Pekerjaan Baru

1700 Kata
   “Atas nama Navia Arabelle?”    “Benar itu saya, pak”    “Mbak Nia terpilih jadi salah satu pegawai di perusahaan kami”    “Waah benar kah pak?” tanyaku tak percaya.    “Benar mbak, besok silahkan datang tepat sebelum jam delapan ya. Kami akan memperkenalkan anda pada semua pegawai di platform Koran Harian Anda” kata pria yang bernama Henry dan dia telah mewawancarai aku lebih dari tiga kali.    “Terima kasih banyak, pak. Terima kasih banyak” ucapku berkali-kali.    Aku mengucap syukur banyak-banyak setelah beberapa tahun aku bekerja di perusahaan kecil tak jauh dari tempat tinggalku. Walaupun beberapa kali aku pernah melihat portal beritanya wara wiri di berbagai media, dan juga sering sekali iklanny sangat mengganggu saat akan membuka aplikasi lain tapi baru kali ini aku mendatangi kantornya.    Sungguh di luar dugaan kalau aku bisa di terima bekerja di kantor berita kecil ini, aku sangat bersyukur setidaknya aku bisa mendapatkan pekerjaan tetap. Aku yakin ibu akan sangat bahagia bila mendengar kabar tentang pekerjaanku.    Saat aku di beritahu tentang besaran upah untuk pegawai, aku sangat bersyukur walaupun kantro milik pak Yudha ini masih tergolong kecil namun beliau memberikan upah yang pantas untuk para pegawainya.    “Mbak Nia bisa kembali pulang hari ini, saya harap mbak bisa bersiap untuk bekerja dengan baik mulai besok” kata pak Henry setelah menjabat tanganku.    Aku mengangguk antusias, kegembiraan ini tak pernah bisa ku ukur dengan apapun. Bila saja urat maluku sudah putus, aku akan berkali-kali sujud syukur di lantai saat ini juga tapi aku sadar semua pegawai disini pasti akan mentertawai aku.    Mereka akan mengingat wajahku dan terus menerus membicarakan aku, jadi untuk saat ini aku akan menyimpan semua kebahagiaan ini di dalam dadaku dan menahannya sampai aku pulang.    Akan tetapi kebahagiaan ini tak bisa aku bendung, selama di perjalanan menuju rumah sakit aku bersenandung bahagia menyanyikan lagu gembira. Aku sempatkan diri ke rumah sakit dan menebus beberapa obat selama satu minggu untuk ibuku.    “Gimana keadaannya ibu, mbak Nia?” tanya mbak Mitha, seorang pegawai yang sudah kenal baik denganku.    “Sehat mbak, alhamdulillah. Ibu sekarang sudah bisa jalan-jalan lagi kalo pagi, kadang juga ikutan senam lansia di komplek” jawabku senang.    Sambil menunggu mbak Rana mengambilkan resep dokter aku berbincang dengan pegawai baru bernama Mitha Rahmania, baliau masih magang sekitar dua bulan tapi sikapnya yang ramah dan selalu tersenyum menjadi daya tarik tersendiri untuk membuat pasien makin nyaman berada di rumah sakit milik keluarga Johanson ini.    Mbak Mitha mendengarkan ceritaku dengan seksama, “Uwaah, udah sehat betul ya bu Kalsum, tapi jangan lupa tetep datang berobat sama therapy ya mbak. Takutnya kalo ada apa-apa, obatnya juga jangan lupa diminum hehe”    Aku mengangguk mantap, “Oh ya, mbak yang jaga disini dulu kemana ya?”    “Oh pegawai yang aku ganti’in ya mbak?”    Aku mengangguk tegas, “Mbak Mitha nggak tahu kemana dia pindah, atau tahu dimana dia sekarang bekerja?”    Mbak Mitha menggeleng pelan, “Enggak mbak, aku sama sekali nggak di beritahu soal pegawai lama. Kalau mbak Rana mungkin tahu, soalnya beliau sudah disini sejak lima tahun yang lalu”    Aku sedikit kecewa mendengarnya, aku ingin tahu kemana pegawai sebelumnya pergi karena ada hal yang sangat ingin aku tanyakan padanya.    “Mbak ada masalah sama pegawai lama, atau dia sudah bikin mbak Nia nggak nyaman?” tanya mbak Mitha penasaran.    Aku cepat-cepat menggeleng karena tak ingin mereka semua mengetahui tentang hal yang ku simpan rapat, “Enggak ada mbak, semua pegawai disini termasuk dia baik banget sama aku dan ibu tapi nggak kasih tahu apa-apa kalau sudah keluar” ucapku bohong.    Bagaimana bisa aku mengatakannya pada mbak Mitha, aku harus tahu siapa orang yang telah melunasi biaya rumah sakit beserta semua obat-obatan ibu selama satu tahun. Satu-satunya petunjuk hanyalah pegawai lama tersebut, hanya dia yang bisa aku tanyai dari mana dana ajaib itu datang.    Sayangnya aku selalu gagal mencari siapa dia, selama satu tahun berlalu pun aku teteap menikmati uang dari orang mistreius itu tanpa sekalipun tahu wajahnya. Selama perjalanan naik bus kota, aku terus saja memikirkan peristiwa ini.    ‘Jika di pikir lagi, aku ingat betul nggak punya saudara di Jakarta karena kami pindah ke kota ini ikut pekerjaan ayah. Tapi tiba-tiba datang seseorang yang melunasinya, dia melunasi semua biaya pengobatan penyakit mematikan yang hampir merenggut nyawa ibuku’    Aku menempelkan dahiku di dalam kaca bus, ‘Bila di ijinkan, aku ingin sekali bertemu dengan orang baik hati itu. Tuhan, bisakah Engkau pertemukan aku dengan dia?’    Saat turun dari bus aku berjalan dengan riang menuju daerah tempat tinggalku, memang rumahku sedikit jauh karena melewati dua komplek tapi di senja yang cerah ini aku ingin menikmatinya dengan berjalan lebih pelan dan menikmati suasana.    Tak lupa aku mampir ke sebuah warung sate yang tidak jauh dari rumahku, tak ada salahnya aku sedikit menghamburkan uangku di hari bahagia ini. Toh aku sudah memiliki pekerjaan tetap dan juga sudah lama sekali aku dan ibu tidak makan makanan sedikit mewah.    Namun ada satu hal yang tak bisa aku lupakan di hari bahagiaku ini, aku merasa ada seseorang yang tengah mengikuti aku sejak pulang dari rumah sakit. Aku yakin betul seseorang tersebut memiliki badan sangat besar dan tinggi.    Salah satu alasan aku berhenti di warung sate ini karena aku ingin tahu siapa pria yang tengah membuntuti aku sejak tadi, sayangnya dia sedang bersembunyi di gang perumahan warga sehingga aku tak bisa melihatnya dengan jelas.    Setelah pesananku siap, aku sedikit mempercepat laju jalanku karena pria tinggi dan besar di belakangku masih membuntuti, makin lama jarak kami semakin dekat dan aku sangat tidak nyaman dengan hal ini. Keadaan komplek hari ini benar-benar sepi padahal hari-hari sebelumnya selalu ramai apalagi bila sore hari.    “To-tolong, siapapun tolong aku” gumamku amat ketakutan, aku sendirian disini.    Sayangnya tak ada satupun orang yang terlihat bahkan sekedar lewat saja tak ada, ada apa dengan hari ini? Kenapa komplek ini terlihat sepi sekali?    Pria itu tampak makin mendekat padaku tapi sebelum dia meraih tubuhku, aku berhasil masuk ke dalam rumah. Napasku ngos-ngosan sesaat setelah mengunci pintu rumah, tapi aku tak melihat pria itu berdiri di depan rumah.    Dia sudah pergi!    “Nduk, kamu kenapa?” tanya ibuku.    “A-anu bu, Nia tadi di kejar sama anjing komplek sebelah. Anjingnya bisa lari kenceng banget, Nia takut di gigit” jawabku gugup.    “Hah, kok bisa anjingnya lepas? Tapi kamu nggak kenapa-napa kan, nduk? Nggak sampe di gigit anjingnya kan?” ibuku memperhatikan sekujur tubuhku kali saja ada bekas luka.    Aku berusaha mengatur napasku dan mengontrol emosiku, sebisa mungkin aku tak ingin membuat ibuku makin khawatir, “Nggak kok bu, Nia baik-baik saja. Lihat aku nggak terluka kan, aku langsung lari kenceng tadi hehe”    “Ya sudah kamu mandi ya, ibu tunggu kamu di meja makan”   Aku mengangguk tak lupa ku berikan senyuman manis pada ibuku, hari bahagia ini berakhir kejar-kejaran dengan pria tak di kenal. Kalau di pikir lagi kenapa aku harus lari kalau aku tak punya masalah dengan pria tadi? ***    Seperti yang sudah beliau katakan sebelumnya, ibu menungguku hadir untuk makan bersama. Ibuku memang amat suka makan bersama denganku, walaupun hidangan kami tidak mewah tapi beliau tetap akan menungguku untuk makan sama-sama.    Makan malam kami tak pernah istimewa, ibu menghidangkan tempe bacem dengan sayur bayam saja aku sudah sangat bersyukur. Namun malam ini aku memberikan memberikan hidangan kesukaannya, sate ayam!    Ku lihat ibuku yang makan sate ayam dengan lahap, menyenangkan sekali bisa memberikan makan malam istimewa untuk ibuku tercinta.    “Sate mbah Munir memang nggak ada duanya, ibu suka sama bumbu kacangnya yang nendang banget. Sedep banget deh!” ucap ibuku senang.    “Orang-orang disini juga banyak yang suka sama sate buatan mbah Munir, bu. Malahan tadi Nia lihat ada yang bungkus sampai seratus lima puluh ribu” sahutku di hari bahagia ini.    "Makin banyak rejekinya mbah Munir ya nduk"    "Iya bu, semoga rejekinya nular ke kita juga hehehe"    Seakan menangkap reaksi yang ku berikan, ibu mengernyitkan dahinya, “Ibu perhatikan dati tadi kamu senyum-senyum terus, ada yang kamu sembunyikan dari ibu nduk?”    Aku melebarkan senyumku pada ibu, “Nia lagi seneng, bu hehe”    Ibu menaikkan kedua alisnya, “Hemm, berita apa nak? Kayaknya berita bagus deh, kamu dari tadi seneng banget”    “Nia dapat pekerjaan tetap bu, hehe”    Reaksi ibuku benar-benar tak terduga, beliau berhenti makan dan menatapku dalam-dalam, “Kamu dapat kerja tetap dimana nduk?”  “Di kantor berita online bu, hehehe. Nia berhasil menyingkirkan ratusan pelamar lainnya, nggak nyangka sih kalau Nia yang keterima”    Ibuku tak kuasa menahan air matanya yang jatuh, “Alhamdulillah nduk, ibu senang akhirnya Nia dapat pekerjaan tetap” seru ibuku sembari memelukku.    “Iya bu, alhamdulillah. Sekarang Nia bisa bantu ibu melunasi pinjaman di koperasi, ibu nggak usah ikut kerja lagi ya soalnya Nia bisa bantu ibu sekarang”    Ibu menatap mataku seakan menahan sesuatu, “Ibu nggak apa-apa nduk, Nia bisa pakai uang hasil kerja buat beli motor atau di tabung. Ibu masih sehat kok nduk, bisa lunasi pinjaman ibu di koperasi”    Nah kan, sudah ku duga ibu akan menolak bantuanku. Memang sudah begitu sifat ibu yang nggak enakan sama orang, jadinya beliau sendiri yang kesulitan nantinya.    “Tapi bu, Nia..”    “Nduk, biar ibu yang lunasi semua pinjaman ibu ya. Nia nggak usah banyak khawatir sama ibu lagi ya”    Lagi-lagi pembahasan soal uang pasti akan berakhir seperti ini, aku tidak tahu berapa besaran pinjaman yang di pinjam ibu sampai beliau menyembunyikannya dariku. Padahal kalau mau aku bisa saja membantunya, tapi ibu tetap ngotot bekerja di tempat jahit baju rumahan dan membayar semua pinjamannya dengan penghasilan mingguan yang di dapat ibu.    “Baiklah, tapi ibu harus janji kalau ada apa-apa harus bilang sama Nia ya”    Ibu mengangguk senang, selanjutnya kami membicarakan perihal pekerjaan baruku yang akan ku jalani mulai besok. Di meja makan yang hangat dan sederhana ini, ibuku mendengarkan ceritaku dengan serius. Beliau sangat senang akhirnya aku bisa bekerja di tempat yang nyaman dan memakai baju kantoran, tapi sesaat kemudian ibu melihat keluar jendela lalu melihatku.    “Dari tadi kayaknya ada orang di luar, itu temen kamu nduk?” kata ibu sambil celingukan kea rah luar halaman rumah.    Deg.. oh tidak, aku kira pria penguntit tadi sudah pergi tapi ternyata dia masih berkeliaran di sekitar sini! *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN