Suasana peternakan bebek sudah ramai. Bebek-bebek berseliweran ke sana ke mari, berkotek tiada henti. Tapi bukan cuma mereka yang ribut. Di tengah kandang, Paijo berdiri di atas ember bekas, seperti orator jalanan yang lagi semangat menggelorakan revolusi.
"Saudara-saudara sekalian!" serunya lantang, walau yang mendengarkan cuma Usrox, emak, bapak, dan kawanan bebek yang malah sibuk makan. "Kita butuh gebrakan baru! Strategi marketing kekinian! Bukan cuma jual telur asin, tapi kita harus menjual pengalaman!"
Usrox memegang dahinya. "Apa lagi nih, Jo." gumamnya pelan.
Paijo mengangkat satu jari ke atas, matanya berbinar.
"Ide pertama: kita jual telur rebus langsung dari kandang! Real fresh from the oven!"
Bapak Usrox mengerutkan dahi. "Kandang bukan oven, Jo."
"Tapi kan idenya tetep fresh, Pak!" sergah Paijo, berapi-api. "Kita bikin konsep: Merebus Telur Langsung di Tempat Asal Bebek. Orang bisa lihat, bisa rebus sendiri, bisa selfie sambil pegang bebek. Viral, Pak, viral!"
Emak Usrox kelihatan nahan ketawa, tapi tetap berusaha menjaga wibawa. "Jo, yang ada orang malah kabur kalau bau bebeknya ikut nempel di telurnya."
Paijo tidak menyerah. Dia mengibas-ngibaskan tangannya, seolah-olah baru memulai. "Oke, oke, ide kedua! Kita buka SPA khusus bebek! Bebek-bebek ini kan capek kerja bertelur tiap hari, kasihan. Kita buatkan paket relaksasi bebek: pijat, mandi air hangat, aromaterapi daun kelor!"
Semua langsung hening. Bahkan bebek-bebek yang biasanya ribut pun diam sebentar, seolah paham absurdnya ide ini.
Usrox melongo. "Jo, kamu yakin bebek ngerti aromaterapi?"
Paijo mengangguk mantap. "Yakin, Srox. Bebek juga makhluk hidup. Mereka butuh self-care."
Emak tertawa kecil, tak tahan lagi. "Yang ada nanti bebeknya makin manja, bukan bertelur malah minta liburan."
Bapak Usrox juga menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Jo, Jo... ada-ada aja idemu."
Tapi Paijo belum selesai.
"Ide ketiga!" katanya, sambil mengacungkan jari seperti presenter TV. "Kita buat acara ‘Meet and Greet’ sama bebek! Orang bayar tiket buat ketemu langsung sama bebek-bebek kita, boleh kasih makan, boleh selfie. Bonus: dapet satu telur asin buat oleh-oleh!"
Usrox akhirnya nggak tahan dan ketawa ngakak.
"Jo, itu konsep kayak artis selebgram! Ini bebek, Jo, bebek! Mereka gak ngerti posing di kamera!"
Paijo mengangkat bahu. "Justru karena gak ngerti, itu lucu, Srox. Bebek candid!"
Mereka semua tertawa keras sampai beberapa bebek ketakutan dan lari-larian. Bahkan emak sampai tepuk-tepuk paha sambil berkata,
"Haduh, perut emak sakit ketawa. Paijo, kamu tuh bisa banget kerja di bidang hiburan!"
Tawa mereka akhirnya reda. Usrox mengusap matanya yang berkaca-kaca karena kebanyakan ketawa.
"Jo, meskipun idemu kocak semua, aku tetap salut. Semangat mu gede. Tapi kayaknya kita tetap mulai dari yang sederhana dulu ya, jual telur asin."
Paijo tersenyum lebar. "Siap, bos! Tapi kalau suatu hari ideku laku— aku mau dapet royalti!"
"Kalau ada yang mau spa-in bebek, aku yang traktir makan mie ayam," balas Usrox sambil tertawa lagi.
Sambil menyiapkan telur asin pertama mereka untuk dijual, Usrox dan Paijo merasa lega. Meskipun semua ide gila Paijo belum ada yang masuk akal, mereka sadar satu hal penting— semangat pantang menyerah itu yang paling berharga.
Dengan peralatan seadanya, sedikit modal, dan banyak tawa, mereka memulai langkah kecil menuju impian besar mereka.
***
Sore harinya, setelah sesi rapat ide-ide kreatif ala Paijo selesai, Usrox dan Paijo duduk di tangga dapur belakang rumah. Kaki mereka menjuntai, dan di bawahnya, beberapa bebek mondar-mandir seperti patroli sore.
“Jo,” kata Usrox sambil menyeruput teh manis buatan emak, “kamu tau nggak, dari semua ide yang barusan kamu keluarin– nggak ada satu pun yang bisa kita pakai.”
Paijo nggak tersinggung. Justru dia nyengir lebar. “Yaelah, Srox. Namanya juga brainstorming. Minimal kamu ketawa, kan? Peternakan ini kan butuh tawa juga, bukan cuma kerja keras.”
Usrox mengangguk pelan. “Iya sih. Aku akui, kamu itu nggak pernah kehabisan ide. Walaupun kadang kayak kebanyakan kena matahari.”
Mereka berdua tertawa. Tapi di balik tawa itu, ada harapan kecil yang tumbuh. Meskipun ide-ide Paijo aneh dan ajaib, semangatnya seperti bensin tambahan buat mesin semangat Usrox yang sempat mogok.
“Besok kita mulai jualan telur asin ya,” kata Usrox serius.
“Siap, bos! Kita jajal pasar, uji nyali!” sahut Paijo dengan gaya ala presenter TV.
Mereka berpandangan, lalu tertawa lagi. Bebek di bawah mereka mengeluarkan suara “kwek” yang terdengar seperti ikut menanggapi.
Sore berganti malam. Angin membawa bau tanah dan sisa dedaunan kering. Langit di atas mereka mulai dipenuhi bintang. Peternakan kecil itu masih berjuang, tapi malam ini, Usrox tidak merasa sendirian.
Dengan Paijo di sisinya— meskipun kadang setengah waras— dia tahu perjuangannya nggak akan sepi.
Dan besok, telur asin buatan mereka akan diuji.
Entah akan jadi langkah pertama menuju sukses atau awal dari kekacauan baru.