Jus Stroberi

2610 Kata
“A-apa bu?” Ibu Nia tersenyun penuh arti, “Iya laki-laki kemarin yang nginap di rumah, bawa dia juga ya nduk. Ibu pingin ketemu dia lagi” Nia terpaksa mengangguk setuju, apa yang harus dia katakan lagi selain menyetujuinya bila semua itu demi kesehatan sang ibu. Dalam perjalanan kecil menuju ruang administrasi, kepala Nia terasa di tindih oleh sesuatu yang sangat berat. “Memintaku ngundang laki-laki aneh itu, apa nggak ada permintaan lain yang lebih masuk akal bu? Huhu apa yang bakal aku katakan ke cowok itu nanti?” gumam Nia, ia menelusuri lorong dengan langkah gontai. “Di banding bicara dengan cowok itu mendingan aku di suruh bekerja non stop deh, jelas dapat duitnya dari pada mengganggu dia” gumam Nia lagi. Dari tikungan sebelum Nia keluar koridor, ia sempat menangkap sosok lelaki berwajah tak asing. Lelaki itu muncul dari ruang administrasi lalu berjalan sedikit cepat melewati koridor kiri yang sangat panjang, Nia seperti mengenali lelaki yang memakai jubah putih ala dokter itu. “Kayak pernah lihat deh, tapi dimana?” gumam Nia. Lelaki berpenampilan rapi itu naik lift tak jauh dari tampat Nia berdiri, gaya rambut yang di tata ke atas dna menyamping. Sebenarnya Nia sedikit terkesima melihat penampilan dokter tampan yang pernah ia lihat, walau dokter Indra kelihatan bening tapi lelaki barusan berhasil menarik hatinya. “Ish ngomong apa aku ini?” gumam Nia. Ia melanjutkan niatnya untuk membayar biaya rumah sakit dan perawatan selama satu minggu ke depan, Nia duduk di deretan kursi depan meja administrasi guna menunggu gilirannya untuk di panggil. Lagi-lagi saat ia termenung menatap langit biru yang cerah menghiasi langit, sekejab mata Nia melihat sosok tampan yang di lihatnya tadi. Lelaki itu seperti tengah sibuk mengurus keperluan administrasi juga, pandangan mata Nia tertuju seketika. Tapi sayangnya Nia tak bisa melihat wajah lelaki tampan itu lagi, hanya bisa melihat punggungnya yang begitu lebar di balik jas putih khas seorang dokter. Dia berdiri di depan meja pegawai administrasi dan bicara sedikit dengan mereka. “Hemm, wajahnya benar-benar nggak asing” gumamnya lagi. Tak lama berselang lelaki itu sedikit menunjukkan wajahnya yang putih bersih tanpa satu jerawat hinggap disana, Nia sedikit terkejut karena lelaki yang di lihatnya berbeda dengan yang tadi. Rasa penasaran makin merajalela di ubun-ubun, gadis itu menggeser duduknya agar bisa melihat wajah lelaki itu lebih jelas. Sadar dirinya tengah di intai oleh seorang wanita, lelaki berparas menawan itu menoleh pada Nia yang mendongakkan wajahnya. Seketika Nia membetulkan posisinya duduk dan menunduk malu, ia sadar betul lelaki di depannya ini bukan lelaki yang sama. ‘Bukan, bukan dia orangnya. Astaga tadi aku lihat mukanya sampe nungging hampir aja jatuh’ gumam Nia menahan malu. Ia kembali mendongak namun lelaki itu masih berdiri di depan meja pegawai administrasi, senyum lelaki super tampan itu menghiasi kedua sudut bibirnya. Nia terkejut bukan main tatkala lelaki itu malah sengaja menunggu Nia menatapnya lagi. “Navia Arabelle?” panggil pegawai administrasi lainnya. “Ya” jawab Nia. Gadis itu memberikan hormat pada lelaki dengan wajah sangat mulus dan putih itu, ia melewatinya tanpa berkata apapun. Saat ini mungkin lebih baik Nia tak melihat wajah lelaki aneh itu, ia terus saja memberikan senyumannya pada Nia. ‘Eyy, apa ada bangsal khusus orang sakit jiwa disini? Kalo bener aku yakin dia salah satu dokter disana’ ujar Nia dalam hati. “Atas nama nona Navia Arabelle putri dari bu Kalsum, benar?” tanya pegawai administrasi. “Benar mbak” “Ibu Kalsum di rekomendasikan oleh dokter Indra agar menjalani perawatan selama tujuh hari ya nona, bila nanti masih ada perawatan lanjutan lagi akan di beritahukan pada nona” katanya. Nia mengangguk mendengarkan semua kalimat pegawai di depannya, sedangkan lelaki tadi malah sengaja mendekat untuk mendengarkan semua pembicaraan Nia. Jelas saja Nia sedikit merasa aneh dengan dokter satu ini, dia memang tampan tapi sikapnya seakan menghancurkan citranya seketika. “Jadi ibu bisa keluar dari rumah sakit hari Jumat depan ya mbak?” tanya Nia, ia berusaha tak menghiraukan lelaki di sebelahnya ini. “Iya benar nona, untuk biaya pengobatannya bisa di lakukan lewat debit atau transfer ya” kata pegawai itu lagi, “Totalnya.. sebentar nona saya periksa dulu” Nia sudah sangat pasrah bila biaya pengobatannya melebihi gaji yang ia terima selama setahun, mungkin sudah nasib kalau Nia di minta untyk terus berhemat selama ibunya masih belum sembuh total. Sekali lagi Nia berusaha membesarkan hatinya agar lebih tabah lagi menghadapi cobaan demi cobaan yang menimpa, ia yakin semuanya akan segera berlalu. “Emm bak nona, tagihan untuk biaya pengobatan sudah lunas ya. Silahkan isi data yang saya berikan ini ya nona” kata pegawai itu. “A-apa mbak?” tanya Nia bingung, “Tagihannya sudah lunas?” Lelaki yang berprofesi dokter di dekat Nia itu sama terkejutnya dengan Nia, malahan lebih heboh dia di bandingkan Nia sendiri. Sekali lagi lelaki itu mendengarkan percakapan mereka dan makin mendekati Nia, sembari mendengarkan penjelasan dari pegawai administrasi itu tangan Nia sigap menulis setiap . “Ehh maaf dokter Hans, ini map rekam medis yang dokter minta tadi” ujar pegawai di depan Hans. “Oh baiklah, terima kasih banyak” jawab Hans. Mau tak mau Hans harus meninggalkan sesi pembicaraan serius mengenai gadis lucu tadi, ia sempat melihat kembali sosok gadis berambut hitam panjang yang taka sing itu. Hans mencoba mengingat dimana ia pernah melihatnya, “Iya benar nona, tagihan ibu Kalsum sudah lunas tadi pagi. Pelunasan di lakukan secara tunai oleh saudara Navia Arabelle, nona sendiri bukan?” Nia tak bisa menjelaskan dirinya yang amat sangat terkejut itu, “T-tapi mbak, tadi pagi saya pulang ke rumah dan singa ini baru saja kembali” “Hemm tapi di kuitansi juga tertera anda yang melunasinya nona, anda membayar tagihannya dengan pegawai shift pagi tadi” Mulut Nia tak bisa tertutup lagi, “Silahkan di isi formulirnya nona, kami akan memindahkan ibu Kalsum ke ruangan VIP di rumah sakit kami” “Apa?” Pegawai itu makin bingung sendiri, “Ya, nona Navia sendiri yang meminta agar ibu di pindahkan ke ruang VIP agar pengobatannya lebih baik” jawabnya, ia menunjukkan lembar formulir dimana Nia meminta ibunya di pindah ke ruangan terbaik. “Itu sudah jelas bukan aku” gumam Nia. “Kenapa nona?” “Tidak mbak, saya urungkan niat untuk memindahkan ibu ke ruangan itu. Ibu kelihatan lebih nyaman berada di ruangan yang lama, jadi saya batalkan saja ya” ujar Nia, ia tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, bisa saja tagihan di ruangan elit itu mencekik lehernya. “Tapi disana perawatannya lebih terjamin nona, ibu Kalsum bisa lebih rileks saat menjalani pengobatan. Tagihan di ruang VIP juga sudah di lunasi sampai ibu Kalsum sembuh total, bagaimana nona?” tanya pegawai itu kebingungan. “Apa?” gumam Nia, lagi-lagi dia di kejutkan dengan pelunasan biaya yang tak pernah di ketajui olehnya. “Nona Navia membayar semua tagihannya meskipun belum di gunakan, jadi saya akan memberikan pilihan lagi pada nona apakah mau di pakai atau nona punya rencana lain?” “Tetap di batalkan saja ya mbak, saya nggak mau ibu saya di pindah-pindah lagi” kata Nia, ia tak ingin bergantung pada siapapun. “Baik nona, saya akan tahan dulu semua pemakaian kamar di minggu ini karena nona sudah melunasinya. Katakan kapan saja kalau nona berubah pikiran, kami siap membantu nona” kata pegawai administrasi itu ramah. “Baik mbak, terima kasih” Nia meninggalkan tempatnya duduk tadi dengan isi kepala berputar-putar, rasanya seperti mimpi saja kejadian ini mirip sekali dengan dua tahun yang lalu. Nia ingat betul ada tempat makan asyik di rumah sakit ini, bahlan saking luasnya sampai mengalahkan food court di mall. Ia berjalan gontai menuju kafetaria rumah sakit yang terletak di lantai keempat dan membeli minuman dingin, gadis itu terdiam saat ia menatap luasnya ibu kota ini dari ketinggian lantai empat. “Uwaah, cantik banget pemandangannya dari sini” gumam Nia. Gadis itu memilih duduk di deretan kursi yang tersedia tak jauh dari jendela kaca membentang di seluruh lantai empat ini. Nia menikmati dinginnya minuman kemasan itu di temani udara segar di kafetaria, suasananya memang tak seramai saat jam istirahat para pegawai berlangsung namun saat ini saja sudah membuat Nia sangat nyaman. “Udara disini juga sejuk banget, aku kagum sama keluarga nona Ellaine yang menakjubkan. Mereka membangun fasilitas umum secantik ini” gumam Nia. Di lihatnya kendaraan berlalu lalang di bawah sana, ia bisa melihat banyak sekali manusia dengan kesibukan mereka sendiri. Walaupun sekarang hari Sabtu namun suasana di Jakarta selalu nampak ramai seperti saat ini. “Lagi ngapain nona?” bisik seseorang di dekat Nia. “Kyaaa!!” teriak Nia kaget. “Ups maaf membuatmu terkejut haha, aku nggak nyangka kalo reaksimu bakal seheboh itu” ujar Hans girang, dirinya menjauhkan badan sedikit dari Nia. “Si-siapa kamu?” tanya Nia sedikit ketakutan. Hans jadi bingung sendiri, “Hemm, kamu nggak ingat siapa aku? Kamu nggak ingat wajah yang baru kamu temui di ruang administrasi tadi?” Nia jadi mengingat tingkahnya yang konyol tadi, “Oh dokter, maaf aku nggak sadar kalau anda seorang dokter” “Yup, aku melepas atributku karena sekarang sudah waktunya aku kembali pulang” jawab Hans ramah. “Maaf saya nggak mengenali anda tadi” kata Nia. “Haha nggak apa-apa, santai aja nona” “Anda tetap bekerja di hari Sabtu?” tanya Nia. Hans duduk di bangku berwarna silver tempat tadi Nia duduk, “Nope, tapi aku harus menggantikan posisi temanku saat ini. Dia punya banyak jadwal amal yang di adakan rutin oleh kami” “Jadwal kegiatan amal?” tanya Nia, gadis itu ikutan duduk di samping Hans. “Yup seperti sumbangan ke panti jompo atau ke panti asuhan, nggak jarang kami juga melakukan banyak kegiatan sosial di tempat yang terjadi bencana” jawab Hans, tiba-tiba dia mengeluarkan kotak berwarna merah jambu dari sakunya, tak lama kemudian Hans menarik benda berwarna putih. Nia sedikit tertegun melihat kotak itu ada di saku Hans, “Hemm, jangan khawatir. Ini bukan rokok, ini jus stroberi” Hans menusukkan benda berwarna putih yang tak lain adalah sedotan ke lubang kotak jus, Nia menghela napas panjang. Tingkah dokter Hans memang usil sekali, ia hampir jantungan di buatnya. “Ngomong-ngomong apa yang kau lakukan sendiri disini?” tanya Hans. “Dokter sendiri kenapa kesini?” “Yup itu cara yang bagus untuk menyerang seseorang, baiklah aku sedang haus dan ingin minum jus stroberi punyaku dengan tenang” “Kenapa memangnya? Bukannya anda punya ruangan sendiri, dokter bisa minum jusnya disana kan?” sanggah Nia. “Well aku tak akan selamat kalau membawa makanan manis, pasien anak-anak bakal berebut makanan yang ku bawa” “Jadi itu sebabnya dokter nggak mau berbagi kali ini?” “Hei jangan bawel, aku kesal kalo tiap kali bawa donat pasti di rebut sama orang lain padahal aku nggak ada niat untuk menawarkannya” “Haha ternyata aku baru tahu ada dokter pelit seperti ini” ejek Nia. “Well karena kau sudah tertawa, aku rasa sudah cukup basa basinya” kata Hans. “Apa?” “Apa kamu nggak mau melakukan sesuatu yang lebih spesifik saat bertemu orang baru?” Nia menutupi dadanya dengan kedua tangan dan bergeser sedikit dari Hans, “A-apa, memangnya apa yang mau kau lakukan?” Hans menghela napas panjang, “Huh bukan itu, kenalan maksudnya. Kamu nggak mau kasih tahu ak siapa namamu, nona?” Nia lega karena Hans bukan meminta yang aneh-aneh, “Baiklah, maaf sudah membuat anda menunggu. Namaku Nia” kata Nia pelan. Hans mengulurkan tangannya, “Jabat ini” pinta Hans, “Kenalan nggak afdol kalo nggak pake jabat tangan” Nia menyentuh tangan Hans yang luar biasa halus melebihi halusnya tangan seorang bidadari, “Aku Hans, dokter spesialis ginjal disini. Senang bertemu denganmu, nona Nia” kata Hans dengan senyuman ala dewa memikat wanita. “Senang bertemu dengan anda juga, dokter Hans” jawab Nia, ia melepaskan genggaman tangannya pada Hans. “No no, jangan panggil aku pake sebutan lagi karena aku bukan doktermu. Panggil aja aku Hans, begitu” pinta Hans. “Baiklah baik, haha” “Kak Hans!” panggil seorang gadis muda dari ujung pintu masuk kafetaria. Gadis itu sedikit berlarian dengan membawa banyak bekal di tangannya, ia terlihat sangat kesulitan membawa semua benda di tangannya dan membuat Hans harus menyusul. Sedangkan Nia sangat terkesima dengan gadis super cantik itu, dia menyapu keringat Hans di dahi lelaki pujaannya. “Dia kelihatan mirip banget kayak Barbie hidup, cantiknya melebihi model remaja yang ada di majalah” gumam Nia. Hans membawakan semua makanan yang di bawa Brielle ke meja yang lebih luas namun Nia tak ingin mengganggu mereka, sudah di pastikan dia hanya menjadi semut bagi dua pasangan yang di mabuk asmara itu. Brielle menatap gadis berambut hitam yang tengah melihatnya dan Hans, “Kak, siapa itu?” “Oh itu temanku, mau kenalan sama dia?” tanya Hans. “Boleh, why not” jawab Brielle riang. “Hei Nia, kemarilah makan siang bersama kami” ajak Hans. Nia melangkahkan kakinya perlahan, ia tak melihat wajah kesal atau terganggu dari gadis cantik di samping Hans. Ekspresinya biasa saja, tak menunjukkan dia semangat tak menunjukkan kalau dia benci, tatapannya biasa saja seperti sedia kala orang yang baru di temui. “Emm, halo nona” sapa Nia pelan. “Halo, aku Brielle. Siapa namamu kak?” tanya Brielle, tangannya merangkul erat lengan Hans. “Nia, salam kenal” jawab Nia pelan. “Kami akan makan siang disini, teman-temanku yang sedang bekerja sebagai relawan di acara kegiatan amal akan datang. Kami akan makan bersama, kamu mau ikut Nia?” tawar Hans. “Eem soal itu..” “Jangan khawatir, semakin banyak orang bakal semakin seru. Bagaimana kau mau ikut?” tawar Hans lagi. “Jangan sungkan, aku nikin banyak makanan untuk para dokter disini. Kamu boleh ikutan makan bersama kami” sahut Brielle. Nia terdiam beberapa saat namun ketika matanya menangkap banyak sekali orang yang tengah berjalan menuju kafetaria, ia tahu betul mereka adalah relawan yang baru saja pulang dari acara amal. Keberadaan Nia yang bukan bagian dari mereka pasti akan menjadikannya tanda tanya besar. “Emm terima kasih tapi aku harus kembali ke lantai pertama, ibuku pasti sudah bangun” ujar Nia. “Sayang sekali, baiklah lain kali kita bisa makan bersama. Semoga ibumu lekas sembuh, Nia” kata Hans. “Terima kasih banyak” jawab Nia sopan. Gadis itu memberikan hormat lalu segera meninggalkan Hans dan Brielle yang sibuk membuka kotak bekal makan siang, Nia melewati orang-orang yang baru saja datang sedikit cepat. Ia ingin segera turun dari lantai empat menuju tempat dimana ibunya di rawat, sudah sedikit lama Nia meninggalkan kamar ibunya sejak ia datang ke ruang administrasi tadi. “Oh ibu, maaf aku meninggalkanmu sendiri di kamar. Ibu pasti sudah bangun, astaga ceroboh banget aku ini” gumam Nia. Gadis itu melihat suasana di lantai empat kafetaria yang begitu ramai setelah para relawan rumah sakit datang, mereka kelihatan gembira dan tertawa riang. Seperti tak ada satupun hal yang membebani mereka, beberapa orang terlihat mendekati Hans dan Briele. Tak ada kecanggungan di antara mereka, semua nampak begitu bahagia dengan rekan kerja. Salah seorang lelaki menggoda Hans dengan menyuapinya, Nia tersenyum getir melihat keakraban mereka yang terjalin begitu indah. Meskipun Nia memiliki beberapa teman namun belum pernah rasanya ia berada di lingkungan seru dan penuh tawa seperti itu. Nia memejamkan mata saat pintu lift tertutup rapat, lift membawanya kembali ke dunia dimana seharusnya Nia berada. Dunia yang hanya di miliki oleh dia dan ibunya saja, walaupun sangat berat namun Nia berusaha melakukan segalanya yang terbaik demi sang ibunda tercinta. “Kenapa kau menangis lagi, Nia?” gumam Nia menayakan air mata yang jatuh tanpa ia sadari sebelumnya, “Apa kau menyalahkan takdir karena memiliki hidup berbeda dengan mereka?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN