"Padma kita akan pergi kemana?" Padma tersenyum lebar menampilkan giginya yang rapi.
"Kau diam saja nanti juga akan tahu."
"Tapi aku-"
"Duh kau itu cerewet juga ternyata. Aku kira kau wanita pendiam." Cinde langsung terdiam. Padma benar, sejak kapan dia menjadi wanita cerewet?
Padma tahu pasti Cinde memikirkan perkataannya barusan. "Tidak usah di hiraukan aku hanya bercanda. Lagian aku lebih senang kau yang cerewet di banding diam saja. Kesannya aku malah berbicara dengan seorang patung."
"Kau ini hahaha." Cinde tertawa pelan membuat Padma tertegun.
Untuk pertama kalinya dia melihat tawa Cinde yang begitu lembut. Astaga! Bahkan dia saja jika tertawa seperti pria yang menggelegar. Darshan bahkan sering mengatainya wanita preman karena wajah lembut tapi bersifat layaknya seorang pria. Padma pun mengakuinya karena memang hal itu benar adanya. Dia hanya memiliki wajah lembut namun sifat dan sikapnya bertolak belakang dengan wajahnya.
"Bagaimana dengan pekerjaanmu?" Cinde menoleh.
"Seperti biasa."
"Bisa tidak kau ceritakan lebih mendetail? Jangan jika di tanya kau akan menjawab hanya seupil seperti itu."
"Maksudku ... aku ... bagaimana yah aku menceritakannya. Aku bingung harus menceritakan apa karena memang di dalam pekerjaanku hanya mengepel, menyapu, membersikan kaca dan membereskan beberapa ruangan yang memang sudah di pakai untuk di bersihkan."
"Apakah pekerjaan itu berat untukmu?"
"Awalnya iya aku mengalami kesulitan. Namun seiring berjalannya waktu aku menikmatinya, lagi pula masih banyak orang yang ada di bawah takdir hidupku." Padma tertegun.
Cinde memiliki pemikiran yang dewasa. Sedangkan dia yang umurnya sudah dewasa masih berpikiran layaknya anak kecil. Padma merasa malu pada Cinde. Wanita itu menikmati hidupnya dengan bahagia tanpa adanya keluhan sama sekali. Bahkan di perlakukan tidak baik pun dia hanya diam lalu meminta maaf.
Cinde menatap jalanan di depannya. Entah akan di bawa kemana oleh Padma. Cinde heran, apakah Padma tidak memiliki jadwal di rumah sakit? Biasanya seorang Dokter akan lebih sibuk dari orang sibuk. Cinde ingin bertanya hanya saja itu bukan urusannya. Dia tidak ingin terlalu jauh ikut campur, takut jika Padma risih akan pertanyaannya. Beberapa hari yang lalu Padma membantunya keluar dari Kafe tempat dimana dia mengais rezeki.
Awalnya Tio tidak terima dengan keputusan yang di ambil oleh Padma. Cinde hanya diam karena memang Padma mengatakan untuk tidak ikut campur urusannya. Tio menatapnya dengan tajam seakan ingin membelah tubuhnya dengan sadis. Cinde sudah berkata pada Padma untuk tidak melakukan apa-apa tapi wanita itu kekeh dengan ke inginnya. Cinde yang tidak ingin semakin menambah masalah dengan teman barunya akhirnya menyetujuinya. Walaupun harus mendapatkan tatapan penuh kebencian dari mantan bosnya.
Belum lagi Padma menampar dua kali pipi Tio lebih kencang dari yang dia dapatkan. Padma mengutuk, menyumpah bahkan dia mengatakan kata-kata kasar yang membuat semua pengunjung menatap meja mereka. Memang Padma tidak ingin berbicara di ruangan milik pria itu katanya bisa saja mereka di beri kelicikan. Jika banyak orang yang melihat otomatis Tio tidak akan melakukan sesuatu yang akan membuatnya rugi sendiri.
Cinde merasa di hargai untuk pertama kalinya. Merasa di sayangi, merasa di kasihi, merasa memiliki seorang pelindung di dalam hidupnya. Padma sudah banyak membantu, bahkan dia meminta pada saudaranya untuk menjadikanya karyawan di sana. Darshan awalnya menatap Cinde dengan pandangan seakan menuduh namun pukulan di kepala pria itu membuatnya langsung mengangguk cepat. Bukan hanya kasar tapi Padma pun berlaku seperti preman.
"Sampai." Cinde mengerjap lalu menoleh ke samping. Matanya membulat saat tahu kemana mereka pergi.
"Ayo turun?"
"Tunggu?"
"Kenapa?"
"Untuk apa kita datang ke sini?"
"Untuk apa lagi selesai berbelanja."
"Padma, kau tahu kan kalau aku belum gajian. Lagi pula sekarang aku hanya mendapatkan satu gaji dan itu tidak akan cukup untuk kebutuhanku sebulan ke depan."
"Aku yang traktir." Cinde menggeleng dengan tegas.
"Aku berteman denganmu bukan ingin mendapatkan traktiran Padma. Ini salah dan aku rasa lebih baik kita pulang saja." Padma mendengus lalu meraih wajah Cinde untuk menatap matanya.
"Aku mengajakmu ke sini memang untuk berbelanja dan lagi aku harus meminta pendapatmu tentang pakaian apa yang cocok untukku pakai nanti."
"Memangnya kenapa kau meminta pendapatku? Fashion kau dan aku saja begitu tidak seimbang. Kau wanita modis sedangkan aku hanya seperti ini."
"Sudah ayo kau ikut saja." Padma langsung keluar dari dalam mobil, membuka pintu mobil sampingnya lalu menarik Cinde untuk keluar.
Langkah Cinde terseok saat kaki Padma melangkah dengan cepat. Cinde terlihat meringis melihat kaki jenjang Padma di balut sepatu tinggi yang haknya lancip. Apakah dia tidak takut ke seleo? Mereka masuk ke dalam sebuah butik dan saat itulah mata Cinde mengerjap takjub melihat banyaknya dress yang terpampang di sana. Dia jadi membayangkan jika salah satu itu terpakai padanya pasti akan terlihat cantik.
"Kau sudah datang rupanya Padma."
"Oh good! Kau semakin cantik saja Parvati."
"Kau bisa saja. Kau pun tak kalah cantiknya dariku." Kedua wanita itu saling berpelukan membisikan kata rindu yang mendalam.
Cinde hanya diam menatap keduanya. Mungkin mereka sahabat lama pikirnya. Padma melepaskan pelukannya lalu menarik tangan Parvati untuk mengikuti langkahnya.
"Nah Pari. Kenalkan dia sahabatku namanya Cinde?" Padma mengenalkan Parvati pada Cinde.
Cinde mengangguk gugup melihat tatapan tajam wanita itu padanya. Rasa tak nyaman membuat tubuhnya meremang seketika.
"Tak usah menatapnya seperti itu, Pari. Dia bukan seperti teman-temanku beberapa tahun lalu." Parvati tidak menggubris ucapan Padma. Dia menatap Cinde dari atas sampai bawah dan seperti itu beberapa kali.
"Kau wanita cantik Cinde. Hanya saja kepercayaan dirimu dan bajunya yang kumal membuatnya tertutupi oleh kejelekannya."
"Apa aku bilang. Sahabatku ini memang cantik, hanya saja kepercayaan dirinya begitu rendah membuatku gemas melihatnya." Parvati tersenyum lalu memeluk Cinde dengan erat.
"Kau beruntung karena baru kali ini Padma membawamu kepadaku." Padma tersenyum dengan lebar melihat Parvati yang menerima Cinde dengan tangan terbuka. Padma yakin ada banyak orang yang akan menyukai Cinde, hanya saja wanita itu terlalu menutup diri.
Cinde hanya diam tak melakukan apapun, dia merasa ini itu mimpi baginya. Cinde merasa apa yang baru saja di alaminya itu hanya halusinasinya saja. Mendapatkan teman baik semacam Padma yang tanpa malu memperkenalkan dia pada temannya seperti sebuah mimpi. Sungguh Cinde tidak bisa mengatakan apa-apa selain terdiam dengan wajah bodohnya.
Parvati melepaskan pelukannya lalu mengusap wajah tirus milik Cinde. Dia mengamati wajah wanita itu yang bersih tanpa sapuan make up sama sekali. "Kau cantik dengan kesederhanaan mu. Aku yakin hidupmu akan lebih baik lagi setelah mengenal Padma dan aku berharap kalian akan slalu bersahabat sampai keturunan kalian kelak."
Padma berseru kegirangan. "Hal itu harus di lakukan. Jika suatu saat nanti anakku seorang laki-laki dan anak dia perempuan, aku akan menjodohkan mereka supaya persahabatan kami semakin terikat."
"Jangan bermimpi terlalu jauh, Nona. Jangankan memiliki anak, calon suami pun kau tak memilikinya." Padma mendengus mendengar ucapan judes dari Parvati.
"Ah yah kenalkan aku Parvati saudara dari wanita Bar-bar itu." Parvati mengulurkan tangan, Cinde menatap tangan itu beberapa detik hingga dia menyambutnya.
"Cinde."
"Hanya itu namamu?" Cinde mengangguk namun menggeleng.
Padma dan Parvati mengerutkan kening, "Cinde Atara Aubree."
"Kau ... astaga! Kenapa kau menyebalkan sekali, heh? Dulu saat kita bertemu kau hanya mengatakan Cinde tanpa ada nama lengkapnya. Kenapa sekarang kau mengatakan nama lengkap mu pada, Parvati? Kau curang."
"Bukan begitu. Aku han-"
"Sudahlah Padma. Kau ini seperti anak kecil saja, waktu kita terbatas. Jangan menyia-nyiakan waktuku demi kau yang merengek manja pada Cinde." Padma memutar bola mata lalu membalikkan badannya tak lupa menghentakkan kaki dengan kesal.
Cinde yang melihat Padma tak enak hati. Dia pun meruntuki mulutnya karena sudah mengenalkan namanya secara lengkap. Karena baru kali ini dia menyebutkan nama lengkapnya. Cinde menatap punggung Padma yang menjauh, dia harus meminta maaf pada wanita itu. Cinde akan menyusul Padma namun lengannya di tahan.
"Sudah biarkan saja. Padma memang sering melakukan hal konyol seperti itu. Jadi kau sebagai sahabatnya tidak perlu merasa bersalah padanya. Ayo kita masuk, waktu kita hanya sebentar."
???
"Ya ampun! Kau cantik sekali Cinde." Padma berteriak kencang saat Cinde keluar dari balik tirai.
"Sudah aku katakan kau cantik. Aku yakin di pesta nanti pasti banyak orang yang akan menatapmu dengan pandangan iri." Cinde merasa risih saat Padma menatapnya dengan dalam.
Dia merasa jika ini bukan dirinya. Dress yang di pakainya pun terlihat sangat ketat, menampilkan lekuk tubuhnya yang bersembunyi di kaosnya yang usang. Rambutnya yang sering di gelung sekarang tergerai dengan gelombang di bawahnya. Wajahnya yang pucat sekarang terlihat lebih hidup, belum lagi bibirnya di olesi lipstick berwarna merah. Semua sosok kumal yang melekat di dalamnya sudah hilang di gantikan wanita cantik mempesona.
Padma benar-benar tidak percaya jika itu adalah Cinde. Dia merasa tidak mengenali wanita itu melihat sekarang Cinde terlihat hidup. Tanpa ada sosok kumal yang di lihatnya. Tapi Padma rasa walaupun Cinde kumal dia terlihat cantik dengan kesederhanaannya.
"Sebenarnya kita akan kemana? Kau bilang, kau yang akan belanja, kenapa malah aku yang di permak seperti ini?"
"Heheh maaf, maaf. Sebenarnya aku ingin mengajakmu ke pesta perayaan kantor sepupuku. Karena aku tidak memiliki pasangan sepertinya lebih baik aku mengajakmu."
"Pesta?"
"Ya."
"Bisakah aku kembali ke awal? Aku merasa tidak ingin pergi ke sana Padma." Padma memutar bola matanya. Padma terlihat semakin cantik dengan gaun hitamnya yang melekat indah di tubuhnya. Rambutnya yang sepunggung di gelung meninggalkan anak poni mempercantik wajahnya.
"Ck! Ini awal permulaan kau untuk percaya diri Cinde. Jika kau berada di lingkaran itu terus menerus semuanya tidak akan pernah bisa maju. Aku menjadi temanmu bukan karena ingin merubah mu. Aku hanya ingin mengenalkan bagaimana kehidupanku supaya kau nyaman jika aku mengajakmu ke suatu acara."
"Aku ...."
"Hey, hey, hey kenapa kau malah menangis? Kau itu menyebalkan sekali. Parvati sudah merias mu beberapa jam dan kau mengacaukan semuanya dengan tangisanmu yang jelek itu." Cinde mengusap air matanya yang ada di sudut pipinya.
Padma memeluk Cinde mengusap punggung itu mencoba menangkan. "Aku sudah menganggap mu lebih dari seorang teman Cinde. Walaupun kita baru kenal beberapa minggu tapi aku merasa jika kita sudah sangat lama mengenal. Aku berharap ke depannya kita akan seperti ini. Mulai sekarang jangan pernah menyembunyikan sesuatu di antara kita. Kita harus saling terbuka untuk mencari solusinya, nyaman kan dirimu jika aku adalah sahabatmu."
Cinde mengangguk di dalam peluk kan Padma. Dia beruntung mendapatkan teman seperti Padma. Baru kali ini ada seseorang yang berkata dengan tulus. Cinde merasa rendah diri jika berhubungan dengan Padma, mengingat dia bukan wanita kalangan atas. Jangankan kalangan atas tahu orang tuanya saja dia tidak tahu sama sekali.
Parvati keluar dari ruangan miliknya dengan rapih. Alisnya naik sebelah melihat Padma dan Cinde berpelukkan. Dia bergerak lalu ikut memeluk mereka. Cinde berada di tengah-tengah membuat tubuh Kecilnya tertelan.
"Menyebalkan. Kenapa kalian berdua malah menangis, hah? Tidak tahukah kalau aku susah mendandani kalian berdua? Bahkan aku harus terakhir yang berdandan dan kalian dengan brengseknya merusak make up usahaku?" Parvati melepaskan pelukannya lalu berkacak pinggang.
Padma ikut melepas pelukannya, dia ikut berkacak pinggang. "Memangnya siapa yang mau merusak make up mu, bodoh? Kau tidak lihat jika make up mu baik-baik saja. Lagi pula kita tidak menangis, kita hanya merasa terharu saja."
"Sama saja."
"Yak, kau tahu terharu dan menangis dalam artian yang berbeda. Kau itu sekolah di luar, kenapa bodoh sekali tanpa bisa membedakan sebuah kata?!"
Tuk!
"Awwww ... kenapa kau mengetuk keningku?"
"Karena aku mau." perdebatan itu terus berlanjut.
Cinde melihatnya tersenyum. Dia bersyukur bisa bertemu dengan Padma dan Parvati. Dia merasa jika mulai sekarang hidupnya tidak akan seperti dulu. Cinde berjanji di dalam hati untuk tidak mengecewakan orang-orang yang ada di sekitarnya. Berharap jika memang ini bahagianya walaupun hanya sebentar tidak apa, yang terpenting dia sudah merasakannya.