Cinde & Dilip 8

2106 Kata
Parvati dan Padma saling berpandangan menatap Cinde yang duduk gelisah di belakang. Mereka tahu apa yang di rasakan oleh wanita itu karena mungkin ini pernah untuknya pergi ke pesta mewah. Padma sudah menjelaskan pada Parvati maksud dan tujuannya dan wanita itu mendukungnya 100%. Belum lagi memang Parvati tahu Padma selama ini mencari sosok sahabat yang bisa menerima apa adanya tanpa embel-embel nama orang tuanya. Parvati meringis ngilu jika mendengar kisah kelam sepupunya yang terkadang membuatnya bingung sendiri. Kecantikan Padma memang sebanding dengan wajah ibunya yang seorang model namun sifat dan sikapnya begitu kentara sekali ikut pada Ayahnya yang seorang dokter. Parvati sebagai seorang sepupu hanya bisa mendukung karena memang selama ini mereka hidup pada pusaran itu saja. Darshan, Padma, Morven dan dirinya memang hanya seorang anak tunggal. Mereka bersaudara dari pihak sang Ayah. Sedangkan dari pihak sang ibu rata-rata memang anak tunggal jadi seperti inilah mereka. "Kau terlihat sangat gelisah?" Cinde menatap lewat kaca spion saat dimana matanya bertabrakan dengan mata Padma. "A-aku ... aku merasa sangat gugup." "Tenang saja di sana kau tidak akan di perlakukan semena-mena terutama kau datang denganku." Padma menyombongkan dirinya dengan berbangga hati. Parvati berdecak mendengar ke sombong wanita itu. "Berbanggalah kau sekarang. Karena aku yakin cepat atau lambat kau akan mendapatkan sesuatu yang mengejutkan di pesta Morven." "Kau tahu darimana jika aku akan mendapatkan sesuatu?" "Tidak ada." Padma mendengus. Kakinya menginjak gas dengan cepat sampai kenalpot suara mobilnya mengaung saat mereka sudah tiba di pelataran hotel. Padma tersenyum saat melihat keluar kaca, banyak orang yang menatap mobilnya penuh penasaran. Parvati meraih cermin nya menatap hasil riasan tangannya jika make up yang di dapatkan pada wajahnya tidak berantakan. Sedangkan Cinde berbeda dengan kedua wanita itu dia terkesan takut dan merasa ini bukan tempatnya. "Ayo kita keluar mereka pasti sudah menunggu." Padma keluar dari balik kemudi lalu tersenyum saat sudah menampakkan wajahnya di hadapan banyak orang. Tak lama Parvati keluar memutar untuk berdampingan dengannya. Cinde yang melihat kedua wanita itu sudah keluar rasanya ingin mengubur dirinya dalam-dalam. Dia merosot kan tubuhnya tak ingin jika sekarang keluar dari mobil ini. Suara ketukan di kaca mobil lumayan kasar membuatnya menoleh. Dia bisa melihat jika Padma menyuruhnya keluar dengan mata melebar. Cinde menghembuskan nafas dengan pelan mencoba menenangkan degup jantungnya yang menggila. Setelah merasa degup jantungnya bisa teratasi. Dia membuka pintu mobil dengan pelan setelah itu keluar dari sana. Angin menerpa wajahnya cukup kencang, matanya berkedip-kedip membuat beberapa kamera mengarah padanya. Tangan Cinde langsung di apit oleh Padma dan Parvati, mereka melangkah dengan anggun. Tampak jika kedua wanita ini memang sudah terbiasa akan sekitarnya namun berbeda dengan dirinya. Saat kakinya sudah sampai di red karpet, matanya mengedar dan tak sengaja bertemu dengan milik seseorang. Mereka berpandangan cukup lama membuat jantung Cinde berdebar halus. Wajahnya yang di poles sederhana namun terlihat cantik merona saat mengingat siapa orang yang di tatapnya. Semburat merah muncul di pipinya. Cinde baru pertama kali ini merasakan hal semacam ini. Ini benar-benar kejutan yang tidak bisa di duga olehnya. Mata mereka bahkan cukup lama berpandangan hingga kerumunan orang-orang langsung memutuskan kontak mata mereka. Cinde tersenyum kecil, Apa yang terjadi? Kenapa dia bisa seperti ini? Dia tahu apa yang terjadi pada jantungnya karena ini hal yang sungguh mustahil untuknya. Cinde benar-benar tidak paham. Apakah benar jantungnya berdebar karena ulahnya? Suara teriakan mengejutkan mereka bertiga. Mereka memutar tubuhnya ingin melihat apa yang terjadi namun mereka tak bisa melihatnya karena banyaknya kerumuman orang-orang yang menghalangi pandangan mereka. "Padma, Parvati akhirnya kalian datang juga." Cinde mengerjap saat mendengar suara seseorang memanggil kedua wanita yang ada di sampingnya. "Morven aku pikir kau tidak akan mengadakan perjamuan seperti ini." Padma memeluk Morven dengan erat menyalurkan rasa rindunya sebagai seorang sepupu. Mereka memang dekat sejak kecil namun setelah lulus Sekolah menengah Atas mereka berpisah melanjutkan tahap hidup pada tujuan masing-masing. Morven tertawa mendengar Padma si kucing liar, sepupunya. "Aku memiliki janji tertentu pada seseorang. Maka dari itu aku mewujudkan hal ini karena sudah sangat lama tidak bertemu dengannya." "Siapa dia?" "Kau akan tahu nanti jika melihatnya." "Apakah aku mengenalnya?" Morven berpikir. "Sepertinya iya dan tidak." Padma memukul bahu Morven dengan kasar membuat pria itu mengaduh kesakitan. "Astaga kucing liar ku tak pernah berubah." Padma akan memukul Morven sekali lagi tapi pria itu langsung berkelit dan memeluk Parvati sepupunya yang kalem. "Kau semakin tampan saja." "Terima kasih. Bukankah aku memang sudah tampan dari sejak lahir?" "Percaya diri sekali kau ini." Morven tertawa lalu melepaskan pelukannya pada sepupunya. Mulutnya akan terbuka namun matanya tak sengaja melirik seseorang di samping Padma dan Parvati. "Wah siapakah wanita cantik ini?" Mata Morven langsung berbinar melihat sosok wanita cantik dengan rambut hitamnya yang indah itu tersenyum tipis padanya. "Jangan menggodanya atau aku akan menebas p***s mu sampai habis." Ancaman Padma memang slalu mengerikan. Ingatkan Morven, walaupun sepupunya itu memiliki wajah lembut namun prilakunya sungguh sangat membuat orang lain tak menyangka. Parvati tertawa mendengarnya. Padma akan bersikap posesif pada sesuatu yang sudah menjadi miliknya. Terkadang dia pun merasa risih akan perhatian wanita itu padanya. Parvati hanya takut jika dulu patah hatinya Padma menjadikan sepupunya itu berbelok namun ternyata hal itu tidak terjadi. Padma masih normal hanya saja dia tidak terlalu ambil pusing dengan status pria yang ingin mendekati nya. "Aku hanya ingin berkenalan dengannya tidak masuk untuk menggoda, Sister." "Bagus. Ayo, kenalkan dirimu?" Padma menarik Cinde ke hadapan Morven. Cinde mengangguk kaku mencoba bersikap sopan dan mata Morven seketika membulat membuatnya semakin tak nyaman. "Astaga! Kau sangat sopan sekali, Cantik." Morven dengan kurang ajarnya menarik tangan Cinde dan mengecup punggung tangan wanita itu. Cinde yang mendapat perlakuan itu langsung mencengkram lengan Padma merasa tak nyaman akan perilaku sepupu temannya. Padma memukul kepala Morven dengan tangannya. "Kau membuatnya takut bodoh." Morven mendengus lalu tersenyum cerah pada Cinde bahkan tangannya belum dia lepaskan. Cinde mencoba melepaskan tangannya dan berhasil, dia langsung menyembunyikan nya di belakang tubuhnya. Melihat reaksi Cinde, Morven mengerutkan kening. Ada apa dengan wanita ini? Biasanya jika dia bersikap seperti barusan, wanita akan merasa tersanjung namun kenapa sekarang wanita ini seperti enggan bersentuhan? "Dia, Cinde sahabat baruku." Morven akan membalas perkataan Padma namun sosok yang ada di belakang tubuh Cinde, yang menjulang tinggi membuat senyumnya mengembang semakin lebar. "Astaga! Brother. Akhirnya kau datang juga, aku pikir kau tidak akan datang pada perjamuan yang aku lakukan." Padma meringis melihat sepupunya yang begitu lebay menyabut seseorang. Parvati berbalikkan badan dan matanya mengerjap-ngerjap pelan melihat siapa yang ada di depannya sekarang. Dia menarik lengan Padma dengan kasar dan wanita itu mengumpat dengan ucapannya membuat beberapa pria menatapnya dengan banyak pandangan. Parvati mengangguk meminta maaf tanpa berpikir panjang dia langsung menarik sepupunya pergi menjauh bahkan Padma sampai lupa jika dia meninggalkan seseorang. Cinde yang melihat Parvati menarik Padma membuka mulut namun dia menutupnya lagi. Cinde hanya diam terpaku di antara kerumunan pria-pria itu tanpa melakukan apapun. Tubuhnya seakan mati rasa karena dia merasa tak nyaman melihat bagaimana pandang wanita-wanita di sini menatapnya dengan sinis. Cinde mencoba mencari ke sekeliling dimana Padma dan Parvati, kenapa mereka meninggalkannya sendiri? Mata Cinde berkaca-kaca, sungguh dia merasa ketakutan di tinggal sendirian di sini. Dia tak mendengar obrolan apa yang mereka bahas karena yang sekarang itu, bagaimana dia bisa pulang sedangkan dia tidak tahu siapa-siapa di sini? "Tak usah menangis. Kau aman bersamaku di sini." Cinde mendongak dan melihat siapa yang berbicara padanya. Matanya mengerjap. Apakah dia tak salah lihat? Bukankah pria ini yang menolongnya waktu di supermarket? Mata Cinde yang berkaca-kaca sontak menghilang di gantikan semburat merah di pipinya. Sebuah tarikan lembut di lengannya membuat Cinde gelagapan. Dia mencoba melepaskan tangan itu namun yang ada lengannya malah di cengkram. Pikiran negatif langsung bersarang di otaknya. Bagaimana jika dia di perkosa? Bagaimana jika dia di jual? Bagaimana jika dia di bunuh? Pikiran itu terus melayang hingga dia di dudukkan di sebuah bangku. Mata Cinde menatap ke sekelilingnya dengan pandangan kagum. Pria itu duduk di sampingnya sekarang. "Kita belum berkenalan. Namaku Dilip, kau?" Cinde menatap lengan pria itu yang terulur. Dengan malu-malu dia menyambut uluran tangan itu. "Cinde." "Nama yang indah." Cinde tersenyum kaku. Jantungnya berdebar halus membuatnya semakin gelisah. Dilip memperhatikan wajah wanita di sampingnya dengan seksama. Dia tidak tahan untuk berkenalan dengannya dan hal ini spontan menarik tangan wanita itu untuk ikut bersamanya. Entah apa yang terjadi padanya karena baru kali ini dia bersikap seperti ini pada seorang wanita. Biasanya dia akan bersikap tidak peduli, bahkan acuh tak acuh namun sekarang sesuatu mendorongnya untuk mendekat. Walaupun sejujurnya dia memang penasaran dengan sosok wanita ini setelah pertemuan pertama mereka di sebuah kafe itu. Dilip pun mengingat teriakan Jeff yang mengatakan jika dia sedang jatuh cinta, sungguh hal itu membuatnya begitu malu. Jeff memang pria yang memalukan jadi dia tidak akan pernah merasa malu, sedangkan seorang Dilip hal itu begitu jauh dari kehidupannya. Dilip merasakan debaran halus di dadanya menatap wajah indah itu dengan dalam. Wanita ini begitu berbeda! Kecantikannya juga terlihat alami. And what the f**k! Sejak kapan wanita ini berpakaian seperti seorang jalang? Dilip mengeram, tanpa di duga dia melepas jasnya begitu saja lalu memakainya pada bahu mungil itu. Cinde yang sedang mengagumi interior taman itu tersentak saat sebuah jas tersampir di bahunya. "Aku tidak suka cara berpakaian mu. Lebih baik kau tutupi baju itu dengan jas milikku." "Maaf. Apakah aku terlihat jelek memakai pakaian ini?" Dilip memalingkan wajah. Dia lugu atau bagaiman? Jelas saja kecantikan nya bertambah. Si kumal sudah berganti menjadi sosok Cantik yang tidak akan orang lain tahu siapa dia sebenarnya. "Biasa saja. Hanya saja aku tidak suka ada wanita yang berada di sampingku memakai pakaian terbuka. Kesannya kau seperti ingin menggoda ku saja." Mata Cinde membulat. "A-aku ... aku tidak bermaksud menggoda mu, sungguh." Cinde langsung memakaian jas itu untuk menutupi tubuhnya. Namun tak di sangka tangannya menepis wajah Dilip dengan kuat. Wajah Cinde langsung pucat melihat apa yang di lakukan nya barusan. Jantungnya berdetak dengan kuat melihat pria itu memejamkan mata. Cinde meremas jari-jemarinya dengan kuat. Sungguh di hari pertama mereka bertemu dia sudah bersikap kurang ajar. "T-tuan ... maafkan aku. Sungguh aku tidak bermaksud melukaimu." Cinde dengan gemetar mengangkat tangannya lalu meraba wajah putih itu yang terlihat memerah. Dia mengutuk dirinya yang begitu ceroboh. Dilip menghembuskan nafas dengan kasar namun sebuah usapan di pipinya membuat matanya langsung terbuka. Dia meraih tangan kurus itu dan mencengkeramnya dengan kuat. Matanya memandang mata itu yang berkaca-kaca penuh penyesalan. Hatinya seketika luluh melihat itu semua. Dilip menurunkan tangan itu lalu mengancingkan jas miliknya dengan benar pada tubuh wanita itu. "Tunggu di sini." Dilip bangkit berdiri pergi meninggalkan Cinde seorang diri. Cinde mengigit bibir bawahnya lalu memukul kepalanya dengan sebal. Kenapa dia seperti ini? Kenapa hidupnya slalu membuat orang lain terkena masalah? Cinde merasa memang dia wanita pembawa sial bagi orang lain. Seharusnya dia tak memiliki seorang teman, seharusnya dia diam saja pada hidupnya, seharusnya dia tak perlu ingin gaya seperti banyak orang lain, dan seharusnya dia tak usah hidup mengingat hidupnya membuat orang lain membencinya. Cinde bangkit berdiri. Dia berjalan dengan cepat meninggalkan bangku taman itu tanpa mendengar perintah pria itu yang menyuruhnya menunggu. Cinde tidak ingin bertemu banyak orang mulai sekarang. Di hari pertamanya datang ke sebuah pesta saja dia sudah melukai orang lain, bagaimana dengan nanti? Cinde melepaskan alas kakinya. Dia menentengnya, tak peduli jika kakinya terluka. Sekarang yang di butuhkan nya merenungi nasibnya yang kurang beruntung seperti orang lain. Sendiri dan kesepian itulah teman hidupnya. Di sisi lain Dilip berjalan tergesah untuk menemui wanita yang bernama Cinde. Senyuman tipis terukir dari bibirnya, dia merasa cukup senang sudah berkenalan, setidaknya mendapatkan sebuah nama sudah lebih dari cukup. Langkah Dilip semakin cepat namun secepat langkahnya secepat itulah kakinya melangkah pelan. Matanya memandang ke sekitar saat tak menemukan Cinde duduk di bangkunya. Kemana wanita itu? Bukankah dia menyuruhnya untuk menunggu? Dilip mengumpat, padahal dia di dalam hanya beberapa menit untuk berpamitan pada teman-temannya namun sialnya ternyata dia salah meninggalkan wanita itu. Dilip mencoba berkeliling siapa tahu wanita itu sedang menerima telpon namun setelah beberapa menit mencari. Dia mendesah kesal, wanita itu sudah menghilang dari pandangannya. Bahkan Dilip belum sempat berbicara banyak padanya. Sungguh dia tidak ada maksud marah pada wanita itu gara-gara tangannya yang seperti memukul wajahnya. Awalnya memang marah karena baru pertama kali di perlakukan seperti itu namun melihat matanya yang berwarna hazel berkaca-kaca membuatnya tidak tega. Dilip mengusap wajahnya, harus kemana dia mencari? Ada sebuah kesempatan di depan matanya namun dia malah menyia-nyiakan kesempatan itu. Dilip berjalan pergi meninggalkan pesta perjamuan temannya. Dia butuh sendiri, belum lagi pikirannya bercabang kemana-mana. Tak peduli apa yang terjadi nanti yang pasti jika memang mereka di takdir kan untuk bertemu, di sanalah Dilip tidak akan menyia-nyiakannya kesempatan nya lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN