Pesan Ellaine

2210 Kata
Langit  makin lama makin menenggelamkan cahaya senja di ufuk barat, pemandangan pada pergantian malam itu semakin terasa dengan hadirnya angin malam yang dingin menusuk tulang. Rafael melirik Nia yang terdiam tanpa mengucapkan sepatah kata. Satu persatu penduduk di komplek mulai menyembunyikan diri di dalam rumah, keadaan jalanan komplek benar-benar sepi dan menyisakan dua insan yang tengah berjalan satu tujuan. Nia tersenyum lega ketika halaman rumah mulai terlihat, begitu canggung rasanya berjalan bersama lelaki yang baru ia kenal. “Ini rumahmu?” tanya Rafael heran. Nia mengangguk pelan, ia membuka pagar kayu berwarna putih setinggi lutut kaki orang dewasa. Ia membiarkan lelaki berbadan atletis itu memasuki pekarangan rumahnya, sejak kejadian satu jam yang lalu Rafael terus memaksa untuk mengantarnya pulang. Nia melirik lelaki ala kota itu, “Ada apa?” tanya Nia penasaran, Rafael menengok kanan dan kiri halaman rumah Nia. “Nggak ada, aku takjub masih ada model rumah seperti ini di Jakarta” sahut Rafael. Nia mengambil kunci rumah walaupun pintu kayu rumahnya sudah banyak berlubang, “Rumah ini peninggalan ayah, beliau punya ketertarikan membuat model rumah seperti di desa dan model jadul” jawab Nia. Rafael mengangkat alisnya pelan, ia heran bukan main dengan rumah tua milik keluarga Nia ini. Pintunya sudah berlubang dimana-mana namun aneh sekali Nia masih menggunakan kunci dan gembok di luar, Rafael pikir hanya dengan satu tendangannya saja pintu ini pasti sudah jebol bahkan patah jadi dua. ‘Apasih yang dia pikirin?’ ujar Rafael dalam hati. Nia memasuki rumahnya yang terlihat sempit namun nyaman, tidak dengan Rafael yang tak langsung masuk ke dalam. Ia memeriksa pintu berbahan dari kayu itu, saat di gerakan terdengar bunyi berdecit yang memekakkan telinga. Nia menatap Rafael yang sibuk sendiri di depan pintu, “Emm, mas?” “Oh maaf, apa orang tuamu nggak ada di rumah?” tanya Rafael, ia berjalan memasuki rumah Nia. Nia menggeleng pelan, “Beliau masih belum pulang, mungkin setelah sholat Isya beliau kembali ke rumah. Emm mas aku..” Rafael buru-buru duduk di sofa pendek yang terdapat di ruang tamu, “Aku akan menunggu mereka sampai pulang” kata Rafael memotong ucapan Nia. “Tapi..” Rafael mengibaskan tangannya pelan, “Lakukan kegiatan seperti biasa setelah kau pulang dari bekerja, aku nggak akan mengganggumu” kata Rafael, ucapannya seakan ia adalah tuan rumah disini. Nia mengangguk pelan, “Baiklah kalo mas memaksa, aku masuk dulu” ujar Nia dan di balas anggukan oleh Rafael. ‘Aaah biarkan ajalah, lagi pula dia udah menolongku tadi’ gumam Nia sembari mencopoti semua pakaiannya di kamar mandi. Tak sampai dua puluh menit berlalu Nia keluar dari kamar mandi, ia berencana akan membuatkan segelas teh hangat nan manis pada Rafael. Namun ia takut lelaki itu sudah pergi dari sini, ia berjalan pelan mengintip ruang tamu tempat Rafael berada. ‘Eh ternyata dia masih disini’ gumam Nia. Di lihatnya lelaki berwajah tampan itu tenang menatap layar ponsel, sesekali Rafael mengetik sesuatu disana. Wajahnya kelihatan  lebih tampan saat Rafael tengah serius, fantasi Nia sedikit bermunculan saat membayangkan wajah itu muncul di layar televisi. ‘Aku yakin pernah melihat wajah itu sebelumnya, tapi aku lupa dimana’ gumam Nia. Gadis muda itu beranjak untuk membuatkan minuman hangat untuk Rafael, tak baik kalau membiarkan tamu dalam keadaan haus setelah berjalan jauh mengantarnya pulang. Nia menuangkan beberapa sendok gula ke dalam gelas, entah dari mana datangnya ide ini tapi ia yakin Rafael menyukai sesuatu yang manis. Nia keluar dari dalam rumah dengan membawa gelas berisi teh hangat yang di tutup dengan penutup berbahan stainless. Pelan namun pasti Nia meletakkan gelas minuman hangat di depan Rafael, namun mata Rafael terpesona dengan wajah cantik alami yang di tunjukkan oleh Nia. “Maaf sudah lama menunggu” kata Nia, “Silahkan di minum, mas. Maaf aku nggak bisa kasih sirup atau minuman mahal lainnya, di rumah ini jarang sekali kami menerima tamu jadi aku dan ibu jarang membeli bahan makanan mahal” terang Nia. “Ini sudah cukup untukku, terima kasih” jawab Rafael, matanya tetap menyorot wajah cantik Nia. Rambut hitam setengah basah Nia membuat darah Rafael naik berkali lipat, Rafael tak pernah menyangka ia akan berhadapan dengan gadis yang sudah lama ia perhatikan dalam waktu singkat. Nia menggosok pelan rambutnya dengan handuk kering, ia tak ingin rambutnya mengembang kusut bila tak segera di rawat namun semua gerak gerik Nia di perhatikan dengan jelas oleh Rafael. “Kamu hanya tingga berdua dengan ibumu?” tanya Rafael, ia ingin mengalihkan pembicaraan agar gairahnya tak naik drastis. “Iya, kami hanya berdua saja sejak aku masih sekolah” jawab Nia, ia menatap wajah aneh Rafael setelah minum teh manis buatannya. “Ada apa, mas?” tanya Nia, ia khawatir bila ia salah memasukkan garam bukannya gula. Rafael tersenyum lalu menggeleng pelan, “Nggak ada, tehnya harum” “Lingkungan ini asri, aku menyukainya” kata Rafael berusaha mengalihkan pembicaraan, ia kembali minum teh yang di berikan padanya. 'Oh no, ini manis sekali! Aku harus mulai olahraga berat lagi kalo kebanyakan konsumsi gula!' Kini dugaan Nia salah, dari ekspresi yang di tunjukkan oleh Rafael sudah di pastikan lelaki itu tak mengonsumsi banyak makanan manis. Ia terus menerus menyipitkan matanya setelah meneguk teh, walaupun begitu Rafael sama sekali tak protes malahan lelaki itu nekat mneghabiskannya. Tentu saja tingkahnya yang aneh membuat senyum Nia mengembang, “Aku senang kamu datang” “Kamu senang aku datang ke rumahmu?” tany Rafael, ia ingin membenturkan jidatnya ke tembok karena pertanyaan itu meluncur tanpa di sadari. Nia mengangguk pelan, “Aku senang mas datang, karena jika tidak mungkin hari ini aku nggak bisa tahu keberadaan nona Ellaine” Rafael menghembuskan napas panjang, di kira dialah sumber kebahagiaan Nia sampai gadis itu tersenyum sangat manis. Nyatanya hanya Ellaine yang ada di pikiran Nia, Rafael meletakkan gelas ke meja. “Ehem, yaah aku di minta Elly untuk menemuimu. Kebetulan aku melihatmu keluar dari kantor, jadi aku nggak perlu repot mencarimu kemana-mana” kata Rafael. “Apa yang mbak Ellaine ingin sampaikan?” tanya Nia namun Rafael kelihatan malah melamun, “Mas? Kok malah melamun?” tegur Nia. “Well, ini pesan yang nggak bakal buat kamu bahagia” “Nggak apa-apa mas, aku juga khawatir sama mbak Ellaine. Sudah lebih dari satu bulan ini kami para pegawai nggak ada yang tahu kabar beliau, bahkan para petinggi sepertinya menutupi keberadaan beliau tiap kami menanyakannya. Kami sangat membutuhkannya di kantor karena beliaulah yang membuat managemen kantor lebih baik dari sebelumnya, juga para pegawai yang dekat dengan beliau sangat merindukannya” terang Nia, wajahnya sangat sedih. Rafael menyesap tehnya lagi beberapa kali, “Aku tahu soal itu, tapi dia bilang harus pergi dalam waktu dekat” Nia mengerjab beberapa kali, “Mbak Ellaine pergi, mas? Pergi kemana?” Kalau mau jujur sih sebenarnya Rafael girang bukan main saat Nia memanggilnya ‘mas’, entah kenapa kepalanya terasa jauh lebih ringan dan semua kupu-kupu menumpuk ingin lepas dalam perutnya. Di panggil dengan sebutan manis seperti itu membuatnya jauh lebih bersemangat, malahan sebutan Nia padanya terkesan sangat menghormatinya. “Aku nggak bisa katakan tujuannya pergi karena semuanya bukan wewenangku, aku hanya di minta untuk menemuimu karena dia mengingatmu” jawab Rafael. Nia menunduk lemas, sekali lagi ia kecewa karena Rafael pun tak bisa menceritakan semuanya, “Memang tidak bisa ya?” “Tapi aku akan membantumu mengatahui keadaaanya” kata Rafael. “Benarkah? Mas mau membantuku bertemu dengan mbak Ellaine juga?” tanya Nia, matanya yang berbinar-binar itu membuat jantung Rafael bergejolak ria. “Aku akan membantumu asal kamu harus menutup mulut dari semua orang di sekelilingmu, aku nggak mau ada yang mengetahui keberadaan dia sekarang” Nia mengangguk setuju asal ia dapat mengetahui keberadaan Ellaine maupun Cassandra, “Aku janji bakal menutup semua yang mas ceritakan soal mbak Ellaine” Karena keteguhan hatinya yang tulus, Rafael bersedia membocorkan sedikit menganai posisi Ellaine, “Dia sedang berada di villa daerah Bogor. Ellaine melakukan banyak pekerjaan disana, mungkin dia akan tetap tinggal disana sampai beberapa bulan ke depan” Nia mengangguk lagi, “Mbak Ellaine sengaja pergi ke villa dan menyendiri disana, begitu?” tanya Nia. Wajah serius gadis itu kelihatan sangat lucu, Rafael ingin sekali tertawa, “Yup bisa di bilang begitu, aku dan Hans punya tanggung jawab masing-masing pada Ellaine” Nia tahu betul soal Hans, ia dokter paling terkenal di rumah sakit milik keluarga Ellaine bahkan saking terkenalnya banyak pasien yang ingin datang hanya untuk melihat wajah rupawan lelaki super ganteng itu. “Syukurlah” gumam Nia. “Dia memberiku pesan satu lagi khusus untukmu, Ellaine ingin kamu membawa ibumu rutin ke rumah sakit. Ellaine tahu betul ibumu punya riwayat gula basah, nggak usah khawatir soal biaya karena Ellaine sudah mengatasi semuanya” ujar Rafael sangat lancar. Nia mengangguk pelan, ingin sekali gadis itu menangis kencang namun ia sadar tak akan melakukannya di depan Rafael. Walaupun sudah lama sekali Nia dan Ellaine berpisah namun wanita super cantik itu masih memikirkannya walau jarak memisahkan, sepeduli itulah Ellaine pada teman. “Lalu, apa lagi yang ingin kau tanyakan?” tanya Rafael. Nia menggeleng pelan, “Mungkin aku sudah mendengar banyak tentangnya hari ini, aku sudah senang bisa tahu kesehatannya baik-baik saja” “Lain kali aku akan membawamu menemuinya, jangan khawatir soal itu” ujar Rafael menenangkan Nia. “Terima kasih, mas” ujar Nia. Di malam yang indah ini Rafael melihat tak ada perbedaan antara indahnya rembulan dengan wajah berseri Nia. Senyumannya yang makin merekah membuat wajah cantik alami ala gadis rumahan terpancar mempesona. Di malam yang begitu indah ini hanya ada mereka berdua, walau aneh rasanya Nia memasukkan lelaki ke dalam rumah namun entah mengapa hati kecilnya mengatakan lelaki ini sama sekali tak berbahaya, perasaan sama yang ia rasakan saat di dekat lelaki misterius bermata indah. Jam sudah menunjukkan lebuh dari pukul tujuh namun Nia belum juga melihat kedatangan ibunya dari rumah jahit, biasanya ibunya akan pulang sebelum dirinya dan memasak banyak lauk. Namun kali ini Nia sedikit takut terjadi sesuatu yang tak di inginkan mengingat dia menolak permintaan Patrick. Nia berusaha memanggil ibunya namun sambungan telepon terus saja terputus, kekhawatirannya terus bertambah saat pemilik rumah jahit mengatakan kalau ibunya sudah pulang. Nia tak habis pikir kemana ibunya pergi di saat seperti ini, kakinya masih sering ngilu sehingga tak mungkin ibunya akan pergi jauh. “Oh ibu, ku mohon angkatlah telepon dariku” gumam Nia. Sedangkan Rafael masih betah berada di rumah Nia, ia menatap luar halaman rumah Nia yang hanya di terangi oleh cahaya membuat taman bunga itu terlihat lebih indah. Beberapa serangga masih terlihat berkerumun di sekitar bunga, Rafael tersenyum menatap bagaimana dua wanita di rumah ini merawat semua tumbuhan dengan baik. Di kota besar ini sudah jarang sekali serangga di temukan, namun Nia dan ibunya memaksa para serangga untuk tetap datang dan menyejukkan rumah mereka. Rafael benar-benar takjub dengan kesederhanaan mereka berdua, ia menengok ke dalam rumah namun gadis itu masih belum keluar. Rasa khawatir Rafael mulai menjalar di tubuhnya mengingat Nia hanya tinggal berdua bersama sang ibu. “Ibumu masih belum pulang juga?” tanya Rafael saat Nia datang mendekatinya. “Iya loh, biasanya ibu pulang sebelum jam enam” “Di usia serenta itu beliau masih kerja?” “Mau gimana lagi? Aku sudah minta ibu untuk istirahat di rumah saja tapi beliau bersikeras nggak mau kalo beliau tetep di diem di rumah” jawab Nia. ‘Haruskah aku menunggunya sampai pagi disini? Tapi besok jadwalku padat banget, di samping itu mana mungkin aku ninggalin dia sendirian di rumah ini’ ucap Rafael dalam hati. Rafael menatap sekeliling rumah Nia yang hanya di beri pagar setinggi lutut kaki, semua pintu dan jendela rumah juga memiliki tingkat keamanan yang minim. Rafael menepuk jidatnya pelan, tak sampai hati kalau dia harus meninggalkan Nia malam ini. Ia tak bisa membayangkan kalau Patrick akan menyerang Nia di rumah tua ini, jelas Nia jadi sasaran empuk setelah kehadirannya melawan Patrick tadi. Rafael memutuskan untuk duduk di kursi rotan yang terletak di sudut teras, “Aku akan nunggu juga disini” Nia terbelalak kaget, “Mas, sudah malam loh. Masnya nanti di cariin sama orang tua mas kalo nggak pulang-pulang, aku nggak apa-apa kok mas sendirian di rumah. Ibu akan cepat pulang abis ini” ‘Itulah yang paling aku takutkan Nia, melihatmu sendirian di rumah mana mungkin aku bisa tidur tenang malam ini’ “Jangan khawatirkan soal itu, orang tuaku di Amerika jadi mereka nggak akan secemas itu” jawab Rafael. “Tapi mas,-” “Aku akan tetap disini sampai ibumu pulang, kamu masuk saja ke dalam rumah. Di luar masih ramai banyak orang lewat, jadi aku yakin ibumu baik-baik saja” potong Rafael. Baru saja mereka bertemu tapi sikap Rafael sudah sangat keras padanya, harus di akui bahwa Rafael sedikit menyebalkan tapi dia juga sudah banyak membantunya hari ini. Nia kembali ke dalam rumah, namun tak berapa lama Nia kembali keluar dengan menenteng sebuah selimut. “Ini mas pakai, udaranya dingin banget hari ini. Aku nggak mau mas kenapa-napa kalau mas nanti masuk angin” kata Nia pelan. Nia menatap jalanan yang sungguh sepi tanpa satupun orang lewat, tak ada kabar apapun dari sang ibu walau jam pulang dari bekerja terlewat. Nia merapatkan jaket tipis hingga menempel ke tubuh mungilnya, sedangkan Rafael berusaha sekeras mungkin memaksa matanya tetap terbuka. ‘Jangan tidur! Jangan sampe aku tertidur, aaaa!! Aku harus menjaganya sampai pagi, kalo nggak kejantananku bakal di pertanyakan!’
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN