"Kau kenapa, Dilip? Aku perhatikan beberapa hari ini kau sering melamun?" Jeff duduk di depan Dilip yang memang akhir-akhir ini dia sering merasa sahabatnya itu semakin menutup diri.
"Sedang apa kau kemari?"
"Ck! Aku mendapatkan telefon dari Sekretaris mu jika beberapa hari ini semua pekerjaanmu hancur berantakan karena kau sering kedapatan melamun. Bahkan tender yang seharusnya kalian dapatkan malah di dapatkan oleh perusahaan lain. Kau ada masalah dengan kerajaan?"
"Tidak ada."
"Astaga! Bener kata Nicole kalau kau sepertinya tak memiliki banyak kata selain tidak ada."
"Jika kau ingin menggangguku lebih baik enyah lah dari hadapanku."
"f**k! Kau memang sahabat brengsek."
"Jika sudah tahu kenapa kau masih mengomel?" Jeff berdecak. Baiklah! Dia memang yang paling menyebalkan dari kelima sahabatnya.
Namun sekarang sifat menyebalkan nya di emban oleh Dilip. Entah apa yang di pikiran oleh pria itu karena tender yang seharusnya di dapatkannya malah dia relakan begitu saja pada perusahaan lain. Oke! Jeff tahu tanpa perusahaan yang di bangun oleh Dilip pun, pria itu tidak akan pernah kekurangan mengingat dia seorang putra mahkota yang sebentar lagi akan di angkat menjadi seorang Raja. Jeff sudah tahu bagaimana hidup Dilip karena mereka berenam bersahabat dari masa kecil.
Dilip memijat kening yang semakin membuat kepalanya berdenyut. Dia ingin berteriak sekarang juga, entah apa yang membuatnya beberapa hari ini uring-uringan tidak jelas. Bahkan sekretaris dan asisten pribadinya mendapat bentakan dan cacian dari mulutnya. Dilip mengacak rambut sebal dengan tingkahnya yang seperti bukan dirinya.
"Jika kau tetap bungkam aku akan menghubungi, Theo. Dia pasti tahu sesuatu tentangmu beberapa hari ini." Dilip mendongak lalu mendelik pada pria menyebalkan itu.
"Kau itu memang tak bisa sehari saja untuk tidak membuatku kesal sepertinya tidak bisa."
"Memang. Apakah aku salah berbuat menyebalkan?"
"Pria tak tahu diri."
"yah, it's me." Dilip memejamkan mata lalu menarik nafas untuk menetralkan perasaanya yang tidak karuan.
Jeff menatap perubahan wajah Dilip dengan seksama dan mendalam. Senyuman mengejek terukur dari bibirnya lalu sebuah kekehan terdengar menyebalkan di telinga Dilip. Dilip tahu jika Jeff bisa menebak wajah semua orang hanya menatapnya sebentar dan hal itu slalu membuat kelima sahabatnya mendengus jengkel karena tak ada yang bisa di rahasiakan dari pria itu.
"Jika kau memang tertarik pada wanita itu lebih baik dekati dia secara perlahan. Kau tidak akan mungkin diam saja seperti ini, kan? Wanita itu tidak akan datang padamu begitu saja selain kau yang mendatanginya."
"Kau itu bilang apa, sih?"
"Kau tidak bisa berbohong, Dilip. Aku tahu kau mulai tertarik pada wanita kumal itu." mata Dilip melotot tajam pada Jeff. Yang di plototi tertawa terbahak.
"Mungkin riwayat hidup wanita itu yang membuatmu merasa ini sebuah tantangan. Kau jangan bersikap b******n, ingat kau seorang calon Raja yang akan menggantikan Ayahmu nanti. Jangan sampai ada scandal dalam hidupmu karena hal ini bisa membuat rakyatmu tidak suka padamu." Dilip mengangguk kaku. Perkataan Jeff memang ada benarnya.
Selama dia menjadi seorang pengusaha tak pernah sama sekali dia melakukan kesalahan. Dia tidak ingin di suatu saat scandal itu muncul tanpa bisa di cegah. Dilip sudah melanggar protokol istana dengan berkeliaran di luar istana menjadi seorang pengusaha. Orang tuanya hanya memiliki dua anak, adiknya Dolores memilih kuliah di luar negeri tanpa mau ikut serta hidup di kerajaan. Ayahnya bahkan mengutuk kedua anaknya yang menyebalkan demi berkeliaran bebas tanpa memikirkan kelanjutan bagaimana kerajaan.
Dilip hanya ingin menghirup kebebasan tanpa harus terkekang di dalam istana yang membuatnya jengah. Belum lagi dia tak bisa sebebas sekarang yang bisa keluar masuk tanpa di sengani sebagai seorang pangeran. Semua orang tahu dirinya hanya sebagai Pengusaha terkaya di negara itu bukan seorang pangeran. Tak ada yang tahu putra putri Raja dan Ratu karena kedua anaknya sedari kecil di tutupi dari luar. Jadi saat menginjak usia 17 dia memilih keluar dari istana, pulang pun hanya jika sang Ibunda merindukannya. Jika Ibundanya tidak menelepon dia tak akan datang.
Dilip merasa hidupnya lebih senang seperti ini. Di usianya yang sudah hampir menginjak kepala tiga sudah di pertanyakan oleh orang tuanya kapan dia akan menikah? Kapan dia akan membawa calon menantunya? Entahlah Dilip belum terpikirkan ke sana. Beberapa bulan yang lalu orang tuanya ingin menjodohkannya dengan seorang putri dari negri sebrang. Hell! Memangnya dia tidak bisa memilih calon istri idamannya. Dilip tahu reputasi putri negri sebrang dan dia tidak akan mungkin gegabah mengiyakan jika tidak mencari tahunya.
"Aku tahu jika orang tuamu sudah menghubungimu beberapa bulan yang lalu, bahkan kau akan di jodohkan dengan putri sebrang yang bernama putri Feronia." Dilip menoleh ke arah Jeff.
"Aku tahu kalian pasti akan mencari tahu apa yang terjadi pada hidupku,"
"Kau terlalu menutup dirimu, Dilip. Selama ini kau hanya mengiyakan tanpa berkata. Memangnya apa susahnya kau berkata, apakah kau hanya memiliki kata Tidak dan Ya?"
"Jeff, kau tahu jika itu bukanlah sifat ku yang terlalu cerewet sepertimu."
"Benarkah? Lalu bagaimana dengan seorang pria yang membantu seorang wanita mengambilkan sebuah botol shampoo dan sabun mandinya di atas rak?" Dilip menoleh kaget ke arah Jeff namun dengan cepat dia menetralkan kembali wajahnya.
"Memangnya siapa?"
"Ah mungkin aku salah lihat saat itu tapi aku yakin kedua orang yang berlawanan jenis itu akan bersatu suatu saat nanti." Jeff meraih rokok yang ada di depannya. Dia mengambil satu batang dari bungkusnya lalu menyalakan korek api. Tak berapa lama asap keluar dari mulut dan hidungnya.
"Kau bisa merokok di balkon, Jeff. Ac milikku sedang menyala dan hal itu tak baik jika harus ku hirup."
"Kau sangat sombong sekali, Dude. Bahkan aku tak yakin itu alasannya." Dilip mengumpat dalam hati dengan kelakuan Jeff.
Pengacara Sialan! Runtuk hatinya sebal. Percuma mereka merahasiakannya karena Jeff si pengacara b******k itu akan tahu sekecil apapun yang mereka rahasiakan.
"Sudah tidak usah mengumpat di dalam hati, lebih baik kita makan siang. Aku sudah menghubungi yang lain." Jeff bangkit dari duduknya tak lupa mematikan rokoknya di asbak.
Dilip meraih ponsel lalu ikut bangkit menyusul langkah Jeff yang sudah lebih dulu berlalu. Dilip menatap Asisten dan Sekretarisnya memberikan pesan jika untuk beberapa jam ke depan dia tak akan kembali dan keduanya mengangguk. Dilip pun menyuruh Ares dan Carden untuk beristirahat makan siang lebih awal, keduanya membalas Dilip dengan senyuman. Dilip masuk ke dalam lift dan tak lama benda kotak transparan itu membawanya turun dari gedung kantornya.
"Sepertinya Ares dan Carden memang pria yang bisa di andalkan selama ini." Jika bersama Jeff tidak akan ada ketenangan karena pria itu tak menyukai rasa sepi. Pasti akan banyak yang menjadi objeknya untuk di bicarakan.
"Kau lupa jika Carden dan Ares pilihanmu dan ke-empat lainnya?"
"Aku lupa. Biasanya aku akan membantu mencarikan seorang Asisten dan Sekretaris, cantik dan sexy, baru kali ini ada seseorang yang minta laki-laki. Hanya Ares dan Carden yang masuk kriteria mu."
"Jika kau memang sudah tahu. Bisakah kau diam untuk beberapa menit ke depan?"
"Kau ini memang pria menyebalkan." Namun Jeff melakukannya tanpa ada kegaduhan selama mereka perjalanan untuk makan siang.
???
"Kau kenapa lagi, Jeff?" Tyson menatap Jeff yang cemberut, bahkan dia duduk dengan sembarangan membuat meja di depan nya terantuk kakinya.
"Bayangkan selama beberapa menit yang lalu aku hanya terdiam tak bisa melakukan apapun. Demi Tuhan! Kenapa Tuhan menciptakan manusia semacam Dilip, sih!" Theo, Tyson, dan Nicole meringis mendengar umpatan Jeff yang begitu lantang.
Dilip datang paling akhir lalu duduk di samping Tyson. Mereka saling berpelukan ala pria lalu Theo berinisiatif untuk memangil Waiters. Jika Jeff dalam keadaan yang kurang baik, siapa lagi yang bisa membuat pria itu kesal sendiri selain Dilip.
"Ingatkan aku untuk tidak hanya berdua pergi bersama dengan Dilip."
"Sudahlah, Jeff. Kau sudah tahu kan kalau Dilip itu hanya memiliki kata Ya dan Tidak. Jadi diam lah tak perlu banyak bicara dan tarik kedua sudut bibirmu, kau begitu menggelikan." Nicole berkata dengan sinis membuat Jeff memutar bola mata.
Percakapan mereka berhenti saat seorang waiters datang memberikan menu. Mereka sibuk dengan pilihan yang sekarang ada di hadapan mereka. Hanya ke heningan yang terjadi di meja mereka, selain keributan di sekitarnya tak membuat ke-lima nya mengalihkan perhatian. Hanya beberapa menit mereka sudah menyebutkan keinginan mereka dengan menu yang berbeda. Writers itu berpamitan dengan wajah malu-malu saat melihat kerlingan dari mata Jeff.
Tuk!
"Awww." Jeff meringis saat mendapatkan jidat kan dari Nicole.
"Berhentilah untuk mempermainkan seorang perempuan."
"Kenapa? Itukan hak ku sebagai manusia!"
"Aku pikir kau hanya tahunya menunggangi wanita tanpa pernah berpikir cara manusia." Celetukan Dilip membuat Jeff mendengus.
"Kau ingin balas dendam padaku karena aku mengatakan untuk tidak membuat scandal?"
"Tak ada alasan semacam itu." Dilip berkata dengan wajah menunduk memainkan ponselnya.
Tyson yang ada di antara dua orang merenggangkan kedua tangannya supaya keduanya berhenti. Dia merasa kupingnya slalu panas. Jika bukan Nicole dengan Jeff pasti akan ada gantinya Jeff dan Dilip. Tyson sebagai pria yang mencintai ketenangan terkadang merasa terganggu dengan keributan para sahabatnya.
"Bisa tidak kalian berhenti untuk sementara waktu?"
"Tidak!" Kedua pria itu berkata dengan berbarengan.
"Biarkan saja, Tyson. Seenak mereka saja aku sudah tak mau ikut campur." Theo berkata dengan sinis.
Tyson menghembuskan nafas. Perkataan Theo benar, biarkan saja karena nanti pun mereka akan kembali pada ke warasannya. Mereka akhirnya terdiam hingga beberapa menit menu pesanan mereka sudah tersaji di atas meja.
"Mari makan." Jeff berteriak tidak tahu malu membuat beberapa pengunjung menoleh pada meja mereka.
Theo, Dilip, Nicole dan Tyson pura-pura sibuk dengan makanan milik mereka. Mereka meruntuki sifat Jeff yang sering membuat mereka malu dengan tingkahnya. Namun jika hal ini sering terjadi mereka sudah memiliki senjata masing-masing untuk menghindar. Sang pelaku dengan tenang makan dalam diam, sama sekali tak terganggu dengan lirikan sinis dari para sahabatnya. Mereka terkadang sering berpikir di waktu yang bersamaan, Kenapa mereka memiliki teman seperjuangan seperti Jeff?