Rapat Darurat di Tengah Kandang

1316 Kata
Pagi ini, udara segar terasa berbeda. Bukan cuma karena langit cerah, tapi karena ada sesuatu yang serius sedang terjadi. Usrox mengumpulkan seluruh keluarga di tengah kandang bebek. Paijo duduk di pojokan, terlihat seperti pengamat setia yang baru belajar tentang dunia peternakan bebek. Emak Usrox duduk paling depan, tangannya memegang secangkir teh yang sudah dingin. Bapak Usrox terlihat tegang, matanya serius. Di sekitar mereka, bebek-bebek berjalan kesana-kemari, ada yang berebut pakan, ada yang saling berbicara dengan bahasa bebek yang sulit dimengerti. "Srox, Paijo, ini bukan waktu untuk bercanda," kata emak dengan nada serius, meskipun di wajahnya ada sedikit senyum. Paijo menoleh dengan wajah bingung. "Emang, kita mau rapat serius di sini? Di tengah bebek yang lagi ngadu gaya?" Usrox mengangkat tangan, memberi kode agar Paijo diam sejenak. "Tenang, Jo. Gini nih, keluarga kita udah hampir jatuh, semua usaha bakal habis kalau kita gak bikin sesuatu. Jadi, hari ini kita bahas solusi— serius." Bapak Usrox menepuk-nepuk tangannya di atas meja kayu yang sudah dimakan usia. "Setuju. Sudah saatnya semua turun tangan. Kalau nggak, ini peternakan bisa tutup sebelum kita sempat mikir soal masa depan." Emak mengangguk. "Betul, Bapak. Jadi, kita harus cari cara supaya bisa jual produk kita dengan cara baru." Usrox mengangkat tangan, agak ragu tapi penuh semangat. "Jadi gini, Mak, Pak— aku udah punya ide. Kita coba bikin telur asin, tapi dengan packaging yang beda. Lebih keren, lebih modern." Paijo langsung nyeletuk. "Iya, kita bisa kasih nama ‘Telur Bebek Galau’ atau kalau mau lebih serius, mungkin ‘Telur Bebek Metamodern’." Tapi seketika itu juga, seekor bebek loncat dari tempat pakan dan nyosor ke arah Paijo, sampai dia hampir jatuh dari kursi. "Kwek-kwek-kwek!" bebek itu berteriak, seakan-akan protes dengan ide telur bebek galau. Paijo terperangah, tapi dia tetap tertawa. "Wah, bebeknya nggak setuju sama ide gua, Srox." Semua orang di meja rapat pun tertawa. Tapi setelah tawa reda, Usrox kembali serius. "Kita harus lebih kreatif. Kita gak bisa cuma jualan telur doang. Mungkin kita bisa coba jual olahan telur, kayak telur asin atau telur rebus yang dipake buat topping. Kalau kita kemas dengan menarik, mungkin orang akan lebih tertarik." Bapak Usrox memandangnya. "Hmm, itu ide yang bagus. Tapi kita nggak bisa hanya fokus di produk, kita juga harus mikirin gimana cara jualannya." Emak mengangguk, sambil mencatat di buku catatannya. "Bener juga. Kita butuh sistem pemasaran yang bisa menarik perhatian. Kita juga butuh bantuan. Paijo, bisa bantu kita distribusi ke teman-teman sekolah?" Paijo mengangguk dengan penuh semangat. "Siap, Mak! Aku siap turun tangan. Siapa takut? Kalau perlu, aku jadi salesman keliling sekolah juga." Usrox tersenyum melihat semangat Paijo. "Kalau begitu, semua siap turun tangan, ya. Aku, Mak, Pak, Paijo. Semua harus bantu-bantu. Setiap orang punya peran, dari yang mengolah telur sampai yang jadi marketing." Dan saat itulah, dengan suara bebek yang masih terus berceloteh di sekitar mereka, seluruh keluarga Usrox merasa bahwa ini bukan hanya masalah keluarga mereka. Ini masalah mereka semua. Dan dengan saling mendukung, mereka yakin bisa menghadapinya. "Tapi, Srox," kata emak sambil menyeka peluh di dahinya, "kita mulai dari mana? Semua ide ini bisa jadi buang-buang waktu kalau kita nggak punya modal yang cukup." Usrox menatap tanah sejenak, berpikir keras. "Kita mulai dari yang kecil dulu, Mak. Kita gak perlu langsung produksi dalam jumlah banyak. Kita mulai dari pasar yang kecil, mungkin teman-teman sekolah dulu. Pelan-pelan, kalau sudah mulai dikenal, baru kita kembangkan." Bapak Usrox tersenyum, meski tampak sedikit lelah. "Ya, benar. Mulai dari yang bisa kita kontrol. Kalau gagal, ya kita coba lagi. Kalau berhasil, kita harus siap ambil kesempatan." Di tengah-tengah rapat yang penuh dengan tawa, ide aneh-aneh, dan juga kebingungan, mereka akhirnya sepakat. "Baiklah," kata emak akhirnya. "Semua siap turun tangan. Besok kita mulai uji coba produk telur asin dan rencana distribusi. Nggak ada yang boleh mundur!" Usrox merasa lebih ringan. Dia nggak sendirian dalam perjuangan ini. Mereka semua ada di sini, bersama-sama, bahkan jika harus dikelilingi bebek-bebek yang gak pernah berhenti ngobrol. Dan rapat darurat ini— di tengah kandang bebek— menjadi titik awal perjuangan mereka. *** Usrox dan Paijo melangkah keluar dari kandang setelah rapat darurat itu, penuh dengan semangat baru. Meskipun udara masih agak panas dan bebek-bebek di belakang mereka kayaknya masih sibuk dengan urusan masing-masing, mereka berdua merasa seolah-olah sudah menaklukkan dunia. "Hah, akhirnya. Kita punya rencana, Jo," kata Usrox, sambil menepuk bahu Paijo. Paijo nyengir lebar, tangannya merangkul kaleng besar berisi air. "Yoi, Srox. Tapi beneran nih, telur asin pertama kita harus keluar sempurna, kalo nggak bisa-bisa mereka malah mikir kita jualan telur bebek kadal!" Usrox ketawa. "Jangan kebanyakan nonton film deh, Jo. Kita jual telur bebek asli, nggak ada kadalnya." Mereka menuju ke dapur, tempat di mana mereka akan mulai eksperimen pertama. Di atas meja kayu yang sudah usang, telur bebek yang baru dipanen diletakkan dengan hati-hati. Emak sudah menyiapkan bahan-bahan untuk membuat telur asin: garam, air, dan beberapa bahan rahasia yang hanya emak yang tahu. “Srox, Jo— Mak harap kalian bener-bener serius,” kata emak sambil mengaduk garam di ember besar. “Ini pertama kalinya kita coba olah telur begini. Kalau gagal kita bikin omelet aja buat makan siang." Bapak Usrox yang dari tadi diam di pojokan sambil ngelap tangan, tiba-tiba ikut menimpali. "Jangan takut gagal. Kalau gagal, coba lagi. Tapi kali ini, kita punya Paijo yang siap jadi salesman. Kalau ga laku, ya tinggal kita kasih ke tetangga." Paijo mengangkat tangan dengan semangat. "Siap, Pak! Aku siap keliling rumah, sekolah, bahkan warung depan itu! Telur bebek kita bakal jadi legenda!" Emak nyengir. "Ya udah, kalau gitu, kita mulai. Srox, Jo, bantuin emak. Ayo kita rendam telur-telur ini dalam campuran garam." Mereka mulai mengolah telur, dengan hati-hati memasukkan setiap butir ke dalam wadah yang sudah dipersiapkan. Selama proses itu, suasana masih sedikit kaku. Tangan Paijo gemetar saat dia memasukkan telur ke dalam garam. "Ini pasti jadi kenangan sejarah, Srox. Telur pertama yang aku olah!" Usrox tertawa. "Jangan lebay, Jo. Kamu belum pernah buat telur asin, ya?" "Jangan salah, Srox. Aku juga sering bikin telur rebus!" jawab Paijo sambil tersenyum lebar. Saat semuanya selesai, emak menutup wadah besar yang berisi telur asin yang sedang diolah. Mereka semua melihat hasil eksperimen pertama itu dengan ekspresi campur aduk antara harap-harap cemas. “Ini baru permulaan, ya?” tanya emak dengan suara tegas, tapi ada sedikit nada harapan. Bapak Usrox memandang mereka dengan mata yang penuh keyakinan. “Ya, semoga ini berhasil. Mulai dari sini, kita lihat apakah telur asin ini bisa jadi usaha yang bener-bener bisa bantu peternakan.” Usrox melihat ke arah Paijo, yang terlihat sedikit gelisah. “Jo, kita harus percaya ini bakal berhasil. Kita nggak bisa cuma mikir kalau ini bakal gagal terus. Kita harus coba dan lihat apa yang terjadi.” Paijo mengangguk, meskipun masih terlihat agak khawatir. "Ya, Srox. Pokoknya, kalau ini gagal, kita siap coba lagi. Tapi aku yakin, telur bebek kita bakal jadi hits!" Mereka berdua saling memberikan semangat, meskipun hati kecil mereka tahu bahwa jalan ini masih penuh ketidakpastian. Setelah selesai, mereka duduk di luar rumah sambil menunggu hasil rendaman telur pertama mereka. Udara sore semakin sejuk, dan bebek-bebek itu masih terus berkicau, seakan tak peduli dengan apa yang sedang terjadi di dunia manusia. Mereka tahu, hari-hari mereka mungkin akan terus berjalan seperti biasa. Namun bagi Usrox dan Paijo, hari itu adalah hari yang berbeda. "Srox," kata Paijo dengan serius, setelah beberapa saat diam. "Apa kalau telur asin ini sukses, kita bakal jualan barang lain juga? Aku sih udah siap jadi pengusaha bebek." Usrox tertawa. "Santai aja, Jo. Kita jalanin dulu yang ini, siapa tahu nanti kita jadi punya lebih banyak produk. Yang penting sekarang, kita harus terus coba dan gak mudah menyerah." Kedua sahabat itu menatap langit yang mulai berubah jingga. Mereka merasa sesuatu mulai berubah dalam hidup mereka, meskipun itu baru langkah kecil. Mereka mulai tahu satu hal pasti— setiap usaha pasti dimulai dengan langkah pertama yang berani, bahkan kalau langkah itu harus ditemani oleh bebek-bebek yang suka berantem soal pakan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN