Lampu Taman

2600 Kata
“Gimana bu, apa sudah mendingan?” tanya seorang perawat pada wanita setengah baya yang duduk di taman rumah sakit. “Iya nak, kepala ibu sedikit membaik sekarang” jawab ibu Nia, senyumnya kembali merekah. “Baiklah, saya antar kembali ke kamar ya bu. Sebentar lagi putri ibu akan datang kemari” Ibu Nia mengangguk pelan, “Ibu boleh minta tolong nak?” Perawat itu mengangguk sembari memapah ibu Nia kembali ke kamarnya, “Boleh bu, katakan saja saya akan bantu” Ibu Nia sejenak berhenti menatap perawat yang kelihatan masih gadis itu, ia tersenyum menunjukkan garis lengkungan ala wanita pauh baya. Dalam perjalanan menuju rumah sakit kali ini, Nia banyak sekali mendapatkan rintangan tak terduga. Bus yang ia tumpangi hampir terjebak macet di perempatan jalan. Setelahnya Nia harus berjalan sedikit jauh menuju rumah sakit yang terletak di pusat kota ini, jaraknya memang sedikit jauh namun Nia tak mau memikirkannya, ia hanya ingin melihat kondisi ibunya. Gadis itu teringat saat salah satu dokter menelponnya di jam kerja, dokter dari rumah sakit ini mneginginkan Nia agar lekas datang ke rumah sakit setelah pulang dari kerja. “Ada apa sebenarnya yang terjadi?” gumam Nia. Secepat langkah kakinya berlari namun di rasa letak rumah sakit itu masih jauh di ujung jalan, “Ayolah bertahan wahai kakiku, aku nggak mau kamu menyerah sekarang” gumam Nia. Ia kembali berjalan sedikit cepat lagi, tiba di depan rumah sakit Nia melihat bangunan mewah itu dari bawah sampai ke atas. Bangunannya sangat besar dan megah, Nia masih belum percaya kalau ia mengenal baik pemilik gedung megah ini. “Oh ya ibu!” gumam Nia. Gadis itu segera berlarian masuk ke dalam lantai pertama, ia melihat wajah tak asing yang selalu duduk di depan meja resepsionis. Mitha adalah pegawai paling dekat dengan Nia di bandingkan pegawai lain disini, kedua gadis itu tersenyum saat mata mereka bertemu. “Hei, lama kali kamu nggak kesini” tegur Mitha. “Hehe beberapa waktu yang lalu ibu datang sendiri kesini, aku paksa ikut beliaunya nggak mau tetep bersikeras mau berobat sendiri” jawab Nia seadanya. “Oh ya, tadi aku dapat pesan dari dokter Indra kalau ibu kamu harus jalani rawat inap untuk beberapa hari ke depan” kata Mitha. “Apa?” tanya Nia pelan. “Yup, hanya itu yang beliau katakan padaku. Dokter Indra memintaku untuk mengantarkan kamu ke ruangannya, beliau ingin mengatakan lebih banyak hal padamu” jawab Mitha. “Boleh aku lihat ibuku dulu?” tanya Nia. “Eh Nia..” ucapan Mitha tak selesai saat seorang lelaki tersenyum kea rah mereka. “Nona Nia?” sapa seorang lelaki berpakaian putih ala dokter di belakang Nia. “Ya dokter?” “Bisa kita bicara sebentar?” tanya dokter Indra. Nia mengangguk pelan, ia mengikuti langkah dokter berbadan tegap itu menuju ruangannya yang tak juah dari lantai pertama. Dokter Indra mempersilahkan Nia duduk di depannya, melihat wajah Nia saja dokter Indra sudah tahu dia putri dari bu Kalsum. “Maaf sudah mengagetkanmu, nona Nia” ujar dokter Indra mengawali pembicaraan. Nia mengangguk pelan, “Apa ada gejala baru mengenai ibu, dok?” tanya Nia. Dokter Indra tersenyum tenang, ia tah pasti Nia khawatir sekali dengan ibunya, “Sebelum kita mulai pembicaraan ini, apa nona mau minum dulu?” Nia menggeleng pelan, “Saya belum haus dokter, bagaimana dengan kondisi ibu saya?” “Mengenai hal itu, harus saya beritahuan pada nona kalau ibu di sarankan untuk menginap beberapa hari di rumah sakit” “Apa dok?” “Nona ini memang kabar yang kurang menyenangkan, ibu Kalsum menahan sakit di kedua kakinya selama dua bulan ini dan beliau beberapa kali tidak hadir saat pengobatan rutin. Kami mengetahui bu Kalsum terlalu lelah dengan semua pekerjaannya hingga melewatkan waktu mengkonsumsi obat” Nia terdiam membisu mengetahui hal ini, “Benarkah itu, dok?” tanya Nia pelan. Dokter Indra mengangguk pelan, “Nona, ini hasil tes kesehatan yang kami lakukan tadi pagi. Hasilnya gula darah ibu Kalsum kembali naik dan tidak stabil seperti tiga bulan sebelumnya, kami harus meminta ijin pada anda selaku keluarga ibu Kalsum untuk memperbolehkan beliau di rawat selama beberapa waktu” Nia membaca surat keterangan kesehatan ibunya, memang disana tertera angka gula darah ibunya bnaik drastic di banding sebelumnya. Nia tak bisa berkata apapun lagi, ia tak ingin berdebat apapun dengan dokter Indra, membawa ibunya pulang akan membuatnya makin kesakitan. “Bagaimana nona?” Nia menatap dokter Indra perlahan, ia tak tahu apa yang harus ia katakan. Dari mana ia akan mendapatkan uang untuk biaya pengobatan sang ibu? Hutang yang di bayarkan pada Patrick memang sudah lunas namun Nia belum mampu menabung beberapa saja. “Jangan khawatirkan soal apapun nona, kami akan berikan penanganan yang terbaik untuk ibu Kalsum” ujar dokter Indra. Nia mengangguk setuju, “Baik dok, saya setuju. Saya mohon bantuannya untuk kesembuhan ibu saya” Nia tak tahu lagi harus bagaimana selain memikirkan kesehatan sang ibu, sekejab saja ia berpikir lebih baik dia yang banyak berkorban dari pada kehilangan ibu tercinta. Soal biaya, Nia akan memikirkannya nanti setelah ia kembali ke rumah. Nia melihat ruang pasien yang berisi hanya dua orang, dokter Indra bilang ibunya di pindahkan ke tempat yang lebih minim pasien agar pengobatannya lebih baik. Ia menyentuh gagang pintu ruangan itu sebelum masuk ke dalamnya, Nia menghembuskan napas panjang memantapkan diri agar tak menangis di depan ibunya. “Halo, permisi” ujar Nia pelan, ia membuka pintu kamar pasien itu. Nia melihat dua tempat tidur yang letaknya sedikit berjauhan, di tengahya terdapat gorden tinggi pemisah antar pasien. Nia melihat sebelah kiri, nampak dua orang perempuan tengah tidur pulas duduk di atas kursi. Sudah jelas pasien disana bukan ibunya, Nia berjalan pelan mendekati pasien di ranjang sebelah kanan. Benar saja, ia melihat ibunya tengah terbaring lemah dengan napas seidkit berat. Nia melihat kaki ibunya di perban dengan bekas bercak darah yang masih meluber di sekitar perban, melihatnya saja tubuh Nia sudah menggigil ketakutan apalagi ibu yang tengah merasakannya. Nia duduk di kursi tepat di sebelah sang ibu, “Nduk?” panggil ibunya. Nia bergegas mendekati ibunya, ia menggenggam telapak tangan ibu yang sangat lemah, “Bu, Nia disini. Ibu butuh apa Nia ambilkan” Ibunya menggeleng pelan, “Ibu nggak butuh apa-apa selain kamu nduk, ibu senang masih bisa lihat anak ibu” Nia berusaha menahan air matanya agar tak jatuh, “Nia tetep disini sama ibu, ibu juga harus tetap disini sama Nia sampe bisa lihat cucunya nanti” Ibunya tersenyum cerah, “Kamu ini bisa aja loh, tapi ibu juga mau banget kalo di kasih cucu sekarang” Nia ingin sekali tertawa lepas namun ia sadar lagi ada di rumah sakit, “Nia janji bakal buatkan ibu rumah yang besar nanti, ada kolam renang dan taman di belakang biar ibu nggak bosan. Terus Nia kasih ibu cucu yang lucu-lucu biar bisa nemenin ibu di rumah” Air mata ibu Nia perlahan jatuh mendengarnya, “Ibu bisa lihat Nia sehat aja sudah senang banget, nduk. Tapi ibu doakan supaya keinginan Nia terkabul, punya karir yang bagus dan Nia bisa menjalani hidup seperti yang Nia mau” Nia memeluk ibunya pelan, hanya ini yang bisa ia berikan pada sang ibu karena Nia tak memiliki apapun untuk di tunjukkan pada ibunya selain kasih sayang. Malam hari ini Nia berencana untuk menginap dadakan di rumah sakit mengingat besok hari Sabtu dan kantor tengah libur. * Malam hari yang sangat dingin ini, Nia bergegas kembali ke rumah untuk mengambil keperluan yang ia butuhkan selama menjaga ibunya di rumah sakit. Setelah sholat subuh Nia bersiap akan pulang, ia menoleh pada ibunya yang masih terlelap. “Masih pagi banget tapi nggak apa-apa, aku bisa datang kemari tepat waktu” gumam Nia. Ia membuka pintu keluar namun sekelebat bayangan hitam tertangkap oleh matanya, Nia mengerjap kala ia mengenali sosok lelaki tinggi berpakaian serba hitam. Tak banyak membuang waktu, Nia mengejar bayangan yang hampir menghilang di ujung koridor. “Tunggu!” teriak Nia. Lelaki berpakaian serba hitam itu makin menjauh lagi, ia berlari menyusuri bangsal-bangsal dengan lihai seakan dia sudah memahami seluruh bangunan gedung. Lelaki itu selalu beebelok saat Nia berhasil mengejarnya, sedangkan Nia sendiri kewalahan menghadapi sosok lelaki misterius yang suka kejar-kejaran itu. Tepat di tikungan terakhir, Nia kebingungan karena tak ada satupun orang di koridor bahkan sosok misterius itupun tak kelihatan. Nia harus pasrah kehilangan sosoknya lagi, setelah sekian lama akhirnya Nia bisa melihat sosok lelaki yang selalu menjaganya dari hal buruk. “Astaga larinya cepet banget, huh huh” gumam Nia, napasnya terengah-engah karenanya. Sejenak ia memperhatikan, Nia berlari cukup jauh dari kamar ibunya tadi. Nia menoleh kanan dan kiri, sedha tentu sebenarnya Nia sama sekali tak mengetahui dimana ia berada. Suasananya sangat sepi sekali mengingat sekarang masih pukul empat lebih empat puluh menit di pagi hari. “Aku tersesat, sudah jelas aku tersesat ini” gumamnya lagi. Ia beranjak kembali menyusuri jalanan koridor yang ia lewati tadi saat mengejar sang lelaki misterius, baru saja beberapa langkah namun Nia di kejutkan dengan lampu-lampu di koridor yang menyala sendiri. Ia berhenti sejenak ketika lampu bulat bernuansa vintage mulai menyala di taman. “A-apa ini?” gumam Nia. Ia menatap satu per satu lampu taman rumah sakit menyala terang menunjukkan kolam ikan hingga bunga-bunga yang mekar berselimut embun di pagi hari. Udara di sekitar memang masihlah dingin namun kehangatan yang terpancar dari lampu taman itu seakan mengusir hawa dingin. Nia melangkahkan kakinya mengikuti lampu-lampu taman yang seakan sudah menunggu kedatangannya, entah bagaimana Ellaine punya ide secemerlang ini namun bagi Nia, ia sendiri menikmati cahaya indah taman seakan tengah berada di negeri dongeng. “Indahnya, bunga-bunga disini kelihatan sehat dan segar” gumam Nia sendiri. Pantulan cahaya lampu dari taman kelihatan sangat indah di kolam ikan koi yang luas, Nia tersenyum senang saat ikan-ikan itu menghampirinya. Ikan-ikan peliharaan Ellaine ikut kelihatan gemuk dan terawat dengan sangat baik, tentu saja Ellaine tak akan membiarkan satupun peliharaannya kehilangan nyawa, pikir Nia. “Hai ikan, aku temannya nona Ellaine. Kalian pasti sayang banget ya sama nona, aku yakin kalian juga kangen sama beliau. Well aku juga tapi aku harus bersabar lebih lama agar bisa ketemu beliau” ucap Nia pada semua ikan disana. “Tapi kalian harus tetap sehat agar bisa ketemu sama nona Ellaine lagi, janji padaku oke” ujar Nia lagi. Nia menoleh pada lampu di belakangnya yang tiba-tiba menyala sangat terang, ia menatap satu buah kursi taman berwarna putih tengah di sinari oleh lampu berwarna warni. Gadis itu mendekati kursi taman perlahan, ia melihat kotak berwarna merah jambu yang di letakkan begitu saja oleh pemiliknya. ‘Buka kotak ini’ itu tulisan yang tertera di atas kotak. Entah mengapa Nia tergugah untuk menyentuh kotak yang bisa saja itu bukan miliknya, perlahan Nia membuka isi kotak manis berwarna merah jambu itu. Matanya menyorot tenang melihat isi kotak yang tak lain adalalah beberapa barang yang ia butuhkan selama di rumah sakit. ‘Gunakan semua ini untuk keperluanmu dan ibumu, kalian akan sangat membutuhkannya’ Nia menengok kanan dan juga kiri, ia tak melihat satupun orang nampak disana. Nia menutup kembali kotak berwarna merah jambu di tangannya. Nia yakin hanya lelaki bermata indah itu yang memiliki cara unik menunjukkan kasih sayang padanya. “Halo, kamu disana?” teriak Nia. Tak ada sahutan apapun dari lelaki bermata indah itu, Nia kembali menatap kota berisi barang yang memang sangat ia butuhkan selama menjaga ibunya. Ia tak perlu membelinya lagi, Nia begitu bersyukur masih ada orang yang sangat peduli padanya. “Aku ingin berterima kasih padamu, sekali lagi kamu membantuku saat aku membutuhkannya. Aku sangat ingin berterima kasih padamu, aku mohon kali ini tunjukkan dirimu sebentar saja agar aku bisa mengucapkan terima kasih dari hatiku yang terdalam” pinta Nia. Masih tak ada jawaban atas ucapannya, Nia memeluk kado berukuran sedikit besar itu erat, “Aku banyak berhutang budi padamu, ku mohon berikan aku kesempatan sekali lagi untuk tetap berterima kasih siapapun engkau” ucap Nia sedikit keras. Langit pagi mulai menampakkan cahaya terang walau hanya sedikit, Nia beranjak untuk meninggalkan taman indah yang di siapkan oleh lelaki bermata indah itu. Walaupun sangat berat di lakukan namun Nia tahu betul lelaki itu tak akan mudah menuruti kemauan Nia yang gamblang. Langkah berat Nia mengiringinya kembali ke kamar sang ibu, satu per satu lampu taman kembali meredup saat ia makin menjauh. Lampu koridor rumah sakitpun mulai padam setelah ia makin meninggalkan tempat ini, di antara bahagia dan sedih mungkin saat ini kesedihanlah pemenangnya. Nia terdiam sesaat setelah ia hampir sampai di tikungan menuju koridor yang berbeda, seketika ia mneole ke belakang. Nalurinya sebagai wanita kembali tergugah saat melihat sosok lelaki misterius bermata indah itu berdiri di taman, di antara bunga-bunga dan di selimuti kegelapan yang masih tersisa. ‘Ya, benar dialah lelaki yang selalu aku rindukan setiap malam. Sosoknya, tinggi badannya, aura misterius yang selalu ia pancarkan, hanya ada dia satu di dunia ini’ ucap Nia dalam hati. Sorot mata indah lelaki itu menatap sayu pada Nia, tak ada yang bisa di katakan lagi olehnya kecuali kekaguman yang besar akan pertolongan tulus. Nia tersenyum manis pada lelaki misterius yang tak bisa ia gapai dengan jemari mungilnya. “Dari jarak inilah aku bisa melihatmu, mengagumi setiap bagian dari tubuhmu. Matamu yang menyorot lembut padaku, semua perhatian kecil itu, kamu nggak pernah menbuatku merasa terancam, nyatanya hanya kamulah seseorang yang mampu membangun pelangi di hidupku” gumam Nia. Nia membalikkan badan dan berjalan kembali ke kamar ibunya, ia tak ingin membuat lelaki bermata indah itu menghilang dari hidupnya lagi. Meskipun enggan sekali ia lakukan namun Nia tak ingin nerusak hubungan misterius antar dia dan lelaki bermata indah itu. * Ibu Nia tersenyum melihat anak gadisnya mengeluarkan bawaan dari rumah, Nia mengambil beberapa pakaian yang di butuhkannya selama ia menjaga sang ibu di rumah sakit. Nia menunjukkan celana dalam yang tersangkut di kemeja kerja Nia untuk di pakainya di hari Senin. “Lihat, bu hehe” “Haha kamu ini ada-ada aja toh, nduk” ujarnya penuh bahagia, ia masih terbaring lemah di atas tempat tidur. “Nia bawa baju sama keperluan buat tiga hari ke depan bu, nggak nyangka kalo ternyata sebanyak ini hehe” “Nia nggak apa-apa loh kalo setiap hari nggak ke rumah sakit nemenin ibu, Nia boleh main-main sama temennya dulu. Apalagi ini hari Sabtu dan besok Minggu, Nia boleh main sama temen nduk” kata ibunya. “Hemm Nia bisa lakukan itu lain kali juga bisa, bu. Lagian ada hal yang yang lebih penting dari apapun di dunia ini” kata Nia, ia merapikan pakaian di lemari khusus pasien. “Apa itu, nduk?” “Kesehatan ibu Nia dong” Hati ibunya tersentuh berkali-kali lipat lagi setiap mendengar ucapan tulus dari sang putri, “Nduk, kesini sebentar” “Ada apa, bu?” tanya Nia, ia menghentikan pekerjaannya. “Nggak ada apa-apa, ibu cuma pingin tidur sebentar di temani putri ibu” Nia kembali menggenggam erat tangan lemah ibunya, “Nia disini bu, nggak akan kemana-mana” “Nanti kalo ibu sudah sembuh, ibu mau masakin banyak makanan kesukaan Nia” kata ibunya pelan. “Hemm, ibu juga pernah bilang begini dua tahun yang lalu ehehe” jawab Nia. “Iya ibu ingat betul, tapi kali ini ibu mau buatkan makanan lebih banyak lagi nduk” “Kenapa?” “Nggak apa-apa kalo Nia mau bawa teman ke rumah, sudah lama kita nggak kedatangan tamu di rumah. Kemarin waktu Nia bawa temen ke rumah, rasanya seneng ada yang menghabiskan masakan buatan ibu” “Baiklah, nanti Nia bakal ngundang banyak temen Nia ke rumah. Tapi dengan syarat ibu harus sehat dan bisa nemenin Nia lagi di rumah, oke?” Ibunya tersenyum secerah mentari di pagi ini, “Bawa laki-laki yang kemarin juga ya, nduk”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN