Acara perpisahan diadakan di sekolah. Siswa dan siswi diwajibkan memakai baju bermotif batik. Aku memakai kemeja lengan panjang motif Batik Mega Mendung berwarna ungu dan celana panjang berwarna hitam. Aku tidak memakai make up sama sekali. Aku tidak punya make up, dan lagi aku tidak tahu cara menggunakannya.
Terlihat beberapa orang berkerumun sepertinya sedang melihat sesuatu yang menarik. Aku pun tertarik mencoba ikut melihat. Ternyata Adara berjalan dengan menggandeng seorang laki-laki.
“Apa mungkin dia kekasih Adara yang bernama Virendra?” batinku.
Adara memakai dress panjang selutut bermotif Batik Flora, dan make up tipis di wajahnya. Sedangkan Virendra memakai kemeja lengan panjang bermotif Batik Burung Phoenix, dia terlihat tampan dan gagah. Mereka sungguh pasangan yang cocok dan serasi.
MC acara perpisahan sudah berdiri di atas panggung. Kemudian memanggil para siswa dan siswi untuk berkumpul dan duduk di tempat yang sudah disediakan. Karena acara akan segera dimulai.
Pembacaan ayat-ayat suci Alquran, kemudian sambutan-sambutan, dan acara pemberian penghargaan pada siswa dan siswi yang berprestasi. Yakni peringkat 1-5 yang meraih nilai tertinggi dalam ujian akhir.
“Kelima siswa dan siswi peraih nilai tertinggi adalah Virendra Malik, Falisha, Adara Putri, Muhammad Ilyas, dan Citra. Silahkan naik ke atas panggung. Beri tepuk tangan yang meriah!” teriak Sang Pembawa Acara bersemangat. Riuh tepuk tangan pun bersahutan.
Aku berdiri di antara Virendra dan Adara. Sudah pasti menjadi bahan perbandingan oleh teman-temanku di depan sana, karena aku lihat sekarang mereka tengah berbisik-bisik. Rasanya aku ingin bertukar posisi saja. Tidak aku sangka Virendra murid yang pandai, benar-benar cocok dengan Adara. Mereka sama-sama berparas rupawan dan juga pintar.
Kepala Sekolah SMP Negeri 1 Bandung memberi medali dan sertifikat pada kami, kemudian menyampaikan sedikit pesan-pesannya untuk kami semua yang dinyatakan lulus dari Sekolah Menengah Pertama hari ini. “Bapak ucapkan selamat kepada kalian semua. Dan Bapak do’akan semoga kalian semua menjadi orang rajin, cerdas, berbudi pekerti luhur dan sukses di kemudian hari. Untuk kelima orang siswa dan siswi berprestasi, akan ada beasiswa untuk kalian yang ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Silahkan hubungi bagian kesiswaan untuk informasi lebih lanjut. Sekian dari Bapak.” Bapak Kepala Sekolah pun menutup sambutannya dengan ucapan salam.
Aku dan keempat temanku turun dari panggung. Adara merangkul tanganku. “Selamat ya, Fal! Nilai kamu peringkat kedua tertinggi setelah Virendra!” Adara tersenyum seperti biasa.
“Ah, terima kasih. Selamat juga untuk kamu.” Aku tersenyum kikuk, tidak biasa membalas pujian seperti ini selain dari ibu dan bapakku. Walaupun mereka kini tidak mengucapkan pujian itu lagi.
“Ren! Rendra!” Adara memanggil-manggil pacarnya dan melambaikan tangannya memberi isyarat agar Virendra mendekat.
“Kenapa, Ra?” tanya Virendra setelah mendekat.
“Kenalin ini teman sekelasku, namanya Falisha.” Adara mengenalkanku pada pacarnya.
“Hai, aku Virendra.” Laki-laki itu mengulurkan tangannya padaku.
Aku hanya diam, tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Sampai Adara menyenggol pundakku membuatku cepat-cepat menyambut uluran tangan Virendra. “A-aku … Falisha. Teman sekelas Adara.”
“Yuk, duduk. Acara hiburan mau dimulai!” ajak Virendra, tentunya pada Adara.
Adara pun mengangguk tersenyum dan mengikuti Virendra. Sedangkan aku masih mematung berdiri di tempatku. Masih tidak percaya dengan kejadian yang aku alami. Dari sekian banyak orang, hanya Adara yang mau berbicara padaku bahkan mengenalkanku pada kekasihnya.
Acara demi acara pun telah selesai, dan kini tiba acara penutup. Aku sudah tidak sabar pulang ke rumah, sejujurnya aku tidak begitu menyukai keramaian. Sebenarnya aku bingung akan melanjutkan sekolah dimana, untung saja ada beasiswa. Dimana pun itu, yang terpenting aku bisa melanjutkan jenjang pendidikanku. Aku akan membuktikan pada ibu dan bapak, bahwa aku bisa sekolah tanpa bantuan mereka.
Teman-temanku yang lain masih betah di sekolah. Bahkan terdengar beberapa anak akan pergi ke suatu tempat untuk merayakan kelulusan mereka. Sedangkan aku harus segera pulang untuk membantu Nenek Ana berjualan kue bagelen. Semenjak tinggal bersama nenekku, aku membantunya membuat kue bagelen dan ikut menjualkannya. Aku berkeliling desa menjajakan kue bagelen buatan Nenek Ana. Setidaknya aku bisa membantunya walau sedikit. Beliau sudah mau mengajakku tinggal bersamanya, disaat kedua orang tuaku sendiri bahkan tidak ada yang mau membawaku.
Aku merasa bersalah karena menambah beban Nenek Ana. Perempuan yang sudah tua itu, kini bukan hanya memenuhi kebutuhan dirinya sendiri, namun juga harus memenuhi kebutuhan hidupku. Maka dari itu, aku tidak pernah protes makanan apa pun yang Nenek Ana berikan. Aku langsung memakannya sampai habis dan berterima kasih.
“Assalamu’alaikum,” ucapku ketika memasuki rumah.
“Wa’alaikumumalam,” sahut Nenek Ana. “Sudah selesai acaranya, Fal?”
“Sudah, Nek. Aku mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikanku.”
“Alhamdulillah. Jika kamu tidak mendapatkannya, kamu harus tetap melanjutkan pendidikanmu, Fal. Nenek akan bekerja keras untuk membiayai sekolahmu.” Nenek Ana tersenyum tulus.
“Tidak, Nek.” Aku menggeleng. “Aku tidak akan melanjutkan sekolahku jika tanpa beasiswa. Aku tidak mau merepotkan Nenek.”
“Kamu itu cucu Nenek. Mana ada cucu merepotkan Neneknya?” Nenek Ana mengelus kepalaku.
“Tapi bagi kedua orang tuaku, aku merepotkan, Nek. Sampai tidak ada yang mau membawaku,” lirihku.
“Bukan begitu, Fal. Mereka bukan tidak ada yang mau membawamu. Mereka menitipkanmu pada Nenek, suatu saat mereka pasti datang menjemputmu,” hibur Nenek Ana, kemudian memelukku.
Aku tahu Nenek Ana berbohong. Sejak hari itu, tidak ada ibu maupun bapak datang kemari untuk sekadar melihatku. Mereka tidak pernah menanyakan keadaanku, apa lagi memberiku uang jajan.
“Apa kue bagelennya sudah siap semua?” Aku mengalihkan pembicaraan sedih ini.
“Tentu saja. Kamu mau berkeliling sekarang?” tawar Nenek Ana.
“Iya, Nek. Aku ganti baju dulu.”
Aku menuju kamarku untuk mengganti baju. Aku hanya mengganti baju batikku dengan kaus lengan panjang. Aku segera keluar dan meraih kontainer transparan yang berisi kue bagelen buatan Nenek Ana.
“Aku pergi dulu, Nek. Do’akan dagangannya laris.” Aku berpamitan pada Nenek Ana.
“Aamiin. Hati-hati di jalan, Falisha!” pesan Nenek Ana.
***
Aku berjalan pulang karena hari sudah hampir pertang, dan daganganku sudah terjual habis. Kue bagelen buatan Nenek Ana memang enak. Orang yang sudah pernah mencicipinya, pasti akan membeli lagi jika bertemu denganku. Menurut mereka, kue bagelen Nenek Ana berbeda dengan kue bagelen lainnya yang di jual di pasar maupun toko kue terkenal sekalipun.
Aku mengucap salam dan mencium tangan Nenek Ana. “Alhamdulillah habis, Nek. Ini uangnya.” Aku memberikan uang hasil penjualanku pada Nenek Ana.
Nenek Ana pun mengucapkan hamdalah, lalu memberiku uang. “Ini uang jajan untukmu, Fal.”
“Tidak usah, Nek. Uang yang kemarin Nenek beri masih ada.” Aku menolak halus. “Nenek simpan saja uangnya, ya?”
Nenek Ana pun mengangguk. “Baiklah. Terima kasih, Falisha. kamu sudah mau membantu Nenek.”
“Aku akan membuat kue bagelen Nenek menjadi terkenal di Bandung suatu saat nanti.” Giliranku menghibur Nenek Ana. “Ah, tidak. Bahkan terkenal satu Indonesia!” lanjutku.
Nenek Ana terkekeh mendengarnya. “Nenek akan menunggu saat itu tiba. Kamu memang cucu yang baik, Falisha. Nenek beruntung memilikimu.”
“Aku yang beruntung memiliki Nenek seperti Nenek Ana.” Aku tersenyum dan memeluknya. “Aku janji akan membahagiakan Nenek!”
“Nenek sudah bahagia, Fal.” Nenek melepas pelukannya. “Sebaiknya kamu mandi, sebentar lagi magrib.”
“Maka aku akan membuat Nenek lebih bahagia lagi.” Aku menjanjikan sesuatu yang bahkan aku sendiri takut tidak bisa menepatinya. “Aku mandi dulu ya, Nek.”
Sejujurnya aku mengatakan hal itu untuk menghibur Nenek Ana. Namun malah aku yang menjadi kepikiran sendiri. Bagaimana jika aku tidak bisa menepatinya? Mungkinkah ibu dan bapak juga saat itu hanya bermaksud menghiburku, bukan menjanjikan sesuatu? Apa aku yang terlalu berharap?
Aku tidak akan seperti ibu dan bapak. Aku harus bisa menepati janjiku pada Nenek Ana. Suatu saat nanti aku akan membuat toko kue untuk Nenek Ana. Aku akan membuat kue bagelen Nenek Ana terkenal. Aku bertekad untuk sukses demi Nenek Ana. Aku harus membahagiakan beliau. Lihat saja, aku akan berusaha mewujudkannya.
***
Kini aku bersekolah di salah satu Sekolah Menengah Atas Negeri di Bandung. Aku mendapatkan beasiswa dan digratiskan dari iuran bulanan. Syaratnya aku harus bisa mempertahankan prestasiku. Aku harus berhasil meraih 10 besar di tiap semester dari semua murid.
Sepertinya aku melihat Citra, peraih peringkat lima saat acara perpisahan. Namun aku tidak melihat tiga orang lainnya, termasuk Adara.
“Falisha?” sapanya saat bertemu denganku.
“Citra, ya?” Aku memastikan, dan dia mengangguk. “Yang lain mana?” tanyaku.
“Ck. Mereka orang kaya, Fal. Gengsi kalau ambil beasiswa,” decak Citra.
“Memang apa salahnya? Ini kan beasiswa karena prestasi … tidak semua beasiswa karena tidak mampu, kan?” Aku tidak mengerti, kalau ada yang gratis mengapa harus pilih yang bayar.
“Ya, tetap saja mereka gengsi. Mungkin saja mereka lebih memilih di sekolah yang lebih elit. Mereka orang mampu, Fal. Tidak sepertiku,” jawab Citra.
“Aku juga sama sepertimu. Namun jika aku orang mampu pun, aku akan tetap mengambil beasiswa ini. Kalau ada yang gratis kenapa harus yang bayar?”
Citra hanya mengedikkan bahunya.
“Aku ke perpustakaan dulu, ya.” Aku pun meninggalkan Citra dan berjalan menuju perpustakaan.
Pada jam istirahat aku memilih menyibukkan diri untuk membaca buku di perpustakaan. Nenek Ana selalu membawakanku bekal, jadi aku tidak perlu ke kantin. Lebih hemat, dan juga lebih baik uang sakunya aku tabung.
Aku sedang fokus membaca, sedangkan siswa dan siswi yang duduk dua meja dariku malah bersenda gurau. Memangnya tidak ada tempat lain? Menganggu ketenanganku saja. Baru saja aku hendak berdiri, ada seorang laki-laki yang menegur mereka. “Jangan berisik. Ini perpustakaan. Kalau kalian mau mengobrol silahkan keluar!” ucapnya tegas.
Siswa dan siswi yang terkena teguran pun memilih pergi dari perpustakaan. Akhirnya aku bisa kembali membaca dengan tenang. Siswa yang menegur tadi melewati tempat dudukku, aku bisa membaca jelas nama yang terdapat di seragamnya. Arsalan Daffa.