Bab 5 Orang Tua Menikah Lagi

1287 Kata
Aku sedang menyapu halaman rumah sore ini. Setelah hari itu syukurnya Arsalan tidak pernah lagi ke rumah Nenek Ana. Tiba-tiba sosok yang aku kenal datang ... bapakku. Aku menatapnya dengan ekspresi datar kemudian melanjutkan pekerjaanku tanpa berniat menghampirinya. Apa Pak Rahman baru ingat bahwa mempunyai anak? "Apa nenekmu ada di dalam?" Pak Rahman bertanya padaku, tanpa berbasa-basi menanyakan kabarku. "Ada." Aku menjawab tanpa menoleh padanya sedikit pun dan terus saja menyapu. Pak Rahman langsung memasuki rumah dan mencari Nenek Ana. Entah mau membicarakan apa, aku tidak peduli. Setelah kedua orang tuaku bercerai dan tidak ada yang mau membawaku, aku sudah menganggap bahwa aku tidak punya orang tua. Orang tuaku saat ini hanyalah Nenek Ana. Sebenarnya aku tahu ini salah, aku tidak boleh seperti ini. Bagaimanapun mereka tetap orang tuaku yang membesarkanku sampai aku berumur 14 tahun. Tapi sungguh aku sakit hati pada mereka. Selesai menyapu halaman, aku pun masuk rumah dengan rasa enggan, karena bapakku masih di dalam. Aku berdiri di ambang pintu untuk masuk ke dalam rumah, terdengar samar-samar percakapan Nenek Ana dan Pak Rahman. "Kamu belum lama bercerai Rahman! Bagaimana kamu bisa mau menikah lagi?!" bentak Nenek Ana. "Apa kamu tidak ada niat membawa Falisha ikut bersamamu? Dia anak yang baik dan tidak merepotkan. Bahkan dia banyak membantu Ibu selama disini." Rasa sakit hatiku belum juga hilang, kini harus tergores lebih dalam. Bapak mau menikah lagi? Secepat ini? Aku menguatkan hatiku dan memberanikan diri mengintip sedikit. Pak Rahman hanya menunduk saja dimarahi oleh Nenek Ana. Baru kali ini aku mendengar nenek membentak, padahal beliau selalu berbicara lemah lembut padaku. "Alya bahkan sudah menikah lagi, Bu. Aku tidak mau kalah dari mantan istriku itu!" Suara Pak Rahman terdengar frustasi. Aku segera masuk mendengar pernyataan Pak Rahman. "Ibu ... ibu ... sudah menikah lagi?!" Aku sudah tidak bisa lagi bersembunyi dan mengintip. "Fal ...," lirih Nenek Ana seraya menatap iba padaku. "Ibumu itu sudah menikah lagi dengan mandor proyek. Hidupnya sudah enak sekarang. Dia bahkan pindah ke Jakarta. Dasar wanita mata duitan!" umpat Pak Rahman. Aku sungguh tidak bisa berkata apa-apa lagi. Aku hanya bisa menangis. Tanganku terkepal marah mendengar u*****n Bapak. "Lalu apa bedanya Bapak dengan ibuku?! Bapak juga mau menikah lagi kan?!" Aku menatap tajam pada Pak Rahman dengan air mata yang masih mengalir. "Bapak tidak mau kalah dari ibumu itu, Falisha! Dia saja bisa menikah lagi, masa Bapak tidak bisa?" Pak Rahman meghindari tatapanku. "Bapak dan Ibu egois! Kalian tidak ada yang ingat padaku! Aku benci kalian!" teriakku. "Apa menikah itu perlombaan? Biarkan saja Alya menikah lagi. Kamu seharusnya fokus pada Falisha saja!" bela Nenek Ana. "Tidak bisa begitu, Bu. Aku sudah berjanji menikahi Kina bulan depan." Pak Rahman tetap pada pendiriannya. Padahal aku sampai berteriak padanya. "Kina? Nama wanita itu Kina? Sepertinya Ibu pernah mendengarnya." Nenek Ana terlihat berpikir. "Apa dia janda desa sebelah? Yang benar saja Rahman! Dia itu terkenal sebagai wanita malam! Ibu tidak setuju!" tegas Nenek Ana. "Aku juga tidak setuju, Pak! Kalau Bapak menikah lagi, aku tidak mau menganggap Bapak sebagai bapakku lagi!" ancamku. "Terserah kalian setuju atau tidak! Aku kemari hanya mau memberitahu bukan meminta izin." Pak Rahman berdiri, kemudian pergi begitu saja meninggalkan aku dan Nenek Ana. Nenek Ana segera menghampiriku yang sedari tadi hanya berdiri, beliau memelukku yang sedang menangis. Akhirnya Nenek Ana ikut menangis. Mungkin dari tadi beliau ingin menangis, namun sekuat tenaga menahannya di depan Pak Rahman. "Maafkan bapakmu, Fal ... Nenek minta maaf ...," lirih Nenek Ana dalam pelukannya. "Kenapa ibu dan bapak tega padaku, Nek? Mereka berpisah tanpa memikirkan aku, padahal mereka berjanji kasih sayang mereka tidak akan berkurang, tapi mereka berbohong! Lalu sekarang mereka menikah lagi tanpa memperdulikan perasaanku! Aku benci mereka, Nek! Falisha benci ibu dan bapak!" "Sabar Falisha ... sabar. Nenek paham perasaanmu." Nenek Ana semakin erat memelukku. "Suatu saat mereka pasti akan sadar. Kamu jangan dendam pada mereka, bagiamanapun mereka orang tuamu. Jangan hanya mengingat kesalahan mereka, Fal. Ingatlah kebaikan-kebaikan mereka sebelum ini. Mereka merawatmu sejak kecil dan membesarkanmu dengan baik. Kamu anak yang baik, Nenek yakin kamu akan sukses!” Nenek Ana memberi nasihat dan pesan padaku. Mungkin ada benarnya ucapan Nenek Ana. Bagaimanapun sebelum ibu dan bapak merawat dan membesarkanku dengan baik selama ini, setidaknya sebelum mereka bercerai. Hidupku menjadi berantakan setelah mereka bercerai. Namun jauh sebelum itu, aku anak yang bahagia. Aku anak yang dielu-elukan oleh mereka. Semua permintaanku mereka usahakan meski tidak semuanya terpenuhi. Kasih sayang mereka begitu nyata sebelum semua ini terjadi. Adzan magrib berkumandang, aku menggelar sajadahku dan mendirikan salat. Mencurahkan isi hatiku pada Sang Pencipta. Selain pada Nenek Ana, aku merasa tidak punya tempat berbagi lagi. “Ya Allah … berikanlah umur panjang untuk Nenek Ana. Mudahkanlah jalanku menuju kesuksesan agar aku bisa membahagiakan nenekku. Dan bukakanlah pintu hati ibu dan bapak agar mereka mengingatku sebentar saja … agar mereka menyanyangiku sedikit lagi …,” lirihku. Aku menjadi lebih pendiam setelah tahu ibu dan bapakku telah menikah lagi. Bahkan rasanya aku malas bertemu Arsalan. Aku ketus padanya padahal dia tidak salah apa-apa. Aku menghindarinya seperti awal pertemuan kami, padahal kami sudah cukup akrab belakangan ini. Teman-temanku tidak ada yang peduli padaku. Ah, aku lupa tidak punya teman. Sebelum ini aku memang sudah pendiam dan jarang bergaul. Mana mungkin ada yang peduli dengan masalahku. Namun, tidak dengan Arsalan. Dia menyadari perubahan sikapku. Sepulang sekolah, aku sedang menunggu angkot di depan sekolah kami. Arsalan mengendarai motor dan berhenti tepat di depanku. Tentu semua mata tertuju padaku dan mereka mulai saling berbisik. Pasti mereka berpikir bagaimana bisa anak Kepala Sekolah menghampiri gadis seperti aku. “Ayo naik!” ajaknya. “Aku antar kamu pulang, Falisha.” “Tidak usah, Kak. Terima kasih. Aku akan naik angkot.” “Jangan buat aku malu, Falisha. Bisa-bisanya kamu menolak laki-laki setampan aku?” canda Arsalan. Aku melirik kanan dan kiri, dari pada terus menjadi pusat perhatian. Akhirnya aku naik ke motor Arsalan. Aku melihat senyum lebar di bibirnya. Motor pun melaju dan sepertinya ini bukan jalan pulang. “Kita mau kemana, Kak?!” Aku bertanya sedikit berteriak karena jalanan ramai dan berisik. “Ada deh!” sahutnya. Akhirnya aku memilih diam dan menurut saja. Terserah Arsalan mau membawaku kemana, yang pasti dia tidak akan mencelakakan aku. Aku tahu Arsalan anak yang baik. Kami sampai di suatu tempat, bisa dikatakan sebuah bukit. Namun kami harus menaiki tangga cukup banyak untuk sampai di atasnya. “Ya ampun, banyak sekali anak tangganya.” Aku mulai kelelahan dan memegang lututku dengan napas terengah-engah. “Sedikit lagi, Fal. Mau aku gendong?” tawarnya. “Tidak usah, Kak.” Aku kembali menegakkan badanku dan melanjutkan menaiki beberapa anak tangga lagi. Arsalan terlihat tidak kelelahan sama sekali. Apa dia sudah terbiasa kemari? Ah, aku lupa. Dia sudah terbiasa berolahraga, berlari setiap sore mengelilingi komplek atau jalan. Padahal aku juga terbiasa berjualan keliling, tapi kenapa bisa merasa selelah ini. “Akhirnya sampai juga!” pekikku. Aku segera duduk di salah satu bangku yang tersedia di atas bukit ini dan meluruskan kakiku. Cuaca hari ini cerah dan cukup terik, namun disini hawanya tetap terasa dingin. Aku bisa melihat Kota Bandung dari atas sini. Jika saja malam hari, mungkin pemandangannya akan terlihat lebih indah. “Kau suka?” tanya Arsalan. Aku mengangguk. “Terima kasih sudah mengajakku kemari, Kak. Aku baru tahu ada tempat seperti ini.” “Sama-sama. Jangan sedih lagi, Fal.” “Bagaimana Kakak tahu aku sedang sedih?” tanyaku heran. “Kamu menjadi lebih pendiam dan menghindariku. Kamu selalu menghindar jika memiliki masalah. Padahal kamu bisa menceritakannya padaku. Aku siap mendengarkan semua keluh kesahmu,” tawar Arsalan. “Kenapa Kakak mau mendengar keluh kesahku? Itu bukan hal yang penting.” “Itu penting bagiku. Aku ingin menjadi seseorang yang berarti untukmu.” “Apa maksud Kak Arsa?” “Aku menyukaimu, Falisha.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN