Letizia seperti terhimpit pada ruangan yang begitu sesak, kakinya ingin berlari namun tenaganya seperti habis tersisa. Wajah-wajah menakutkan seolah berada tepat di depannya, memandang dengan tatapan lapar dan penuh gairah menjijikan.
“Jangan!” Letizia berteriak sekeras mungkin, ia merasa ingin berlari namun tubuhnya tiba-tiba terhempas begitu saja. Ia tersentak mendapati dirinya masih duduk menyedihkan di sudut ruangan, menatap sekeliling dengan pandangan yang begitu waspada.
Hembusan napas Letizia terasa lega sekali, ternyata ia hanya terbayang-bayang masa lalu yang hampir diperlakukan seperti apa yang dilakukan Jourell barusan. Letizia mengusap air matanya segera, ia harus kuat. Masih ada Mama yang harus dibanggakan, ia harus bangkit untuk mencari pekerjaan agar bisa menyelesaikan urusan dengan Jourell dan juga menabung untuk biaya berobat Mamanya. Ia ingin Mamanya sembuh.
Dengan langkah tertatih-tatih Letizia bangkit dari lantai, ia kembali menangis mendapati penampilannya sangat acak-acakan. Ia menarik napas panjang lalu dihembuskan perlahan, menatap ke arah foto keluarga yang terpanjang di dinding ruangan.
“Aku bisa, aku pasti bisa, Pa,” kata Letizia kembali memberikan semangat untuk dirinya sendiri.
Letizia segera membersihkan diri, hari pertama melamar pekerjaan ia harus semangat.
***
Jourell memarkirkan motor besar miliknya di halaman rumah megah yang didominasi cat warna putih. Bangunan 4 lantai itu tampak di kelilingi pohon bonsai raksasa yang membuat kesan rumah itu semakin megah, di halaman samping terdapat taman bunga bebagai koleksi yang menambah kesan indah pada rumah itu. Jourell melangkah santai masuk ke dalam sana, melewati para penjaga yang membungkukkan badan hormat.
Langkah Jourell sampai di lantai dua, terlihat sosok wanita paruh baya yang tengah duduk menikmati secangkir teh. Jourell segera mendekat.
“Mama,” panggil Jourell lembut sekali. Wajah dingin yang sebelumnya terpasang mendadak lenyap begitu saja berganti kelembutan yang menenangkan.
“Jourell, akhirnya pulang juga.” Serena—Mama Jourell segera meletakkan cangkir teh di meja, bangkit untuk menyambut putra pertamanya itu. “Kemana saja dari kemarin? Kenapa dihubungi juga tidak bisa?” Mama Serena memperhatikan putranya itu dari atas sampai bawah, memastikan tak ada goresan atau luka yang mungkin didapat oleh Jourell.
“Aku banyak urusan, Ma." Jourell menyahut singkat, berbohong pastinya karena memang tak ingin keluarganya tahu tentang urusannya dengan Letizia.
Wanita itu bukan siapa-siapa.
Mama Serena mengernyit, dari sorot matanya tampak tak percaya. “Urusan? Sejak kapan urusanmu lebih penting dari Mama?" omelnya.
“Enggak gitu, Ma." Jourell meraih wanita nomor satu di hatinya itu ke dalam dekapan segera bermaksud menenangkan. “Aku kayaknya emang bakalan sering nggak pulang nanti, tugas di kampus banyak. Aku pulang ke Apart,” jelasnya kemudian agar Mamanya tak curiga.
“Ck, kuliah? Kau bahkan sudah lulus 2 tahun lalu. Kenapa sih kalian para pria suka menyulitkan diri sendiri?" Mama Serena mendesah keras, mengurai pelukan itu menatap Jourell dengan raut wajah tak puas.
“Mama yang lebih tahu alasannya 'kan?”
Helaan napas Mama Serena semakin keras, ia sampai menghempaskan tubuhnya di sofa perlahan. “Papa dan Om-mu sudah menunggu di ruang kerja. Datanglah," ucap wanita itu kemudian.
Jourell menatap ke arah ruang kerja yang tertutup rapat, ia mengangguk pelan. Sebelum pergi ia memeluk Mamanya kembali sembari membisikkan kalimat menenangkan.
“Mama tidak usah khawatir, setiap kehidupan memang harus ada resikonya. Aku akan baik-baik saja selama Mama mendoakan aku," ucap Jourell yang kemudian mengecup pipi Mamanya lalu beranjak begitu saja.
Mama Serena hanya memandang punggung putranya dengan wajah masam, dari generasi ke generasi ternyata bisnis gelap itu belum dihentikan juga. Dulu sekali saat awal-awal menikah dengan Papanya Jourell ia berharap akan hidup damai tanpa takut bayang-bayang bisnis gelap itu. Sayang darah yang mengalir di nadi suaminya lebih kental dengan bisnis yang cukup berbahaya. Mama Serena bisa apa selain pasrah, toh suaminya telah menjalankan tugasnya melindungi keluarga dengan sangat baik.
Namun, sudah 6 tahun terakhir keluarga mereka seperti terkena teror tak kasat mata. Ada mata-mata dari kepolisian Nasional yang sedang gencar mencari dalang dari selundupan narkoba dan senjata ilegal pastinya melanggar hukum negara.
Jourell bergabung ke dalam ruang kerja yang cukup tegang, di sana telah duduk Papanya—Xander bersama sang adik-Jasson. Ada sosok lain lagi yaitu Pamannya atau kakak laki-laki dari Papanya—Matthias. Dari wajahnya yang biasa hangat hari ini terlihat cukup tegang.
"Duduk, Jourell!" titah Xander pelan namun nadanya sangat tegas, membuat Jourell merasa seperti anak kecil yang sedang ditegur.
Jourell hanya memiringkan kepala sebagai jawaban, mengambil duduk dengan tenang di samping Jasson yang duduk dengan gaya ogah-ogahan itu. Matanya menatap ke arah Matthias, yang tampaknya sedang menunggu jawaban darinya.
"Bagaimana keputusanmu?" Matthias langsung saja memulai tanpa basa-basi, mata hazelnya itu tertuju sepenuhnya kepada sang keponakan.
Jourell menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk tidak menunjukkan ekspresi apa pun. "Apanya yang bagaimana, Om? Bukannya aku sudah memberikan keputusan waktu itu?" jawabnya dengan nada yang santai, tapi Jourell tahu bahwa Matthias tidak akan membiarkan dia lolos begitu saja.
Matthias menarik napas dalam-dalam lalu dihembuskan perlahan sebelum mulai berbicara. "Tahun ini umurmu genap 26 tahun, kau sudah siap untuk meneruskan kursi kepimpinan perusahaan, Jourell.”
Jourell masih bergeming, benar-benar tidak tertarik untuk masalah yang satu ini. "Selamat 4 tahun berturut-turut Atmajaya masih berada di posisi tertinggi dari segi pendapatan dan saham. Untuk apa Om ingin mengganti pemimpin? Hiro sudah cukup bisa diandalkan untuk ini," ucap Jourell jelas menolak, suaranya yang rendah dan berat membuat Matthias merasa seperti diingatkan tentang sesuatu.
"Sepupumu juga akan segera menikah, dia ingin mengundurkan diri dari jabatan," kata Matthias, suaranya yang tenang tapi tegas membuat Jourell merasa seperti sedang dihadapkan pada pilihan yang tidak bisa dihindari.
Jourell tersenyum tipis, mencoba untuk menyembunyikannya. "Oh kalau menikah bisa mundur dari jabatan? Kalau begitu aku menikah saja," sergah Jourell acuh tak acuh, tapi Jourell tahu bahwa Matthias tidak akan membiarkan dia lolos begitu saja.
Xander segera memberikan peringatan keras, tatapan matanya begitu tajam seolah bisa membelah tubuh anaknya itu.
"Jourell!"
Jourell berdecak pelan. "Papa ingat kejadian 6 tahun lalu? Mata-mata itu belum ditemukan. Jika aku menunjukkan diriku ke publik sekarang semua media akan menyoroti semua gerak-gerikku. Aku tidak bisa bebas, jika sampai bukti yang dibawa mata-mata itu benar-benar diberikan ke polisi perusahaan juga pasti akan berimbas. Ini terlalu dini untuk aku muncul," kata Jourell menjelaskan alasan kuatnya menolak posisi itu, suaranya yang rendah dan berat membuat Matthias merasa seperti diingatkan tentang sesuatu.
Xander menghela napas kasar, kedua tangannya tampak mengepal jika mengingat kejadian itu. "Jourell benar, Matth. Cecunguk itu belum kita temukan, kita tidak bisa mengambil resiko."
"Sudah 6 tahun berlalu, apa kalian yakin bukti itu benar-benar ada?" tanya Matthias, suaranya yang tenang tapi tegas membuat Jourell merasa seperti sedang dihadapkan pada pilihan yang tidak bisa dihindari.
“Datanglah ke perusahaan besok, jika belum ingin kau bisa melihat-lihat dulu.” Matthias tersenyum tipis seraya bangkit dari duduknya, sebelum beranjak pergi ia menepuk pelan bahu keponakannya itu.
Jourell hanya bergumam rendah, entah kenapa jika Omnya yang memberikan perintah sulit sekali ditolak rasanya. Orangnya tidak keras, justru sosok yang hangat. Mungkin itu yang membuat Jourell susah menolaknya, terlebih banyak yang mengatakan jika ia lebih mirip Omnya daripada Papanya sendiri.
“Well, masa kebebasan akan berkurang. Hahaha, siapa suruh kau lahir duluan.” Celetukan itu terdengar memecah kesunyian ruangan. Jourell menoleh, melirik adik laki-lakinya yang mengulas senyum meledek. Umur keduanya hanya selisih 3 tahun dan saat ini adiknya itu masih mengenyam pendidikan kuliah.
“Tidak ada yang bisa mengurangi masa kebebasanku. Kau lupa siapa aku, Jasson?” Jourell menyahut dengan senyum pongah, jelas tak terpengaruh meskipun sebentar lagi harus menunjukkan dirinya di publik. “Aku adalah Atmajaya, seorang Atmajaya tidak boleh dikendalikan oleh siapa pun," ucapnya lagi dengan penuh kepercayaan diri.
“Kita sedarah.” Jasson membalasnya singkat, kali ini wajahnya tampak lebih serius. “Tuan Tanaka baru saja menghubungiku, bulan depan dia akan datang,” ucapnya dengan suara rendah sekali namun cukup didengar oleh Jourell.
Jourell melirik adiknya, seulas senyum terbit di bibir dengan jari-jari yang diremas lembut. “Tetapkan lokasinya, bulan depan waktunya bersenang-senang," kata Jourell disertai senyum misterius di wajahnya.
“Bisa diatur.” Jasson mengangguk tegas, ia menyimpan ponselnya ke dalam saku lalu bangkit dengan memasukan kedua tangan ke celana. “By the way bagaimana tangkapanmu? Sudah atau belum?” Sesaat kemudian Jasson menanyakan sesuatu yang membuat Jourell berpikir sejenak.
“b******n!”
Jasson tertawa terbahak-bahak. “Pasti gagal, payah!” cibirnya penuh cemoohan.
Jourell tidak kesal, senyumnya justru kian lebar dengan tatapan yang berpusat pada lukisan naga besar yang menjadi simbol klan Atmajaya, lukisan itu membentang memenuhi hampir seluruh dinding di ruangan. Jari-jarinya kembali terjalin di depan wajah yang begitu dingin.
“Aku masih punya banyak kejutan untuknya.”
Bersambung~