Bab 17. Malam Dramatis

1771 Kata
Letizia berteriak dengan mata yang terpejam rapat tatkala Jourell merengkuh pinggangnya dengan sangat erat, kepalanya terbenam sempurna dalam dekapan hingga irama detak jantung Jourell bisa ia rasakan. Letizia dilanda kegugupan luar biasa, tanpa berani mengangkat pandang ke atas. Satu detik, dua detik dan beberapa detik setelahnya tidak ada pergerakan apa pun dari Jourell, memancing hasrat keingintahuan Letizia mendongak untuk melihat apa yang terjadi. Namun, rasanya ia menyesal karena tatapan nyalang bak pedang itu telah menunggunya. Dengan kaku ia mengulas senyum manis. “Kau pusing 'kan? Ayo tidur lagi, akh!” Letizia kembali berteriak, kali ini lebih kaget karena Jourell tiba-tiba membalikkan tubuhnya hingga berada dibawah kungkungan pria itu. “Apa yang kau harapkan?” Jourell tersenyum bengis, tanpa ragu menekan leher Letizia dengan kuat sehingga wanita itu meringis kesakitan. “Kesempatan yang aku berikan, kau rusak dengan cara seperti ini, Zia? Ssah ... bagaimana aku bisa memaafkanmu?” Ia menundukkan wajah menggesekkan bibirnya di atas bibir Letizia. “Aku tidak bermaksud seperti ini.” Letizia memejamkan matanya rapat-rapat menahan nyeri di lehernya, berusaha berontak tapi apa daya ada beban 75 kg di atas perihnya. “Lalu, apa maksudmu?” “Aku ingin ... ” Letizia menahan suaranya sebentar, sepertinya Jourell benar-benar tidak bisa dilawan dengan cara seperti ini. Kemarahan pria ini tak yakin bisa ia kendalikan jika ia terlalu lancang. “Kau ingin membongkar kalau aku berbohong? Menurutmu apa aku sudi hidup menderita jika hanya berpura-pura?” Jourell mendesis pelan namun penuh penekanan. Letizia membuka matanya yang sendu. “Aku memang salah, maafkan aku Jourell. Berikan aku kesempatan sekali lagi,” pinta Letizia memohon. “Omong kosong!” Tanpa perasaan Jourell menghempaskan wajah Letizia lalu bangkit dari atas tubuh wanita itu. Sejak tadi Jourell memang sudah curiga dengan sikap Letizia, dan jelas aroma Tequila yang diminum berbeda seperti yang biasanya. Sengaja berpura-pura teler, dan seperti dugaannya Letizia memang sengaja melakukan itu. “Jourell.” Letizia buru-buru bangkit, memeluk Jourell dari belakang sebelum pria itu menjauh. “Jangan buat aku lebih marah, Zia!” bentak Jourell sarkas. “Jourell, aku minta maaf.” Letizia mengeratkan pelukannya pada tubuh pria itu. “Maafkan kebodohanku, tolong berikan kesempatan lagi aku janji akan mengejarmu dengan cara yang benar—” “Aku tidak percaya!” sentak Jourell, melepaskan pelukan tangan Letizia di perutnya. “Rasakanlah!” Letizia kian erat melingkari tubuh Jourell, menyadarkan pipi serta dadanya pada punggung itu. “Jantungku masih berdebar saat bersamamu, kau yang paling aku inginkan. Jourell, aku akan membuktikannya, aku akan membuktikan jika perasaanku tidak main-main ... ” Suara Letizia lirih, penuh dengan permohonan. Jourell terdiam mendengarnya, emosinya mulai memudar perlahan. Ia merasakan pelukan Letizia mengendur, wanita itu membalikkan tubuhnya hingga berhadapan. Jourell bisa melihat jelas wajah tulus Letizia, pun tatapan sendunya yang membuat hatinya luluh lantak. Letizia sendiri mengabaikan segala keraguan dalam dirinya, Jourell benar tidak akan ada orang yang sudi hidup miskin jika memang punya segalanya. Tidak ada keuntungan apa pun dari kebohongan itu, seharusnya ia percaya bukan? Kenapa hanya karena siluet tubuh sialan di kantor ia menjadi agresif seperti sekarang. “Kau mau memaafkanku 'kan?” Letizia bertanya lirih. “Tidak.” Jawaban super dingin itu membuat Letizia frustrasi, tanpa pikir panjang ia menjinjit lalu mencium bibir Jourell dengan keras hingga menimbulkan suara berdecak. ”Maafkan aku," kata Letizia, cemberut wajahnya merasa tak menemukan jalan keluar lagi. “s**t, kenapa sih dia menggemaskan sekali,” batin Jourell yang kaget akan cara impulsif Letizia kali ini, memaksa bibir untuk tersenyum namun sebisa mungkin memasang wajah cool. “Aku bilang tidak ya tidak,” sahut Jourell ketus, ia menepis tangan Letizia lalu beranjak menunu lemari untuk mengambil kaos karena tadi baru menggunakan celana tidur panjangnya. Letizia semakin frustrasi namun tidak menyerah, ia mengikuti Jourell lagi lalu menyelinap di balik ketiak suaminya itu. “Jourell, maaf ... ” ucapnya lembut nan manja. Pertahanan Jourell hampir runtuh namun ia pun masih berpura-pura jual mahal. Ingin melihat sejauh mana Letizia bertindak, dengan gerakan sedikit kasar ia mendorong kepala Letizia yang bergelayutan padanya. “Tidak!" seru Jourell lebih ketus dari sebelumnya. Letizia sudah pasrah, matanya berkaca-kaca ingin menangis. Ia tidak bisa berpikir lagi selain menggunakan jurus andalannya dengan... “Huaaaaaa kau mengintimidasiku lagi, hiks. Kenapa kau pendendam! Aku kan sudah minta maaf ... ” Letizia menangis dengan suara yang cukup keras, berdiri mematung di depan lemari dengan mata yang menatap ke arah Jourell. Jourell mengernyitkan dahi dengan bibir mencebik sebal. “Hei, jangan menggunakan trik itu ya penipu kecil. Aku tidak akan luluh!” Jourell menunjuk wajah Letizia dengan kesalnya. Bukannya mereda tangis Letizia justru sengaja dikencangkan. “Aku minta maaf, kenapa kau jahat tidak mau memafkanku? Aku harus apa, hiks ... ” Jourell menghela napas panjang, melihat wajah Letizia saat ini ia juga kesal namun banyak gemasnya. Ia berkacak pinggang seraya menggelengkan kepalanya sebal. “Kau pikir aku akan terpedaya? Cih, tidak akan!” celetuk Jourell memilih mengabaikan Letizia kali ini. Ia melangkah ke ranjang bermaksud untuk merebahkan diri istirahat. Letizia menggigit bibirnya mendadak ketakutan sendiri, hubungan mereka kan baru membaik jika seperti ini bukankah sama saja mengulangi dari awal lagi? Tidak, tidak, Letizia tidak ingin hal itu terjadi. Malam ini juga ia harus menyelesaikan masalah mereka. Letizia menarik napas panjang sebelum akhirnya melangkah mendekati Jourell, antara berani dan tidak ia harus memberanikannya. “Jourell, maaf ... ” kata Letizia menyentuh lembut lengan pria itu. Tak ada respon, Jourell justru sibuk memainkan ponselnya. “Jourell ... ” Ia kembali memanggil namun hanya mendapatkan balasan lirikan tajam. “Jangan mengangguku!” Jourell menyentakkan tangan Letizia kasar. Kesabaran Letizia pun habis, ia meraih ponsel yang dipegang Jourell lalu duduk di atas pangkuan pria itu serta menarik kaosnya kasar. “Kalau tidak mau diganggu cepat maafkan aku,” kata Letizia. “Tidak!” Cup Jawaban singkat itu langsung dibalas kecupan manis di bibir Jourell, pria itu cukup terkejut namun hanya diam. Matanya menatap Letizia yang memandangnya sendu. “Kau berani melakukan ini?” Jourell bertanya, suaranya berat beserta hembusan napas yang hangat. Letizia menelan ludah menahan kegugupan yang kian merajalela, sudah terlanjur basah bukan? Ia tidak ingin usahanya ini sia-sia, perlahan ia memeluk leher Jourell lalu mendekatkan wajahnya. “Aku tidak perlu izin untuk ini bukan?" Letizia berbisik lembut, kemudian mengecup mesra bibir Jourell yang terasa dingin. Tak ada respon, Letizia mengangkat wajahnya sejenak memperhatikan Jourell yang masih diam memaku. “Aku mencintaimu,” ucapnya tanpa ragu, tangannya bergerak mengusap rahang tegas itu perlahan. “Hanya kau ... ” Suara lembut itu kembali menyapa membuat debaran jantung Jourell sulit dikendalikan. Ia menarik pinggang Letizia lebih merapat ke tubuhnya. “Panggil namaku," pinta pria itu. “Jourell,” Letizia menurutinya, memanggil nama Jourell lembut sekali. Tak ada respon apa pun membuat Letizia menggigit bibir menahan resah. “Rellybear ... ” Panggilan itu disambut ciuman agresif dari. Jourell, satu tangannya menarik tengkuk Letizia dengan satu tangan yang merengkuh pinggangnya mesra. Jourell tak bisa menahan dirinya sekarang, sejak tadi wanita di depannya terlalu menggoda untuk disia-siakan. Tanpa segan Jourell mencicip manis bibir tipis itu dengan begitu atraktif. Letizia berusaha mengimbangi kecupan demi kecupan itu, ia pun merasa tertantang ingin bertindak lebih. Sebagai bentuk kepercayaan, Letizia ingin tak ada batasan apa pun malam ini. Tangan Jourell bergerilya aktif melepaskan satu persatu kancing kemeja yang dipakai Letizia, menurunkannya hingga bahu mulusnya tereskpos. Jourell mengecup lembut bahu itu. “Ah ... ” Lenguhan Letizia tidak bisa ditahan, matanya begitu sayu mengundang Jourell bertindak lebih. Tanpa menunggu lama Jourell langsung mendorong Letizia hingga berbaring, melakukan foreplay yang membuat suasana semakin memanas. Selembar demi selembar kain yang menghalangi telah terjatuh ke lantai, sentuhan lembut menyapa membuat keduanya semakin intens. Sebelum bertindak jauh, Letizia menahan bahu Jourell sejenak. Ia merasa bibirnya kebas namun ia mengabaikannya. “Aku tidak ingin hamil dulu ... ” *** Sinar matahari menyapa halus dari celah jendela, Letizia memicingkan mata melihat ke arah luar yang terang-benderang. Ia meringis pelan, menyingkirkan tangan Jourell yang memeluk perutnya dengan posesif. Dengan tertatih ia bangkit, menahan tubuhnya yang remuk redam karena ulah Jourell semalam. ”Anjing liar ini sepertinya benar-benar ingin mematahkan seluruh tulangku,” rengek Letizia seraya mendengus kecil. Letizia tidak bisa berleha-leha karena harus pergi ke kantor, meski kakinya cukup gemetar ia tetap memaksakan dirinya untuk membersihkan diri. Sepertinya Jourell memang sengaja membuatnya seperti sebagai peringatan agar tidak lagi berpikiran macam-macam. Sialan, lebih baik aku tidak mencari gara-gara dengannya lagi lain kali. Menyelesaikan mandi dengan cepat, Letizia segera bersiap ke kantor. Tidak sempat masak atau beres-beres karena memang waktu yang mepet. Namun, saat masuk kamar ia justru melihat Jourell berdiri di samping jendela dengan telepon di telinga. “Kau sudah bangun, aku tidak—” “Jangan banyak basa-basi, habisi siapa pun yang mendekat! s**t, kenapa bisa kacau seperti ini?” Jourell memaki-maki kasar, bahkan tak segan menendang kursi yang ada di depannya dengan kuat. Letizia tertegun mendengar ucapan Jourell kali ini, ia mengernyit tanpa berani mendekat. Tak lama panggilan itu berakhir, barulah Jourell berbalik badan melihatnya. “Kau sudah mandi? Hem, kenapa tidak menungguku?” Jourell tersenyum tipis, mendekati Letizia lalu menarik wanita itu ke dalam pelukan. Letizia membalas pelukan itu seraya mengangkat pandangan, raut wajah Jourell sangat hangat sekali, sangat berbeda dengan Jourell yang beberapa detik lalu memaki dengan wajah yang menakutkan. Kenapa aku merasa dia satu orang yang berbeda? “Ada masalah apa?” Letizia memutuskan bertanya. “Kuliahmu baik-baik saja 'kan?” “Baik, semuanya baik. Apalagi keadaan tubuhku sekarang,” sahut Jourell penuh semangat, menciumi leher Letizia yang begitu harum segar. “Ck, aku serius!” Letizia mencubit perut Jourell kesal. “Hahaha aduh, kukumu panjang sekali.” Jourell tertawa tapi mengernyit karena cubitan Letizia sangat sakit, punggung dan lengannya pun sudah terkena amukan kuku-kuku panjang itu. “Iya memang, sini aku cakar kalau mau,” gerutu Letizia, buru-buru melepaskan diri karena merasakan hawa yang kurang nyaman. Bukan tak mungkin Jourell akan menariknya lagi ke ranjang untuk berbagi peluh bersama. “Aku mau kerja, hari ini kau mandiri, ya. Bulan depan aku gajian, lumayan bisa mencicil hutang. Tugas kuliahmu kapan batas waktunya? Aku ada menerima job tambahan selesai kerja, sepertinya bulan ini bisa aku usahakan." Letizia tiba-tiba berubah serius bicaranya, ia pun mulai menyibukkan diri dengan baju yang akan dikenakan hari ini. “Kau yakin, bisa membayar utang itu?” Jourell yang tadinya bercanda pun menjadi serius. Letizia menoleh memandang Jourell dengan tatapan yang sulit diartikan. “Selama kau mendukungku dan tidak membuat ulah, kenapa tidak?” Letizia kemudian tersenyum manis. “Kata Papaku, kita boleh lelah tapi jangan sampai menyerah. Aku menganggap ini sebagai konsekuensi untuk mendapatkanmu kembali," ucap Letizia dengan tawa kecilnya namun ia tidak menyadari raut wajah Jourell sudah berubah sepenuhnya. “Dia benar-benar setulus ini? Kenapa aku merasa bersalah sekarang?” Bersambung~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN