Elaine mengangguk perlahan, meskipun di dalam dirinya terasa seperti ada badai yang bergemuruh. “Siapkan semua yang diperlukan. Saya akan tangani pasien ini sendiri.”
Perawat itu sempat ragu, tapi akhirnya mengangguk dan meninggalkan ruang UGD.
Elaine berdiri sendiri di ruangan itu, menatap pria yang kini tidak lagi tampak seperti monster di masa kecilnya, melainkan hanya seorang manusia yang rapuh. Namun, luka yang ia tinggalkan di hati Elaine tidak pernah sembuh.
“Ini adalah caramu meminta maaf, Ayah? Dengan kembali ke hidupku seperti ini?” gumamnya lirih, suara yang hanya didengar oleh dirinya sendiri. Dia tidak tahu apakah ini sebuah awal baru atau hanya babak lain dari kesedihan.
Elaine mengatur napasnya, mencoba membendung emosi yang bergulung di dadanya. Ia bergerak dengan profe
