Satu minggu berlalu sejak pertama kali Ellaine datang dan selama satu minggu ini pula Nia tak punya nyali untuk bicara dengan Ellaine walau hanya bertegur sapa. Nia melirik Ellaine yang tengah sibuk mengerjakan laporan dengan tenang.
Wajah Ellaine yang bersemu merah itu membuat Nia tersipu sendiri, ia benar-benar tak percaya ada wanita secantik ini tanpa bantuan operasi plastik sekalipun. Di lihat dari sudut mana saja Ellaine kelihatan begitu cantik, Nia memberanikan diri untuk menyapa gadis berwajah super cantik itu.
“Mbak Ellaine?” sapa Nia namun tak terdengar di telinga Ellaine.
“Pokoknya aku kudu wajib selesai kerjakan semua pekerjaan membosankan ini sekarang juga, aku sudah muak dengan para penguntit disini” gumam Ellaine sangat kesal, ucapannya terdengar jelas oleh Nia.
‘Heeh jadi mereka godain mbak Ellaine lagi, dasar’ ujar Nia dama hati, matanya melirik pada gerombolan pegawai yang tengah menunggu respon cinta dari Ellaine.
Ellaine mengetik semua laporannya dengan kecepatan yang dapat di bayangkan, suara ketikannya pda keyboard mampu terdengar di seluruh ruangan bahkan wanita cantik di sebelah Nia itu sama sekali tak menghiraukan orang-orang yang mengatakan hal buruk tentangnya, Ellaine tetap fokus pada laporan. Makan siang kali ini Nia berencana untuk terus mendekati Ellaine, wanita cantik itu sama sekali tak menyentuh makanan sejak pagi tadi.
‘Apa beliau nggak biasa makan siang ya? Atau lagi diet? Konsistennya pada pekerjaan memang paling top deh, nggak salah sih kalo mbak Ellaine terkenal profesional’ tanya Nia dalam hati, melihat sosok Ellaine saja sudah membuatnya bahagia.
“Mbak Ellaine nggak makan siang?” tanya Nia memberanikan diri.
“Enggak napsu makan” jawab Ellaine singkat tanpa melihat wajah Nia.
Karena Ellaine sudah merespon, pantang bagi Nia mundur lagi. Nia menggeser kursinya makin mendekati Ellaine yang terus saja menatap layar komputer, “Tapi mbak makan dikit aja deh, nanti pak bos marah klo mbak diam-diam nyemil di jam kerja” kata Nia lagi.
Ellaine melirik sedikit wajah manis gadis itu, “Nggak akan, dia nggak akan berani macam-macam denganku” gumam Ellaine sangat percaya diri.
Mendengar suaranya yang begitu merdu mengingatkannya pada karakter Barbie yang amat terkenal, suara Ellaine memang sangat merdu namun tak terkesan nada manja sehingga para lelaki betah ada di dekatnya. Namun sekali lagi Nia tak ingin menyiakan kesempatan untuk dekat dengan sosok paling ia kagumi itu.
Tanpa basa-basi Nia mengambil tutup kotak makannya dan meletakkan beberapa selada dan nugget di atas tutup kotak makan. Ellaine yang tadinya cuek lama kelamaan jadi tertarik melihat perilaku Nia, ia menambahkan beberapa kornet miliknya di atas tutup.
“Ini mbak Ellaine makan dulu, meskipun nggak bakal kenyang tapi setidaknya mbak punya tenaga untuk kerja lagi. Memang nggak banyak sih tapi cukup kok buat mengganjal perut sampai sore” kata Nia sangat manis, ia menyodorkan tutup kotak makan berisi makanannya yang telah ia bagi pada Ellaine.
Ellaine yang masih tidak sadar menerima pemberian gadis manis yang telah ia abaikan selama satu minggu terakhir jadi terbengong sendiri. Uluran bantuannya memang tidak seberapa namun ketulusan gadis itu berbagi sangat menyentuh relung hati Ellaine sekeras batu itu.
“Siapa namamu?” tanya Ellaine dengan tatapan sendu.
“Nia” jawab Nia singkat.
Nia tersipu malu ketika Ellaine tersenyum padanya, setelah satu minggu berlalu baru kali ini Nia melihat senyuman Ellaine, benar-benar senyuman yang begitu tulus dan menenangkan hatinya. Pun tak jauh berbeda dengan Ellaine, senyuman Nia semakin hangat saat Ellaine bersedia memakan semua makanan yang ia bagi bersama. Saat itu juga Ellaine menemukan teman yang baik meskipun Nia sangat sederhana dan tidak banyak memakai make up, namun Nia sangat ramah dan seseorang yang hangat.
“Sudah sejak kapan kau bekerja dengan si tua itu disini?” tanya Ellaine penasaran.
Nia terkejut Ellaine mau bicara dengannya, “Sudah satu tahun terakhir ini, mbak” jawabnya gugup.
Ellaine memutar kursinya sampai menghadap pada Nia, “Heeh kau hebat bisa betah sama si tua itu, kalo aku udah kabur dari dulu”
Nia tersenyum begitu manis membuat Ellaine ikutan tersenyum juga, “Kerja disini nggak seburuk yang di katakan orang-orang kok mbak, aku seneng bisa dapat kerja yang aku impikan walaupu platform kita banyak dapat komentar miring akibat berita nggak mutu yang kita edarkan. Ibu juga senang banget waktu aku bisa kerja kayak orang lainnya” jawab Nia lagi.
“Heem, kalian tinggal berdua saja?” tanya Ellaine, ia tak ingin menanyakan dimana ayah Nia berada.
“Yup, ayah sudah meninggal jadi hanya ada aku sama ibu saja di rumah”
Ellaine menelan sosis sebesar ibu jarinya, “Dimana rumahmu?”
“Nggak jauh dari sini mbak, naik busway dan masuk dua komplek sudah sampe di rumahku” jawab Nia dengan menunjukkan gerakan arah rumahnya.
“Hemm lain kali boleh aku ke rumahmu?”
Nia mengerjap sesaat, “Mbak mau ke rumahku?”
Ellaine mengangguk sembari makan kornet, “He’em” jawabnya singkat.
Nia tersenyum begitu manis mendengar permintaan Ellaine, walaupun Ellaine begitu kelihatan seperti wanita mewah namun hatinya sangat lembut. Ellaine bahkan tak pernah menunjukkan satupun kekayaaan yang ia miliki, Nia tahu Ellaine tak seburuk apa yang di katakan oleh para pegawai lainnya.
Dering ponsel Nia kembali berbunyi ketika ia sedang asyik ngobrol dengan Ellaine, garis senyumannya seketika berubah seratus persen ketika melihat siapa yang tengah menghubunginya. Sikap Nia yang berubahpun menarik perhatian Ellaine, Nia buru-buru mematikan ponselnya dan memasukkan ke dalam tas.
Ellaine mengernyitkan alisnya melihat tingkah aneh Nia, “Nggak di angkat?”
Nia menggeleng pelan, “Bukan apa-apa, nggak terlalu penting kok hehe”
Nia kembali menaikkan senyumannya seakan tak terjadi apapun, ia tak ingin siapapun tahu apa yang tengah ia lalui selama satu tahun ini. Berurusan dengan rentenir bukanlah hal yang baik untuk orang sepertinya namun keadaan yang terus membuat Nia terpaksa menjalani.
“Nia, pulang bareng yuk!” ajak Ratna di depan meja kantornya.
Nia menoleh ke meja di sebelahnya tapi sudah kosong, “Kamu nyariin nona Ellaine? Sudah pulang sejak tadi” sahut Ratna lagi.
“Mbak Ellaine sudah pulang?” tanya Nia tak percaya.
“Udah dari tadi sih, aku dengar dari Hendry dia ngerjakan semua laporannya secepat kilat sampe minggu depan pun di kerjakan hari ini. Jadi dia boleh pulang, aah aku juga mau deh bisa apa aja kayak dia” ujar Ratna.
Nia kembali menundukkan wajahnya sembari membersihkan meja kerja, “Hemm, mbak Ellaine punya koneksi besar di tempat ini jadi dia bisa pulang pergi seperti itu. Beda dengan kita yang terlahir sebagai orang biasa aja” ujar Ratna.
“Kita semua lahir di dunia ini punya keistimewaan masing-masing kok, nggak usah minder begitu nanti ada saatnya semua orang bisa sukses kayak mbak Ellaine” sahut Nia, ia menyangklong tasnya bersiap untuk pulang, Nia pulang dengan tenang bersama Ratna.