Bab 27 Keterlaluan

1031 Kata
Aku tersenyum mengejek padanya walau dengan wajah penuh air mata. "Aku tidak serendah dan semurah itu. Apa aku tidak salah dengar? Siapa orang yang menjual tubuhnya disini?" Bu Kina hendak menamparku, namun ditahan oleh Pak Rahman. Mungkin Bu Kina hilang ingatan siapa wanita yang digosipkan kerap membawa pria lain ke dalam rumah. Bukan gosip, karena aku bahkan pernah melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. "Anggap saja anakmu ini sudah tidak ada, Pak! Aku juga akan menganggap bahwa aku tidak lagi memiliki orang tua! Terima kasih sudah membesarkanku dengan baik selama 15 tahun, dan terima kasih telah memberikan luka yang begitu besar yang akan aku ingat sampai aku mati!" Air mata mulai membanjiri wajahku. Aku berbalik meninggalkan Bu Kina dan Pak Rahman yang diam seribu bahasa, tidak mampu menjawab semua perkataanku. Sungguh, jika dibicarakan baik-baik aku tidak akan semarah ini. Setidaknya beritahu aku rencana penjualan rumah Nenek Ana. Aku tidak akan meminta bagian sedikitpun, namun jika mereka memiliki hati nurani, mereka pasti memberiku. Baik bapak maupun bibiku, tidak pernah memikirkan bagaimana aku hidup selama ini. Kini aku harus tinggal dimana setelah lulus kuliah? Aku sudah tidak punya tempat tinggal. Aku mengunjungi makam Nenek Ana untuk menangis sesuka hatiku. Menumpahkan rasa kecewaku disana, bercerita betapa menyedihkannya aku. "Apa aku boleh ikut Nenek saja?" Aku berbicara dengan nisan Nenek Ana, seperti orang yang telah hilang akal sehatnya. Hari semakin sore. Aku belum beranjak sedikitpun dari tempatku. Aku masih ingin berlama-lama dengan Nenek Ana. Sekali lagi aku meyakinkan hatiku, biarlah orang lain tidak menganggap aku ada, bahkan orang tua dan saudaraku tidak ada yang mempedulikanku. Akan aku buktikan pada mereka bahwa perempuan yang mereka anggap remeh ini suatu saat akan menjadi orang yang membuat mereka menyesal telah menyia-nyiakan keberadaannya. Sampai saat itu tiba, aku tidak boleh menyerah dengan hidupku. Aku kembali ke tempat kosku dan tidak akan pernah pulang ke rumah Nenek Ana lagi. Karena rumah itu bukan lagi milik nenekku. Aku tidak bisa tinggal disana lagi. Sepertinya aku akan terus menjadi anak kos meski sudah lulus nanti. Membayangkannya membuatku meratapi betapa malangnya nasibku ini. Aku tidak mau menghubungi Ardan maupun Bu Puja, termasuk Lili. Mereka tidak boleh tahu hal ini. Biarlah aku menyimpan rasa sakitku untukku sendiri. *** Jadwalku hari ini menemui Bu Dea dan Dito untuk yang terakhir kali. Ya, aku mengundurkan diri setelah kejadian yang menimpaku di sesi mengajar Dito sebelumnya. Pak Bagas semakin kurang ajar padaku, itu terjadi saat Minggu lalu Bu Dea pergi arisan. Di rumah hanya ada aku, Dito, dan Pak Rahman. Selesai mengajar, Dito diminta pergi ke warung oleh Pak Rahman, mengetahui hal itu aku segera berlari hendak menyusul Dito. Namun Pak Bagas mencegatku, dan mencoba mendorongku hingga terpojok di dinding. Aku ingin berteriak minta tolong tapi aku takut jika orang lain tahu malah berpikir yang macam-macam padaku. Untungnya otakku bekerja dengan cepat, aku tendang 'miliknya' dan membuatnya menjerit kesakitan. Kemudian aku segera berlari keluar dengan badan gemetar. Aku bahkan mengabaikan Dito yang berpapasan denganku saking takutnya. Berjalan seperti orang linglung untungnya masih bisa sampai ke kos dengan selamat. Aku memutuskan untuk berhenti dengan menelepon Bu Dea. Namun dia memintak untuk datang ke rumah, aku menanyakan apa ada Pak Bagas. Saat Bu Dea menjawab bahwa suaminya tidak ada, aku pun menyanggupi untuk menemuinya. "Kenapa tiba-tiba kamu berhenti, Fal? Ibu ada salah? Atau Dito nakal?" cecar Bu Dea. Aku menunduk dan menggeleng. Dalam hati ragu apa aku harus menceritakan kejadian buruk yang menimpaku. "Lalu kenapa? Tidak apa-apa, jujur saja padaku." Bu Dea terus membujukku. Setelah menimbang-nimbang, aku pun memutuskan untuk tidak memberitahu Bu Dea. Takut dia merasa sakit hati, atau lebih parahnya dia menyangka aku memfitnah suaminya. "Aku ... aku hanya lelah, Bu. Ingin beristirahat." "Apa karena suamiku? Apa dia berlaku kurang ajar padamu?" terka Bu Dea, yang akhirnya membuat aku mengangkat wajahku. "Jadi benar karena Ayah Dito," lanjutnya. "Bu-bukan, Bu." Aku mengelak cepat. "Tidak perlu mengelak, Fal. Maafkan suamiku, ya?" pintanya. Tanpa ku sangka Bu Dea malah bersikap di luar dugaanku. "Dari mana Bu Dea tahu?" "Suamiku memang gemar main wanita. Syukur kamu tidak menjadi korbannya, aku tahu kamu pasti perempuan baik-baik dan tidak akan tergiur dengan uang yang ditawarkannya." Aku kaget bukan kepalang. "Kenapa Bu Dea bertahan dengan Pak Bagas jika tahu kelakuannya seperti itu?" Aku tidak habis pikir, mungkin jika aku menjadi dirinya, aku sudah meminta berpisah. "Aku tidak mau Dito memiliki orang tua yang tidak lengkap." Jawaban Bu Dea terasa sangat menusukku. "Aku memilih bertahan dengan suamiku, karena memikirkan perasaan Dito. Ia sangat dekat dengan ayahnya, namun jika tiba-tiba berpisah, bagaimana perasaannya? Dia baru berumur sembilan tahun, Fal. Masih terlalu kecil untuk mengerti rasa sakit orang dewasa." Suara Bu Dea terdengar bergetar. "Sebenarnya aku tidak sanggup, Bagas bukan sekali dua kali ketahuan berselingkuh. Tapi aku kuat karena melihat Dito. Jika saja kami belum mempunyai keturunan, aku tidak akan berpikir dua kali untuk bercerai darinya." Aku menggenggam tangan Bu Dea, mencoba menguatkannya. Padahal diriku sendiri pun perlu dikuatkan. "Yang sabar ya, Bu. Semoga Pak Bagas secepatnya menyadari kesalahannya dan tidak mengulanginya lagi. Bu Dea wanita yang kuat." Bu Dea malah memelukku dan mulai menumpahkan rasa sakitnya selama ini. Dia menangis. Aku hanya bisa diam, membiarkannya meluapkan segala kesesakannya. Menangis bukan hanya karena kita lemah, setidaknya dengan menangis perasaan kita akan jauh lebih lega. Aku jadi teringat kedua orang tuaku yang bercerai karena bapak di PHK dan belum mendapatkan pekerjaan berbulan-bulan. Padahal ibuku bisa saja bersabar dan memikirkan bagaimana perasaanku. Atau memang perasaanku tidak berharga bagi mereka? Mereka bahkan menjanjikan kasih sayang mereka tidak akan berubah setelah berpisah, yang ternyata hanya omong kosong belaka. Aku mendapatkan banyak sekali pengalaman berharga dalam hidupku. Rumah tangga bisa dipertahankan atau diakhiri, itu semua tergantung individunya. Ada yang tetap bertahan meski tersakiti, ada yang memilih berpisah dengan alasannya masing-masing. Semua pilihan tersedia. Mungkin aku juga tidak bisa menyalahkan sepenuhnya karena orang tuaku berpisah. Karena hal itu bisa saja terjadi pada rumah tangga manapun. Yang aku sesalkan, baik ibu maupun bapak, tidak ada yang memperdulikannya aku. Setelah bercerai mereka tidak ada yang mau membawaku serta, sampai akhirnya aku tinggal bersama Nenek Ana. Bahkan kedua orang tuaku telah menikah lagi dengan pasangan barunya masing-masing, dan sekali lagi tanpa memikirkan bagaimana perasaanku. Mereka tidak pernah menanyakan kabar atau sekedar memberiku uang jajan. Bukankah itu keterlaluan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN