas nggak begah abis makan sebanyak itu?”
Rafael menggeleng yakin, “Buktinya aku masih kuat jalan kan? Aku suka makan apalagi masakan ibumu enak banget, kenapa memangnya?”
“Yang aku lihat di drama biasanya setelah makan banyak bakal pingsan atau ketiduran” jawab Nia.
“Haha, kalo itu nggak ngaruh ke aku. Sejak kecil aku suka banget makan, jadi yang tadi terhitung pembukaan” jawab Rafael.
“Baiklah tapi aku khawatir tentang sesuatu lagi, sejak tadi aku mau tanya tapi mas lagi asyik makan sama ibu”
Rafael makin memepet Nia, “Tanya soal apa?”
“Mas nggak khawatir sama mobilnya?” tanya Nia.
Seketika Rafael menepuk jidatnya lagi, “Astaga aku lupa! Aku ninggal mobilku di depan komplek, giman kalo di curi sama orang nggak bertanggung jawab?” ujar Rafael panic.
Nia jadi ikutan panic, “Eh maaf mas, aku kira mas udah amankan mobilnya atau gimana. Harusnya aku bilang dari tadi tapi aku nggak enak ganggu masnya lagi makan” sahut Nia, ia tak kalah bingung dengan Rafael.
Lelaki itu melirik wajah khawatir Nia yang amat serius, “Gimana nih? Mana jauh pula jaraknya dari sini, aku nggak punya alat pelacak di mobilku” ujar Rafael makin membuat Nia panik.
Nia segera menggandeng tangan Rafael dan sedikit berlari, “Ayo kalo gitu tunggu apa lagi mas? Kita kudu cepet sampe kesana sebelum hilang”
Tentu sentuhan tak terduga dari Nia membuat badan Rafael panas dalam, “Ayo mas, tunggu apa lagi?” tegur Nia, ia segera menarik tangan Rafael melewati rumah-rumah komplek.
Walaupun tempo lari Nia sangat pelan bagi Rafael namun lelaki itu tak mempermasalahkannya, ia malah mengikuti irama kaki Nia agar gadis itu tak merasa tertinggal. Berlarian di pagi hari bersama Nia serasa jalan cepat bagi Rafael, gadis ini sangat lucu menggemaskan.
Tiba di depan jalan masuk komplek, Nia berhenti lalu mengambil napas dalam-dalam, ia melihat wajah Rafael yang kelihatan begitu tenang seakan tak khawatir tentang apapun. Nia ngos-ngosan berkeringat akibat berlarian sejauh dua komplek.
“Dimana mobilnya? Mobil yang mas bawa di parkir dimana?” tanya Nia, ia menoleh ke kanan dan kiri mencari mobil Rafael.
“Oh itu dia, syukurlah masih ada disana” teriak Rafael sembari menunjuk mobil hitam yang diam tak jauh dari mereka.
Nia menghela napas panjang, “Syukur deh, mobilnya mas masih utuh” ujar Nia, ia menyeka keringatnya pelan.
Rafael mengetik sesuatu di ponselnya lalu memasukkan ponsel ke saku, “Baiklah, kita..”
“Sampai jumpa lain waktu, mas” pamit Nia sembari membetulkan tasnya.
“Mau kemana kamu?” tanya Rafael heran.
“Mobilnya udah ketemu dan masih utuh, jadi aku harus kembali jalan ke kantor” jawab Nia.
“Kita kesana pake.. maksudnya aku antar kamu ke kantor, jadi jangan berangkat sendirian hari ini” ucap Rafael.
Nia menggeleng pelan, “Mas udah banyak bantu aku kemarin, jadi nggak sopan kalo aku masih nebeng mas hari ini”
Rafael menatap dalam wajah Nia yang memerah akibat ulahnya, rasa penyesalan Rafael begitu besar di dadanya. Penolakan Nia menjadi cambuk tersendiri, ia tak ingin membiarkan gadis istimewa ini sendirian melewati hari.
‘Bukan, tapi aku yang nggak rela kalau berpisah dengannya begitu saja’ gumam Rafael.
Nia melambaikan tangannya perlahan, punggung gadis itu makin mengecil di pandangan Rafael. Nia benar-benar menolaknya berangkat kerja bersama, Rafael menggenggam erat kotak makan siang pemberian ibu Nia.
Seorang lelaki muda dengan tinggi tak kalah dari Rafael mendekat dan memberikan salam hormat pada lelaki di rudung duka itu, ia memperhatikan wajah Rafael yang muram tak garang seperti biasanya juga entah sorot matanya mengarah kemana.
“Tuan, maaf saya dan beberapa orang sudah berjaga di seluruh tempat ini seperti yang anda perintahkan semalam” ujarnya sopan.
“Lalu apa yang kalian dapat?” tanya Rafael, sorot matanya masih mengarah pada jalan dimana Nia pergi.
“Seperti yang tuan duga, mereka berusaha merebut kuasa di daerah ini dengan iming-iming pinjaman. Mereka akan terus memberikan bunga yang sangat besar, sampai peminjam akan menyerahkan semua harta benda termasuk rumah”
“Sudah ku duga” gumam Rafael.
“Kami juga menemukan banyak fakta lain tuan”
“Katakan semua padaku setelah aku kembali dari rumah sakit” jawab Rafael.
“Baik, tuan”
“Dan biarkan tiga sampai empat orang berjaga di komplek ini, gantikan posisi mereka setiap malam. Kita punya pekerjaan khusus meringkus para lintah darat itu” perintah Rafael tegas.