Bab 1 Broken Home

1565 Kata
Hari ini aku mendengar kedua orang tuaku bertengkar lagi. Pertengkaran mereka tidak jauh dari masalah uang. Semenjak bapakku terkena PHK, ibuku jadi sering marah-marah. Aku tertelungkup di ranjang dan menutup telingaku dengan bantal. Meminimalisir pendengaranku dari suara pertengkaran mereka. Aku masih sangat ingat bagaimana kehidupan keluargaku sebelum bapak terkena PHK. Walaupun tidak sekaya orang tua anak-anak lain. Aku bersyukur memiliki kedua orang tua yang menyayangiku dan berusaha memberi yang terbaik untukku. Namun kini rasanya kasih sayang itu telah hilang entah kemana. Sekali lagi aku mendengar pecahan gelas, atau mungkin juga piring. Aku tak tahu. Walaupun aku sudah menutup telingaku dengan bantal, tetap saja suara bapak dan ibuku masih terdengar jelas. “Kalau begitu kita bercerai saja!” Ucapan itu keluar dari mulut ibuku, Bu Alya. “Baik. Kau pikir aku tidak muak tinggal bersama wanita yang hanya memikirkan uang, uang, dan uang?!” balas bapakku, Pak Rahman. “Kau pikir hidup tidak butuh uang? Setidaknya carilah pekerjaan!” teriak Bu Alya. “Aku sudah berusaha mencarinya. Kau saja yang tidak sabar!” bentak Pak Rahman. Aku hanya bisa menangis. Apakah kedua orang tuaku tidak memikirkan perasaanku? Kini aku berada di kelas IX Sekolah Menengah Pertama. Bulan depan aku sudah ujian akhir. Aku butuh semangat dari mereka seperti biasanya. Namun apa yang aku dapatkan? Bapak dan ibu pernah bercerita mengenai hari kelahiranku. Dimana saat itu mereka sangat bersuka cita mendapatkan seorang putri sepertiku. Saat aku mulai bersekolah, aku selalu mendapat peringkat tiga besar di kelasku. Orang tuaku begitu bangga dan mengumumkannya pada setiap orang yang mereka temui. Dimana kedua orang tuaku yang manis itu? Mengapa mereka kini berubah? Aku rindu masa-masa itu. Tak lama kemudian, aku sudah tidak terdengar lagi suara pertengkaran mereka. Aku pun melempar bantal ke sembarang arah. Aku sudah tidak menangis seperti hari-hari sebelumnya. Percuma. Aku menangis pun keadaan tidak akan membaik seperti semula. Terdengar suara pintu diketuk. Dengan langkah malas aku menuju pintu dan membukanya. Ada ibu berdiri disana. “Fal, Ibu mau bicara.” Bu Alya menerobos masuk ke dalam kamarku dan duduk di ranjang. “Aku sudah dengar,” celetukku, masih dalam posisi berdiri. “Ibu lelah menghadapi Bapakmu itu! Sudah pengangguran, kerjanya hanya berdiam diri di rumah!” maki Bu Alya keras, mungkin agar Pak Rahman mendengarnya. “Lalu Falisha harus bagaimana? Jika aku meminta Ibu dan Bapak tidak bercerai, apa kalian mau menurutiku?” tanyaku penuh harap. Bu Alya menggeleng. “Tidak bisa, Fal. Ibu akan tetap bercerai dari Bapakmu.” Pupus sudah harapanku. Kini aku akan jadi anak broken home. “Aku akan ujian akhir bulan depan, Bu. Tidak bisakah kalian bersabar sebentar lagi? Mungkin saja bulan Bapak akan segera mendapat pekerjaan.” “Ibu yakin kamu bisa melewatinya, Falisha. Kamu anak cerdas. Sedangkan Bapakmu itu sudah tidak ada harapan. Sudah hampir lima bulan, Ibu berjuang seorang diri.” Bu Alya menghampiriku yang sedang berdiri dan mengusap-usap rambutku. “Ibu harap kamu mengerti, Fal.” Bukankah orang tua yang seharusnya mengerti keadaan anaknya? Apa aku egois sebagai anak karena selalu ingin dimengerti? Aku baru berumur 15 tahun dan harus mengerti bahwa orang tuaku sepakat untuk bercerai. “Aku butuh Ibu dan Bapak menyemangatiku seperti biasa,” lirihku. Aku ingat sekali bagaimana ibu membuatkanku s**u hangat ketika aku belajar lebih giat untuk ujian. Dan bapak yang mengantarkanku ke sekolah, melambai-lambaikan tangannya sampai aku tidak terlihat lagi dari pandangannya. Kini ibu dan bapak tidak sekompak itu lagi. “Ibu dan Bapak hanya berpisah rumah, Fal. Kasih sayang kami terhadapmu akan tetap sama.” Bu Alya meyakinkanku, yang pada akhirnya itu adalah omong kosong belaka. “Ibu berangkat kerja dulu ya, Fal.” Bu Alya meninggalkanku untuk bersiap berangkat kerja. Beliau bekerja di salah satu usaha laundry, sepertinya masuk jadwal siang dan akan pulang malam hari. Selepas ibu pergi, aku menghampiri bapak yang sedang merokok di ruang tamu. Berusaha membujuk agar bapak mau mengurungkan niatnya bercerai dengan ibu. “Pak,” panggilku. “Ada apa, Fal?” Pak Rahman mematikan rokoknya, selalu begitu jika di dekatku. “Apa Bapak serius akan bercerai dengan Ibu? Apa Bapak tidak bisa memikirkannya lagi? Aku baru berumur 15 tahun, Pak. Tolong pikirkan lagi,” bujukku. “Bapak juga sebenarnya ingin mempertahankan pernikahan dengan ibumu. Tapi sepertinya Bapak tidak bisa. Ibumu selalu mengajak bertengkar setiap hari. Bapak sudah berusaha mencari kerja kesana-kemari namun belum dapat juga,” papar Pak Rahman. “Aku tidak mau menjadi anak broken home Pak …,” lirihku. “Kamu tenang saja, Fal. Mungkin ada istilah mantan suami dan mantan istri. Tapi tidak ada istilah mantan orang tua dan mantan anak. Kasih sayang Bapak tidak akan berkurang,” ucap bapakku, yang ternyata sama saja omong kosongnya dengan ucapan ibuku. *** Beberapa bulan kemudian, hasil ujian akhir sudah keluar. Aku berjalan pulang ke rumah membawa hasil ujian akhirku dengan senyum mengembang di bibirku. Nilaiku tertinggi kedua di antara murid kelas IX lainnya. Aku tidak sabar memberi tahu ibu dan bapakku. Mereka pasti akan senang dan bangga padaku, seperti biasanya. Dan semoga hal ini bisa membuat mereka berubah pikiran untuk membatalkan perceraian mereka. Ketika sampai di rumah, aku melihat dari luar ada ibu, bapak, dan nenekku sedang berkumpul di ruang tamu. Namun mereka semua terdiam ketika aku tiba. Padahal ketika aku sampai di teras, terdengar suara orang saling berdebat. Aku masuk dan melihat amlop cokelat di meja, sepertinya dari Pengadilan Agama. Aku segera meraih amplop cokelat itu dan membukanya. Tanganku gemetar membacanya, apakah proses perceraian memang secepat ini? Sidang putusan perceraian kedua orang tuaku telah dikabulkan. Mereka sudah resmi bercerai. Namun anehnya, tidak ada yang peduli padaku. Mereka hanya sibuk memperebutkan masalah harta dan pembagian penjualan rumah yang kami tinggali. Tidak ada yang mau membawaku. Mereka malah saling melempar tanggung jawab. “Duduklah, Fal!” perintah Nenek Ana. “Ada apa ini, Nek?” Aku menatap Nenek Ana. Karena ibu dan bapak menghindari tatapanku. Tiba-tiba bapakku lebih dulu berbicara. “Rumah ini sudah terjual. Kita akan membagi dua uangnya besok.” Pak Rahman bicara sambil menatap tajam seperti benci pada Bu Alya. Dimana mereka yang dulu saling menatap dengan penuh cinta? “Kenapa Bapak menjual rumah ini?” tanyaku, namun tidak ada yang menjawab. “Dan untuk Falisha, dia kan lebih dekat denganmu. Bawa saja dia!” lanjut Pak Rahman. “Dia juga kan anakmu. Kenapa bukan kau saja yang membawanya?” Bu Alya tak mau kalah. Nenek Ana, ibu dari bapak, menengahi pertengkaran mantan suami-istri itu. “Sudah cukup! Kalau kalian tidak ada yang mau membawa Falisha. Bagaimana jika dia tinggal bersamaku saja?” usul Nenek Ana. Ibu dan bapak terdiam, seakan menyetujui usulan Nenek Ana. Aku sekuat tenaga menahan tangisku. Mana janji ibu dan bapak padaku? Bahwa mereka akan tetap menyayangiku. Mereka menjanjikan kasih sayang mereka tidak akan berkurang. Ternyata semuanya hanya omong kosong belaka. Karena ibu dan bapak tidak ada yang menjawab usulan Nenek Ana. Akhirnya aku angkat bicara. “Aku akan ikut Nenek.” Aku menatap Nenek Ana. Nenek Ana pun sedang menatapku dengan tatapan iba dan menggenggam tanganku. Mungkin beliau merasa nasib cucunya ini malang sekali. Orang tuanya bercerai dan tidak ada yang mau membawanya. Hari ini, aku sudah resmi menjadi anak broken home. Ditambah lagi orang tuaku tidak ada yang mau membawaku. Apakah mereka takut aku merepotkan mereka? Tidak ada dalam ingatanku bahwa aku merepotkan mereka, atau mungkin aku saja yang tidak sadar. Apa aku begitu merepotkan sehingga tidak ada yang mau membawaku? Bukan bermaksud memuji diri sendiri, namun aku rajin membantu pekerjaan rumah. Aku menyapu, mencuci piring, bahkan terkadang mencuci pakaian dan memasak. Aku bisa melakukan itu semua, lalu kenapa aku dianggap merepotkan? Aku terbilang pandai dalam mata pelajaran apa pun, namun tidak begitu pandai bergaul di sekolah. Aku hanya mengingat beberapa nama teman sekelasku. Dan lagi tujuanku sekolah bukan untuk bergaul, tapi belajar, kemudian pulang ke rumah. Aku tidak suka berlama-lama di sekolah. Aku selalu pulang tepat waktu. Bahkan teman-temanku menyebutku Si Kutu Buku. Karena jika jam pelajaran kosong atau jam istirahat, aku memilih membaca buku dari pada mengobrol dengan teman-temanku. Sesekali aku pergi ke kantin, itu pun jika tidak membawa bekal dari rumah. Terkadang aku di bully pelit, karena jika saat ujian teman-temanku meminta jawaban, aku tidak pernah memberikannya. Aku tidak peduli akan hal itu. Salah mereka sendiri mengapa tidak bersungguh-sungguh dalam belajar. Aku tidak pernah menceritakan bagaimana diriku di sekolah pada orang tuaku, karena takut hal itu menganggu pikiran mereka. Aku sering dibanding-bandingkan dengan Adara, teman sekelasku. Adara gadis yang cantik, periang, mudah bergaul dan baik hati. Dia selalu menyapaku jika berpapasan, walau aku hanya menanggapinya dengan senyuman tipis serta anggukan. Dia tetap melakukan hal yang sama setiap waktu. Sebenarnya aku pernah mendengar teman-temanku berbisik bahwa aku sama cantiknya dengan Adara, jika saja aku bisa merawat atau sedikit merias wajahku. Tapi aku tidak tertarik menjadi murid populer di sekolah seperti Adara. Adara berpacaran dengan Virendra, laki-laki yang cukup populer juga di sekolah. Aku sering mendengar namanya karena para siswi sering membicarakannya. Aku sendiri tidak begitu mengenali orangnya. Mungkin kami pernah berpapasan, tetapi aku tidak sadar atau mungkin tidak tahu bahwa orang itu adalah Virendra. Kini ditambah lagi masalah yang terjadi pada keluargaku. Aku makin pendiam dan tertutup. Aku tidak pernah membagi kisahku pada siapapun. Untuk apa apa berbagi kisah sedihku? Untuk dikasihani? Apa teman-temanku bisa membantuku jika aku menceritakannya? Bagiku menceritakan hal buruk adalah aib. Dan lagi ini masalah keluargaku, tidak ada hubungannya sama sekali dengan teman-temanku. Sebut saja aku kaku, karena aku tidak tahu bagaimana caranya mencurahkan isi hatiku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN