Cinde & Dilip 9

2484 Kata
"Lebih baik kita pulang. Kau tidak mungkin sendirian di sini tanpa pengawasan." Dolores menggeleng. "Jika kau tidak ingin pulang lalu apa yang akan kau lakukan di sini? Kau tidak mungkin hidup sendirian." "Aku mohon jangan bawa aku pulang ke istana." Dilip memalingkan wajah enggan menatap adiknya. Dadanya sesak melihat tubuh kurus adiknya. Selama ini dia terlalu sibuk dengan urusan bisnisnya tak peduli jika sang adik di luaran sana melakukan apapun. Dolores mendekat lalu memegang lengan Dilip. Matanya yang memerah menatap Kakaknya dengan permohonan. Dia tidak ingin pulang ke kerajaan. Bagaimana pun caranya dia akan bertahan di negara tempatnya belajar mendapatkan kehidupan bahagianya. Dolores sudah sangat lama mendambakan hidup di tempat asri seperti ini. Dari dulu orang tuanya tidak pernah membawanya ke luar istana. Jika menginginkan sesuatu akan di buatkan saat itu juga. Dolores tidak menyukai terkekang di Istana. Dia wanita bebas seperti sang Kakak yang hidup berkelana di luar istana. "Tidak! Keputusanku sudah bulat, kau pulang ke istana sekarang juga." "Dilip, aku mohon?" Dilip menatap wajah adiknya, tangannya terangkat lalu mengusap wajah tirus itu. "Kenapa kau baru mengatakan hal ini padaku? Kau menganggap ku apa selama ini? Kau satu-satunya saudara yang aku miliki tapi kau tak pernah bisa menjaga dirimu dengan baik." Dolores memegang telapak tangan Dilip yang ada di pipinya. "Aku tak ingin menyusahkan mu. Selama ini aku terlalu banyak meminta, sampai aku bisa berada di sini karena kekuasaan yang kau miliki." "Tapi tidak dengan cara seperti in Lores. Kau membuatku menjadi seorang Kakak yang gagal menjaga adiknya." Dolores menggeleng. "Kau seorang Kakak yang baik untukku, Dip. Jangan pernah menyalahkan dirimu sendiri. Ini Takdirku dan aku menerimanya, karena aku sudah mendapatkan yang aku inginkan." Dilip menarik nafas lalu merengkuh tubuh Dolores ke dalam pelukannya. Dia mengecup kening adiknya dengan perasaan bersalah. Bagaimana bisa dia tidak mengetahui apa yang terjadi? Selama ini dia menjaga adiknya dengan pengawal yang di perintahkan untuk mengikuti kegiatan apa saja yang di lakukan nya. Sayangnya Dolores bukan wanita bodoh, dia pasti tahu jika setiap langkah yang di ambilnya akan banyak mata-mata yang bermain rapih. Dilip salah menduga. Apa yang di pikirannya saat kemarin itu salah! Adiknya tidak hamil namun adiknya memiliki penyakit mematikan. Pergi ke dokter kandungan karena memang di sana temannya yang bisa membantunya. "Aku tak akan bisa memberikan seorang anak pada suamiku kelak. Dan aku menerima itu semua, tidak apa-apa. Aku tidak akan menikah seumur hidupku." Bisikkan lirik Dolores membuat tubuh Dilip menegang. Dia mengerjakan mata, Tuhan memberikan penyakit mematikan pada setiap umatnya dan Dilip yakin separah apapun penyakitnya Tuhan akan memberikan obatnya walaupun hanya beberapa persen dan itu hanya dapat dari keajaiban Tuhan. "Kau akan sembuh. Aku akan datangkan beberapa Dokter untuk menyembuhkan mu. Berapapun harganya akan aku bayar." Dolores mencengkeram erat jas Dilip dengan tangis yang tak berhenti. Sungguh ini cobaan terberat untuknya. Dia merasa tidak pantas untuk di cintai. Sebenarnya dia akan memberikan sebuah kabar pada keluarganya, terutama Dilip. Dolores ingin mengatakan jika dia akan menikah dengan pria yang mencintainya dan yang dia cintai. Namun ternyata kenyataan mengejutkannya. Dokter sudah memvonis jika Dolores memiliki penyakit Hidrosalping. Dolores merasa ini benar-benar akhir dari hidupnya. Baru kemarin mereka berkencan dan tertawa bersama. Tapi sekarang semuanya di hempasan begitu saja. Satu bulan dia menghindar dari sang kekasih karena tak ingin membuatnya khawatir. Dolores bingung karena dia mencintai kekasihnya. Namun dia tak boleh egois, mengingat seorang pria pasti berharap banyak memiliki seorang anak. Dolores mengutuk takdir hidupnya yang seperti ini. Dia merasa semuanya hancur dalam sekejap. Rasa bahagia yang di rasakan nya 2 tahun hilang sudah. Hanya tertinggal serpihan menyakitkan dan menyiksa hatinya. "Jadi ini alasanmu menghindari ku?" Suara itu mengejutkan keduanya. Dolores melepaskan pelukannya. Matanya membulat melihat sosok yang di cintai nya berdiri di pintu masuk kamarnya. Dilip memutar tubuh, mengingat dia membelakangi pintu. Matanya menatap pria di depannya dari atas ke bawah menilai siapakah pria ini. "Akshay." Bisik Dolores pelan. Dilip mengangkat alisnya melihat pria itu menatap adiknya dengan datar namun tatapan matanya penuh dengan luka. "Kenapa kau menyembunyikan hal ini padaku? Kenapa kau tidak mengatakan sejujurnya tentang apa yang terjadi padamu? Kau berkata kita harus saling terbuka tapi kau sendiri yang tidak jujur padaku? Kau berkata menerima ku apa adanya dengan kekuranganku tapi kenapa kau sekarang seperti ini? Kau ...." "Aks—" "Kenapa? Apakah kau tidak mencintaiku lagi?" Kepala Dolores menggeleng. Dia maju untuk mendekati Akshay namun pria itu melangkah mundur. "Bukan seperti itu. Aku—" "Jika kau menginginkan seperti ini. Baik! Aku tidak akan mengganggumu lagi. Terserah kau akan melakukan apapun, kita sudah tidak memiliki hubungan lagi." "Akshay, aku mohon dengarkan penjelasan ku dulu?!" Dolores melangkah dengan cepat lalu memeluk tubuh itu dengan erat. Dia menangis di pelukan kekasihnya yang sudah menemaninya selama 2 tahun ini. Akshay membalas pelukan Dolores tak kalah eratnya. Dia mencium rambut kekasihnya dengan sayang. Pantas saja selama beberapa Minggu ini Dolores bersikap tidak seperti biasanya. Akshay pikir mungkin kekasihnya memiliki sebuah masalah dengan keluarganya makanya dia biasa saja. Namun semakin lama tingkah Dolores membuatnya jengkel. Kekasihnya melarangnya datang ke rumah bahkan tidak di izinkan untuk menginap seperti biasanya. Akshay merasa semakin aneh dengan kondisi tubuh kekasihnya. Akshay bertanya namun Dolores slalu menggeleng tidak apa-apa. Dan puncaknya 1 bulan kemudian Dolores menghilang tanpa kabar. Rumahnya kosong, nomor ponselnya tidak aktif dan hal itu membuatnya merasa khawatir. Akshay bertanya pada beberapa teman dekat Dolores dan mereka semua tidak tahu. Dia merasa frustasi mencari ke sana kemari kekasih hatinya. Semalam dia mencoba menelpon dan nomor Dolores aktif hanya saja panggilan sedang di alihkan. Pagi tadi Akshay datang namun rumah Dolores masih gelap gulita. Bahkan Akshay tidak datang ke kantor beberapa hari demi bertemu dengan kekasihnya. Sampai tibalah siang ini dia melihat Dolores berpelukan dengan seorang pria. Amarahnya memuncak, Akshay akan berbalik namun sebuah ucapan membuat tubuhnya menegang. Jadi selama ini Dolores menyembunyikan penyakitnya karena tidak ingin membuatnya kecewa. Astaga! Dolores dengan pikirannya memang selalu membuatnya gemas. "M-maafkan aku, Akshay. A-aku hanya tidak ingin membuat kau kecewa di suatu saat nanti." "Kita bisa mencari cara untuk menyembuhkan penyakitmu." "Aku sudah berusaha mencari cara tapi semua dokter mengatakan kemungkinan kecil untuk memiliki keturunan." Akshay mengusap punggung Dolores. "Jangan pikiran hal itu, lebih baik kau pikirkan kesembuhan mu dulu." "Tapi kau mengatakan kita akan menikah. Jika kondisiku seperti ini bagaima—" "Ya Tuhan, sayang. Jika kau ingin menikah, aku akan datang pada orang tuamu sekarang juga. Kau tidak usah khawatir dengan kondisimu yang seperti ini aku tidak akan meninggalkanmu." "Aku takut." Dilip melihat pemandangan pasangan yang ada di depannya. Sebuah senyuman tipis terukir di bibirnya. Dolores sudah menemukan pria yang dia inginkan. Jadi ini alasannya kenapa Dolores slalu menolak pulang ke istana di negaranya? Dilip menatap pria itu dengan seksama. Dia merogok ponselnya lalu memotret pria itu dan mengirimkan pada anak buahnya. "Selesaikan urusan kalian aku akan menunggu di luar." Dilip melangkah pergi meninggalkan pasangan itu. Matanya memandang kekasih adiknya lalu mengangguk samar. ??? "Aku minta maaf, Cin. Demi Tuhan! Aku tidak bermaksud meninggalkanmu di pesta sepupuku." Padma menatap Cinde dengan pandangan memohon. Cinde tersenyum samar. Dia tahu tidak seharusnya berlaku seperti ini. Namun sayangnya peristiwa yang terjadi beberapa hari lalu membuatnya enggan untuk kembali membuka diri. "Pulanglah. Lebih baik kau pergi ke rumah sakit, pasti banyak pasien yang membutuhkanmu." "Tidak. Jika kau tidak ingin memaafkan ku, aku tidak akan pergi dari rumahmu." "Aku sudah memaafkan mu, Padma. Jadi lebih baik kau pergi bekerja, ini sudah waktunya kau berkeliling mengecek pasien, bukan?" Padma maju lalu memeluk Cinde dengan erat. "Aku minta maaf padamu. Sungguh aku tidak bermaksud seperti itu. Ini semua ulah Parvati yang mengajakku pergi tanpa membawamu. Aku pikir kau akan diam di sana mengingat kau tidak tahu siapa-siapa. Tahunya saat aku kembali kau menghilang. Aku dan Parvati mencari mu di sana tapi kami tidak menemukan mu. Maafkan aku, Cinde?" Cinde terdiam tidak membalas pelukan Padma. Sejujurnya dia ingin membalas pelukan Padma hanya saja dia sudah mengatakan dalam hatinya untuk tidak terlalu membuka diri. Cinde takut jika kelakuannya akan seperti kemari. Dia sungguh merasa bersalah akibat kecerobohannya dan kegugupannya yang bodoh. Dia sudah mencoba menghilangkan rasa gugupnya namun tetap saja tak bisa di hilangkan. Padma yang tidak merasakan pelukan Cinde semakin memeluk tubuh wanita itu dengan erat. Dia mengutuk Parvati karena gara-gara sepupunya yang t***l itu dia harus kehilangan Cinde. Baru saja dia menginginkan Cinde beradaptasi dengan lingkungannya, kejadiannya malah seperti ini. Padma bahkan bertengkar dengan Parvati, biarkan saja, salah siapa wanita itu menariknya. Parvati meminta maaf padanya namun Padma sedang mode ngambek pada sepupunya yang tak lain adalah sahabatnya juga. Padma bertanya pada Morven kemana perginya Cinde namun tak ada yang tahu kemana dia pergi. Padma sudah lelah mencari selama acara berlangsung tapi Cinde menghilang sebelum di perkenalkan. Padma benar-benar merasa tidak berguna sebagai teman barunya. Bukankah dia yang menawarkan diri untuk menjadi seorang sahabat? Dan dia juga yang malah seperti ini. "Tidak apa-apa, Padma. Semuanya sudah lewat, lebih baik kita urus pekerjaan kita. Aku harus pergi bekerja dan kau pun juga." Cinde mencoba melepaskan pelukan Padma namun tidak kasar. Dia tak ingin menyinggung perasaan wanita ini. "Kau jahat padaku. Aku kan hanya ingin berteman denganmu, Apakah aku tidak boleh berteman denganmu?" "Bukan tidak boleh, Padma. Hanya saja ...." Cinde tak meneruskan kata-katanya. Dia terdiam beberapa saat karena tak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Padma melepaskan pelukannya lalu memandang mata Cinde. "Kau menyembunyikan sesuatu dariku, kan?" "Tidak." "Kau tidak pandai berbohong." "Oh yah?" "Yah! Kau tidak pandai berbohong karena aku bisa melihat kakimu yang bergerak gelisah tidak tentu. Memangnya kau pikir aku tidak tahu jika ini menjadi kebiasaan mu jika kau sedang berbohong." Cinde menunduk ke arah kakinya. Dan memang kebiasaanya jika berbohong kakinya akan saling membelit di bawah. Cinde meringis namun tak mengatakan apapun. Padma memegang bahu Cinde dan menatap mata wanita itu dengan dalam. "Jadi katakan apa yang terjadi saat aku tidak bersamamu?" "Tidak ada." "Kau jangan seperti ini padaku, Cinde. Aku merasa menjadi wanita yang tidak tahu di untung. Sepertinya aku memang tidak pantas berteman dengan wanita sebaik dirimu. Ak—" "Tidak, Padma. Sudah jangan mengatakan hal semacam itu. Ayo mari masuk." Cinde memiringkan tubuhnya untuk mempersilakan Padma masuk. Padma menyeringai dan hatinya berteriak kegirangan. Akhirnya dia bisa membujuk Cinde. Mendapatkan teman seperti Cinde itu langka, maka dari itu Padma tidak ingin kehilangan orang seperti Cinde. Padma menatap ke sekeliling ruangan yang menurutnya begitu sempit. Bahkan dengan kamarnya saja lebih besar miliknya. Melihat tempat tinggal Cinde dia merasa sakit hati. Kenapa bisa orang sebaik Cinde memiliki kehidupan seperti ini? "Silakan duduk. Maaf tempat tinggalku tak seindah tempat tinggalmu." "Tidak masalah." Padma duduk di sebuah sopa usang. Dia meringis saat pantatnya mendarat di sopa itu. Keras sekali, apakah benar ini sofa tanya hatinya. Cinde yang melihat kegelisahan Padma tersenyum tipis. Padma pasti merasa tak nyaman tinggal di rumahnya. Namun Cinde tak bisa melakukan apapun karena memang dia tak sekaya Padma. "Kau ingin minum apa?" "Biarkan aku memilihnya. Bolehkah?" "Silakan." Padma bangkit berdiri lalu berjalan ke arah dimana Dapur berada. Tidak usah mencari-cari letak dimana Dapur berada karena ruangan itu hanya di sekat oleh kayu. Padma membuka kulkas mini di sana dan matanya langsung melebar melihat banyaknya makanan Cinde. Tangannya terangkat lalu menutup mulutnya tak percaya. "Astaga! Cinde. Apakah ini kau yang membuatnya?" Teriakan Padma begitu kencang membuat Cinde menoleh. "Ada apa?" Cinde mendekat lalu melihat mata Padma yang membulat. "Oh Good! Aku tak habis pikir kau bisa membuat makanan ini. Apakah aku boleh mencicipinya?" "Jika kau merasa ini higienis tak masalah." Padma tanpa berkata dua kali langsung meraih sebuah piring yang penuh dengan Pasta. Ini Pasta kesukaannya terlihat dari tampilannya. Dia berjalan ke arah meja makan yang hanya ada dua kursi setelahnya menarik kursi dan duduk. Padma meraih sendok dan garpu lalu memakannya dengan lahap. "Astaga! Astaga! Ini benar-benar enak." Padma bertepuk tangan kecil membuat Cinde tersenyum. "Ya Tuhan! Kenapa kau tidak bilang jika makananmu enak seperti ini? Ah! Aku rasanya akan betah tinggal di sini dengan penuh makanan lezat." Padma kembali menyuap dengan heboh sampai mulutnya penuh dengan pasta. Cinde berjalan ke arah Teko lalu menuangkan segelas air putih pada Padma. Dia tak ingin jika wanita itu tersedak akibat makannya yang terlalu lahap. Baru kali ini ada yang memuji masakannya, karena memang selama ini Cinde tak pernah berbagi. Bukan tak ingin berbagi hanya saja dia merasa tidak akan ada yang sudi memakannya. Cinde bisa memasak saat usianya 12 tahun dimana dia merasa lapar. Semua bahan seadanya dan dia memasak semampunya walaupun awalnya terasa hambar. Satu tahun dia belajar memasak dan semua itu di lakukan nya otodidak. Hasilnya lumayan oke dengan bahan-bahan sederhana yang di kelolanya menjadi makanan lezat versi dirinya. Cinde hanya melihat sekali apa saja bahan masakan itu dan nanti setelahnya dia akan mengikutinya. Untung saja dia di berikan ingatan yang cukup tajam maka dari itu hanya beberapa menit melihat dia bisa melakukanya tanpa ada kurang satu pun. Jangan lupa kulkasnya tak pernah kosong mengingat dia sering makan di tengah malam. Belum lagi sekarang dia harus berhemat karena satu kali gajian. Jika dulu dia bisa menabung dari gajian salah satunya dengan lumayan tapi sekarang sepertinya tidak akan seperti dulu. Suara sendawa keras terdengar oleh telinganya. Cinde menatap Padma dan matanya seketika membulat melihat piring besar itu sudah kosong tanpa tersisa. "Astaga! Maafkan aku, Cinde. Aku begitu lapar dan aku menghabiskan makanan milikmu." "Tidak apa-apa." "Jangan takut biar nanti aku ganti." "Tidak usah, Padma. Itu hanya sebuah makanan, kenapa kau mesti mengantinya?" "Karena aku malu sudah menghabiskan makananmu." "Tidak perlu di ganti, oke. Aku tidak masalah." Padma menatap Cinde yang ada di depannya. Dia berdiri lalu kembali memeluk tubuh mungil itu dengan erat. "Maafkan aku. Jika aku salah tegurlah, aku tidak ingin kehilangan teman sebaik dirimu, Cinde." Cinde tertegun mendengar ucapan Padma. "Kau wanita baik yang selama ini aku cari. Aku nyaman berteman denganmu dan aku merasa kehidupanku tidak akan monoton seperti beberapa tahun lalu. Bisakah kau membuka pintu maafmu untukku?" Cinde terdiam. Sungguh dia tidak marah pada Padma, hanya saja merasa jika semua yang di lakukan nya slalu salah. "Cinde, aku mohon?" Padma merengek manja bahkan kakinya di hentakkan sebal. Cinde tersenyum lalu membalas pelukan Padma. "Sudah aku katakan. Aku tidak marah padamu, Padma. Kau wanita pertama yang ingin berteman dengan wanita macam sepertiku. Aku malah beruntung bertahan denganmu." "Jadi kau memaafkanku?" "Tak ada yang perlu di maafkan." Padma memekik kegirangan dan semakin memeluk Cinde dengan erat. Seharian ini mereka menghabiskan waktu di rumah Cinde dimana Padma merengek meminta di ajarkan memasak dan Padma mengajarkan Cinde untuk membela diri di saat dia tidak ada. Mereka tertawa bersama, menceritakan kehidupan masing-masing di masa lalu dan mereka menangis saat masa lalu mereka tidak seindah masa sekarang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN