Bab 26 Cobaan Apa Lagi?

1017 Kata
Tanpa terasa sudah satu tahun aku berkuliah. Murid les privatku bertambah berkat promosi dari Bu Dea. Kini, aku memiliki 4 murid. Dito masuk lima besar, dia berhasil meraih peringkat empat, dan itu membuat Bu Dea menepati janjinya untuk mempromosikan aku kepada orang tua murid lainnya. Akhirnya karena terbentur jadwal, aku mengundurkan diri bekerja dari Kedai Kopi Temukan Cinta milik Brian. Sebenarnya aku merasa tak enak hati padanya dan Rivan yang menjadi perantara hingga aku dapat pekerjaan paruh waktu ini. Namun Brian sama sekali tidak keberatan dan malah mendukung keputusanku. Bagaimana kabarnya Rivan? Aku bertemu dengannya beberapa hari yang lalu. Dia sudah melangsungkan lamaran dan beberapa bulan lagi akan menikah. Aku turut berbahagia untuknya dan mendo'akan semoga rumah tangganya kelak bahagia selamanya. "Falisha, aku sudah bertemu dengan perempuan yang orang tuaku pilihkan untukku." "Lalu bagaimana dia menurut Kakak?" "Dia gadis yang manis." "Jadi Kakak menyukainya?" "Aku belum tahu, tapi sepertinya tidak sulit untuk jatuh cinta padanya. Aku menyadari perasaanku padamu, awalnya aku merasa salut dan bangga padamu karena perjuangan hidupmu. Jika aku jabarkan, sepertinya lebih kepada aku mengagumimu." "Aku berterima kasih untuk itu, Kak." "Terima kasih telah bertemu denganku. Semoga kamu juga akan menemukan laki-laki yang tulus padamu." Aku masih mengingat jelas obrolanku dan Rivan kala itu. Mengetahui Rivan telah memiliki calon istri dan bukan aku. Teman sekelasku, Dahlia, tak lagi menggangguku. Tunggu sebentar ... teman? Apa pantas dia ku sebut teman? Aku ingin lulus sesegera mungkin dan mencari pekerjaan entah di Bandung atau di luar kota Bandung. Mengumpulkan uang yang banyak untuk modal usahaku. Tidak lagi memikirkan mengenai yang namanya laki-laki. Aku ingin fokus pada tujuan dan cita-citaku. *** Hari Jum'at seusai mata kuliah terakhir, seperti biasa 3 bulan sekali aku akan pulang ke rumah Nenek Ana, walaupun sudah tidak ada beliau disana. Andai beliau masih ada, mungkin aku akan lebih sering pulang, sebulan sekali misalnya. Ah, lagi-lagi aku berandai-andai. Betapa terkejutnya aku mendapati rumah Nenek Ana digembok. Apa maksudnya ini semua? Apa yang terjadi? Aku segera menuju rumah Bu RT untuk meminta kejelasan siapa yang menggembok rumah Nenek Ana tanpa seizinku. "Assalamu'alaikum, Bu." Aku langsung mengucap salam karena pintu rumah Bu RT tidak tertutup. Terlihat Bu RT sedang duduk santai di ruang tamu seraya memainkan ponselnya. Dia menurunkan kacamatanya. "Eh, Falisha. Silahkan masuk, mari duduk." Aku pun masuk dan duduk. Tanpa basa-basi aku langsung menanyakan kenapa rumah Nenek Ana tergembok. "Bu, kenapa rumah Nenek Ana digembok?" Bu RT terperangah mendengar pertanyaan yang meluncur dari mulutku. "Kamu tidak diberitahu?" Giliran aku yang terperanjat dengan kening berkerut. "Aku tidak tahu apa-apa, Bu. Itu sebabnya aku kaget tiba-tiba saat aku pulang, rumah Nenek Ana tergembok. Apa yang terjadi, Bu? Ceritakan padaku." Aku mendesak Bu RT untuk segera bercerita. Terdengar helaan napas Bu RT sebelum menjawab pertanyaanku. "Bapak dan bibimu sepakat menjual rumah nenekmu, Falisha." "A-pa?! Mereka menjualnya?!" tanyaku dengan nada tinggi. Aku terperanjat bukan main. Teganya mereka menjual rumah Nenek Ana tanpa bicara padaku?! "Mereka berdua anak Nenek Ana, Fal. Mereka berhak untuk itu. Aku sudah menanyakan apakah kamu setuju atau belum, mengingat kamu tinggal bersamanya selama ini." Bu RT menjeda sebentar lalu melanjutkan. "Mereka berkata akan memberitahumu, namun melihat kamu terkejut seperti ini, sepertinya mereka tidak memberi kabar apa pun padamu." Pandanganku mulai mengabur, karena air sudah memenuhi mataku. Tidak masalah mereka menjualnya, benar kata Bu RT itu hak bapak dan bibiku sebagai anak Nenek Ana. Namun kenapa mereka tidak memberitahuku sama sekali? Apa mereka takut aku juga turut meminta bagian? Jika benar pikiran mereka sepicik itu, aku tidak habis pikir dimana letak hari nurani mereka. Aku segera menghapus air mataku sebelum terjatuh. Aku bangkit dari dudukku. Berterima kasih sekaligus berpamitan pada Bu RT. "Falisha ... yang sabar, ya." Terdengar Bu RT berucap pelan. Aku menghentikan langkahku sejenak, lalu melanjutkannya lagi. Kini aku menuju rumah Bu Kina, untuk menemui bapakku. Dengan amarah yang memuncak, aku menggedor-gedor keras pintu rumahnya, tanpa peduli jika setelah ini aku di caci maki karena tidak memiliki sopan santun. "Siapa di luar?! Kenapa berisik sekali?!" teriak Bu Kina dari dalam rumah. Setelah pintu terbuka dia melihatku dengan tatapan tidak suka. Tidak masalah bagiku, karena aku juga tidak menyukainya. "Mau apa kamu kemari?" tanyanya seraya melipat kedua tangannya di depan d**a. "Dimana bapakku?" Aku melihat ke dalam rumah mencari-cari sosok Pak Rahman. "Pak! Bapak! Keluar!" teriakku. "Dasar gadis tidak tahu sopan santun!" maki Bu Kina padaku. Pak Rahman terlihat ke luar dari dalam dan menemuiku. "Ada apa ribut-ribut?" "Bapak kenapa menjual rumah Nenek Ana tanpa mengabariku?!" Tanpa basa-basi aku langsung menyentak pertanyaan pada bapakku. "Aku anaknya, aku berhak! Dan lagi bibimu yang mengusulkannya, Bapak hanya menurutinya." "Dasar saja kamu ingin meminta bagian kan? Tidak usah basa-basi!" Bu Kina memperkeruh suasana. "Aku tahu Bapak dan bibi berhak. Tapi setidaknya beritahu aku. Kenapa kalian berdua tega sekali padaku?! Aku harus tinggal dimana setelah lulus kuliah nanti?!" teriakku frustasi. "Itu bukan urusan kami!" timbrung Bu Kina. "Pergilah temui ibumu! Jangan ganggu aku dan Mas Rahman!" "Diam, Bu! Bu Kina bukan keluargaku. Aku kemari berurusan dengan Bapak!" Aku menatap benci pada Bu Kina. "Beri saja dia uang, Mas. Lalu putuskan hubungan dengannya. Dia pasti akan menyusahkanmu nantinya!" Bu Kina terlihat menghasut Pak Rahman. "Dengar Bu Kina yang terhormat. Sejak bercerai dengan ibuku, Pak Rahman sama sekali tidak pernah memberiku sepeser pun! Aku bisa bersekolah dan hidup berkat bantuan Nenek Ana. Dan kini nenekku sudah tiada, aku berusaha menghidupi diriku sendiri! Aku tidak pernah meminta pada kedua orang tuaku!" Aku menatap Bu Kina dengan penuh amarah, seenaknya dia berkata seperti itu. Kini tatapanku beralih pada Pak Rahman yang hanya diam. Karena bapakku itu sadar yang diucapkan olehku semua benar adanya. "Aku tidak menyangka sama sekali Bapak dan bibi tega padaku. Aku tidak punya siapa-siapa lagi setelah Nenek Ana pergi. Pernahkah kalian memikirkan perasaanku?! Pernahkah kalian memikirkan bagaimana aku hidup?! Pernahkah kalian memikirkan aku sekali saja?!" cecarku dengan nada tinggi, yang mengundang para tetangga akhirnya berkumpul. "Kamu bisa hidup sendiri? Memangnya uang dari mana? Apa kamu menjual tubuhmu itu?" tuduh Bu Kina. Aku tersenyum mengejek pada Bu Kina walau dengan wajah penuh air mata. "Aku tidak serendah dan semurah itu! Apa aku tidak salah dengar? Siapa orang yang menjual tubuhnya disini?!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN