Cinde & Dilip 4

2039 Kata
"Padma?" Ujar Cinde terkejut, saat melihat sosok wanita cantik di hadapannya. "Hey apa kabarmu, Cin?" Tanya Padma dengan senyum manis di bibirnya. "Aku baik, kau?" "Seperti yang kau lihat." Cinde tersenyum pada teman barunya. "Emm sedang apa kau kemari, Padma?" "Memangnya aku tidak boleh bertemu dengan teman baruku?" "Bukan seperti itu. Aku kan sedang bekerja, Mr. Tio pasti akan marah jika aku menemui mu." Padma memutar bola matanya. Tanpa mendengar ucapan Cinde dia menarik lengan kurus itu untuk duduk di depannya. Memang beberapa hari yang lalu Padma menghadiri seminar di luar kota maka setelah pulang dia mampir ke tempat kerja teman barunya. Padma sudah menghubungi Cinde namun tak ada sama sekali jawaban. Dia ingin memberikan kejutan pada teman barunya namun sepertinya gagal. "Jangan pikirkan pria bodoh itu jika dia marah padamu aku yang akan menghadapinya." "Tapi...." "Sudah diam saja lebih baik kita makan siang. Kau sudah makan?" Cinde menggelengkan kepala. "Kenapa? Bukankah ini sudah waktunya makan siang?" Cinde tidak menjawab dia hanya bisa meremas tangannya di bawah meja. Padma yang melihat ke bungkaman Cinde seketika naik darah. Apa salah wanita ini hingga dia di perlakukan tidak baik oleh semua orang? Padma sudah yakin jika dia berteman dengan Cinde akan banyak kebahagian yang dia peroleh mengingat selama hidup tak pernah sekalipun menemukan teman yang tulus padanya. Semua teman-temanya dulu mendekatinya karena dia seorang anak dari Dokter Aswin dan seorang super model Kayla. Dia membenci hal itu, ibunya yang menginginkannya menjadi seorang Model dan Ayahnya menginginkannya menjadi seorang Dokter. Berbangga hatilah Ayahnya karena sekarang anaknya sudah menjadi seorang Dokter. Cinde semenjak bekerja di Kafe milik Mr. Tio dia sama sekali tak mendapatkan jatah makan seperti beberapa karyawan lainnya. Maka dari itu sepulang kerja dia akan memakan bekalnya walaupun telat tapi tidak masalah asalkan dia bisa mengisi perut sebelum lanjut bekerja. Miris sekali hidupnya. Namun Cinde slalu bersyukur mengingat ada yang lebih buruk di banding dirinya sendiri. "Kalau begitu ayo pesan biar aku mentraktir mu." "Tidak. Kau sudah mentraktirku waktu pertama kita bertemu. Bahkan itu sudah menghabiskan ratusan dolar bahkan mungkin ratusan dolar." "Astaga! Kau tidak perlu merasa tak enak. Denganku kau pasti akan gemuk karena aku akan mengajakmu setiap saat untuk makan bersama hahaha." Cinde tersenyum mendengar ucapan Padma. Dia merasa nyaman bersama wanita itu. Menurutnya Padma sosok wanita yang keren dengan profesinya. Padma menarik buku menu lalu memilih apa yang dia inginkan. Setelah mendapatkan apa yang di inginkan nya. Padma mengangkat tangan memanggil seorang waiters yang sedang bertugas di sana. Sang Waiters yang merasa di panggil berjalan dengan memamerkan sebuah senyuman namun saat sudah sampai di meja pelanggan senyumnya menghilang di gantikan delikan tajam pada sosok di depannya. "Tidak usah bersikap kurang ajar pada temanku. Kau itu hanya seorang pelayan, jadi di sini aku ratunya. Aku ingin memesan Daging panggang bumbu kecap, kentang goreng dan Jus Jambu. Kau ingin memesan apa, Cin?" "Ah, aku tidak per- baiklah." Akhirnya Cinde menyebutkan apa yang dia inginkan dan mata Padma yang melotot garang sudah tak terlihat. Tak lama Waiters itu pergi berlalu dengan hentakkan kaki yang membuat Padma jengkel. Ingin rasanya dia menendang kaki itu supaya lebih sopan pada pelanggan. Lihat saja apa yang akan di lakukan Padma nanti. Cinde merasa tak nyaman, teman satu profesinya menatapnya dengan jengkel. Kembali dia merasa bingung karena tidak melakukan apa-apa namun di perlakukan seperti itu. Cinde menghembuskan nafas, sudah biasa semangat hatinya. "Kau memang sering di perlakukan tidak adil oleh temanmu yang lain?" "Tidak. Mungkin saja dia hanya kesal karena teman-temannya istirahat lalu dia harus berjaga." "Kau tidak pandai berbohong, Cinde. Aku tahu jika teman-temanmu yang lain slalu memperlakukanmu tidak baik. Bahkan aku tahu beberapa minggu yang lalu kau di perlakukan tidak baik." "Bagaimana kau bisa tahu?" "Internet sekarang semakin canggih tak ada yang tidak mungkin terjadi, bahkan Video mu sudah tersebar di seluruh media." "Benarkah?" "Memangnya kau tidak memiliki ponsel?" "Aku memilikinya hanya saja tidak ada sosial media seperti apa yang kau katakan." "Kau tidak berniat membeli ponsel keluaran terbaru memangnya?" "Tidak. Bagiku ponsel yang sekarang aku miliki masih berfungsi untuk apa membelinya. Cukup dengan telephone dan sms saja sudah bersyukur." Padma tertegun mendengar jawaban Cinde. Dia merasa malu karena selama ini setiap akhir bulan pemberian orang tuanya slalu di hamburan olehnya hanya untuk memuaskan rasa bosannya. Setiap ponsel keluaran terbaru Padma sering mendapatkannya di saat teman-teman lainnya belum memilikinya. Bagi Padma apapun yang di inginkan nya akan terwujud hanya tinggal berkata aku ingin ini. Besoknya benda itu sudah ada di hadapannya. Entah apa lagi yang akan di dapatkannya nanti selain kesederhanaan yang di miliki oleh Cinde. Rasanya tak sia-sia dia berteman dengan wanita itu. "Semoga kalian menikmati hidangannya." Padma mengerjap. Pesanan nya sudah tersedia di hadapannya. "Terima kasih." "Cinde, kau di panggil oleh Mr. Tio." "Ada apa?" "Mana aku tahu." Waiters itu pergi begitu saja namun sebuah tarikan di rambutnya membuat wanita itu memekik. "Jika kau tak suka pada wanita ini tidak usah berlaga so jadi penguasa. Kau juga sama miskinnya, jadi jangan merasa paling keren di sini. Kau tahu sekarang apapun yang bersangkutan dengan wanita ini itu wajib berurusan denganku. Tak peduli siapapun dia akan aku hadapi." Cinde membulatkan mata. Dia bangkit berdiri lalu menarik tangan Padma untuk melepaskan jambakan itu dari rekan kerjanya. "Padma sudah. Aku tidak apa-apa, lebih baik kita lanjut makan saja." "Aku paling tidak suka jika ada orang yang merasa dia paling keren dari semuanya. Kau bilang pada pemilik Kafe ini untuk bertemu denganku." Padma langsung melepaskan cengkraman nya pada rambut waiters itu yang sudah menangis. Dia langsung pergi berlari meninggalkan mereka. "Dasar cengeng." Padma mendesis sebal. Mood makannya hancur seketika. Dia tadinya datang ingin menceritakan sesuatu pada Cinde tapi ternyata malah menyulut emosi. Cinde meringis melihat wajah Padma yang sudah memerah. Sungguh baru beberapa hari kenal dengan Padma dia sudah tahu jika Padma tidak menyukai hal semacam barusan. Wajahnya yang anggun menutupi ke ganasannya yang membuat tubuh Cinde meremang seketika. "Apa anda memanggil saya?" suara itu membuat Padma mengangkat dagunya. "Kau... Sialan! Ternyata kau pemilik Kafe ini." "Padma. Sedang apa kau di sini?" "Kau bertanya sedang apa? Apa kau menjadi pria t***l setelah putus dariku?" "Padma semua yang kau lihat itu hanya salah paham. Demi Tuhan aku sama sekali tak pernah melakukan hal itu di belakangmu." "Benarkah seperti itu?" "Iya." "Lalu apa yang aku lihat itu salah? Apa itu masih di katakan salah paham?" wajah Tio seketika memucat. Padma sudah tak bisa mengontrol emosinya. Jika tahu Tio pemilik Kafe ini tak akan pernah sudi dia meminta waiters itu untuk memanggilkan sang pemiliknya. "Selama kita berpacaran hampir 3 tahun apa yang aku dapatkan darimu? Bahkan untuk mencium bibirmu terkadang aku slalu mendapatkan tamparan darimu." "Hahaha aku bersyukur sekali Tuhan memberikan pencerahan padaku saat itu. Jika saja aku masih dengan pendirian ku, entah apa yang terjadi karena ternyata aku salah memilih laki-laki yang seharusnya mencintaiku dengan tulus malah mendapatkan laki-laki yang memiliki nafsu bejadnya." "Kau tidak usah munafik, Padma. Sebenarnya kau pun ingin merasakannya namun hati konyol mu slalu mengalahkan pikiranmu." Padma mengepalkan tangannya dengan kuat. Tio adalah pacar pertamanya saat itu. Hanya saja karena kejadian yang mengenaskan itu membuatnya membenci pria b******n seperti Tio. Padma merasa jika semua yang sudah dia berikan dengan penuh cinta itu berakhir sia-sia karena hanya sebuah nafsu yang menguasai pikiran pria itu. "Sudahlah. Kisah itu sudah ada di jaman dulu dan semuanya telah berubah. Kau benar aku memang munafik tapi ke munafi kan ku membuahkan hasil yang tidak mengecewakan hidupku di masa depan." "Kau..." Padma memejamkan mata saat tangan Tio terangkat. Sebuah kulit bertemu kulit terdengar menyakitkan. Namun Padma tak merasakan apapun di pipinya. Dia membuka mata dan saat itu matanya membulat melihat tubuh Cinde yang sudah tersungkur di lantai. "b******n kau, Tio. Aku bersumpah tidak akan pernah memaafkan kau seumur hidupku. Aku berharap karma mendatangimu lebih menyakitkan dengan apa yang kau lakukan padaku dan wanita ini." Tak ada hujan tak ada angin suara gelegar petir terdengar kencang sampai menggetarkan kaca Kafe itu. Padma berjongkok membantu Cinde untuk berdiri. Dia melihat pipi Cinde berubah menjadi warna merah. Padma meringis melihatnya. Bagaimana Cinde melakukan hal itu untuk melindunginya? "Kau tidak apa-apa, Cin?" "Aku baik-baik saja." Cinde berdiri dengan rasa nyeri di pipinya. Jantungnya berdebar keras membuatnya menekan d**a. "Kau memang laki-laki b******k, Tio." ??? "Padma, sudah. Aku tidak apa-apa, ini hanya sebuah tamparan." "Kau ini. Bagaimana bisa kau berkata itu hanya sebuah tamparan? Aku minta maaf. Jika saja bukan karena ku, kau tidak akan mendapatkan hal ini." "ya ampun tidak apa-apa, Padma. Aku yang kena tamparan kenapa kau yang malah menangis?" Padma mencubit lengan Cinde dengan sebal. Siapa yang tidak menangis jika temannya yang malah mendapatkan luka fisik hanya gara-gara mantan sialannya itu. Padma berjanji akan membalas pria itu, seenaknya melakukan kekerasan pada seorang wanita. Padma masih ingat peristiwa beberapa tahun yang lalu. Tahun dimana saat itu dia baru merasakan cinta pertamanya dan kesakitan sekaligus. Padma tak akan bisa melupakan apa yang sudah pria b******k itu lakukan padanya. Jika Cinde tidak menariknya tadi dari sana sudah dia gampar bulak-balik di pipi pria b******k itu. Cinde mengusap punggung Padma yang menangis seseguk kan bahkan maskara nya sudah cemong kemana-mana. Dia tidak bisa melakukan apapun karena tidak tahu apa yang terjadi antara teman barunya bersama bosnya. Cinde hanya bisa menarik lengan Padma saat wanita itu sudah akan mengamuk. Dia tidak ingin reputasi Padma rusak gara-gara hal semacam ini. Untuk urusan pribadi mereka itu bukan urusannya. "Cinde sekali lagi aku minta maaf atas kejadian ini?" Padma menggenggam tangan Cinde dengan erat. Dia merasa sangat bersalah melihat pipi Cinde bengkak berwarna merah, sudut bibirnya pun berdarah. "Tidak apa-apa, Padma. Aku hanya khawatir jika reputasi mu hancur hanya karena masalah ini. Seharusnya aku yang minta maaf karena gegabah menarik mu." "Tidak. Kau sudah berjasa padaku karena menarik ku dari sana. Jika tak ada kau entah apa yang sudah aku lakukan pada pria b******k itu." Kepala Cinde mengangguk. Padma menghembuskan nafas. "Lebih baik kau bekerja di tempat sepupuku saja tidak usah bekerja di tempat pria b******k itu," "Aku tidak bisa." "Kenapa?" "Aku berhutang budi pada Mr. Tio beberapa tahun lalu. Maka dari itu aku tak bisa berhenti begitu saja." Padma melempar kotak tisu yang ada di atas pangkuannya. "Hutang budi seperti apa yang pernah dia lakukan untuk menolong mu?" Cinde menatap Padma dengan mata sayu. Kepalanya menunduk, apakah dia akan menceritakan masa lalunya? Kepala Cinde menggeleng. "Cinde, kau tidak usah merasa canggung padaku sekarang aku adalah temanmu. Teman yang dimana slalu berbagi duka, bahagia, sedih dan semuanya. Kau tidak usah takut jika aku akan mengkhianati mu. Hal itu tidak akan pernah terjadi, aku berjanji." Padma mengangkat tangannya lalu mengulurkan jari kelingking pada Cinde. Cinde medongak menatap mata Padma yang terlihat serius tak ada kebohongan di sana. Cinde dengan ragu mengangkat jari kelingkingnya lalu menautkan nya. "Kita akan slalu berbahagia dengan cara kita. Kau tidak perlu khawatir karena aku akan menutup mulutku dengan rapat. Tapi jika kau belum siap bercerita aku tidak akan memaksa." Cinde menarik nafas dengan dalam, dia menggenggam tangannya yang saling bertautan. "Mr. Tio pernah menyelamatkanku yang hampir di perkosa oleh segerombolan pria mabuk. Aku berhutang nyawa karena Mr. Tio mendapatkan luka yang cukup dalam setelah menyelamatkanku, dari itu aku tak bisa keluar begitu saja. Aku sangat berhutang budi jika tidak ada Mr. Tio entah apa yang akan terjadi padaku saat ini." Padma menutup mulut, dia langsung memeluk tubuh ringkih Cinde dengan erat. "Maafkan aku, Cinde. Aku sudah membuka masa kelam mu," "Tidak apa-apa. Aku malah sekarang merasa lega setelah menceritakan itu." "Biarkan aku membantumu untuk keluar dari Kafe itu?!" "Tidak, Padma. Aku merasa sekarang hutang budiku bertambah pada orang-orang baik seperti kalian." Padma melepaskan pelukannya lalu menatap tajam mata Cinde membuat wanita itu gugup seketika. "Aku lebih baik kau berhutang budi padaku, Cinde. Di banding kau harus berhutang budi pada pria b******k itu." "Tapi ak-" "Sudah diam. Biar aku yang urus semuanya, aku akan berbicara pada Darshan supaya kau bekerja di sana seperti yang lainnya. Walaupun sekedar cleaning servis hal itu lebih keren di banding kau bekerja pada si b******k Tio." Cinde tak berkata, dia bingung akan mengatakan apa. Padma sudah terlalu banyak membantunya selama mereka berteman. Dia pun tidak mungkin keluar dari Kafe itu mengingat jasa pria itu padanya. Lalu apa yang harus di lakukan nya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN