“Aku menyukaimu, Falisha.”
Aku bingung harus bersikap bagaimana. Ini pertama kalinya aku mendapat ungkapan cinta dari seseorang. Apa Arsalan serius dengan ucapannya? Dia menyukaiku? Tapi kenapa? Dari sekian banyak perempuan populer di sekolah, Arsalan malah memilih menyukaiku.
“Tapi kenapa?” Pertanyaan konyol itu pun terlontar dari mulutku.
Arsalan malah tertawa menanggapi pertanyaanku. “Respon macam apa itu? Aku menyukaimu, Falisha. Dan kamu malah bertanya kenapa?”
“Jangan menyukaiku, Kak,” larangku.
Alis Arsalan bertaut.
“Aku tidak pantas disukai oleh Kakak. Hidupku berantakan.” Aku merasa rendah diri di depannya, bahkan mungkin di depan semua orang.
“Ceritakan apapun masalahmu padaku, Fal. Jangan dipendam seorang diri. Aku siap mendengarkanmu kapan saja. Kamu tidak perlu balas menyukaiku, biar aku saja yang menyukaimu.”
Aku tersentuh mendengarnya. “Benarkah? Apa Kakak tidak akan meninggalkanku setelah tahu ceritaku?”
“Aku tidak akan meninggalkanmu.”
Janji Arsalan terdengar palsu. Karena aku pernah mendengar janji serupa dari orang tuaku yang kini diingkari.
Jujur aku bahagia bercampur takut mendengar janjinya. Apakah dia benar tidak akan meninggalkan aku? Atau dia akan menjadi pembohong seperti kedua orang tuaku?
"Tidak apa-apa jika kamu belum bisa cerita padaku." Arsalan menatap lurus ke depan.
Kami duduk berdampingan di kursi panjang dan hanya diam. Larut dalam pikiran masing-masing. Aku mengayun-ayunkan kakiku dan melirik Arsalan. Dia masih tetap menatap ke depan.
"Kak Arsa ...," panggilku.
"Hm?" Arsalan menengok padaku.
"Kakak janji tidak akan meninggalkanku setelah mendengar ceritaku?" tanyaku penuh harap.
Arsalan mengangguk mantap. "Aku janji. Apa ceritamu semenakutkan itu?"
Aku mengerucutkan bibirku dan membatin. Memangnya kisah hidupku cerita horor?
"Ibu dan bapakku bercerai kak, saat aku kelas sembilan menjelang ujian nasional ...." Aku memulai ceritaku.
"Maka dari itu kamu tinggal dengan nenekmu?" terkanya.
"Iya, Kak. Aku tinggal bersama Nenek Ana karena ibu dan bapak tidak ada yang mau membawaku."
"Kenapa?" Arsalan melontarkan pertanyaan yang aku sendiri tidak tahu jawabannya.
"Aku sendiri tidak tahu pasti kenapa. Mungkin bagi mereka aku merepotkan," jawabku asal.
"Mana mungkin begitu, Falisha. Orang tua mana yang merasa direpotkan anaknya?" sanggah Arsalan.
"Buktinya mereka tidak mau membawaku, Kak. Mereka menjual rumah dan membagi dua hasilnya. Jika saja Nenek Ana tidak membawaku, aku tidak tahu harus kemana ...!" Suaraku mulai bergetar. "Ibu dan bapak janji akan selalu menyayangiku. Mereka berbohong, Kak! Bahkan mereka kini menikah lagi ...." Tenggorokanku tercekat. "Ibu sudah menikah lagi dan pergi ke Jakarta bersama suami barunya. Dan bapak minggu depan akan menikah dengan janda desa sebelah. Mereka berdua tidak ada yang mengingatku, Kak ...!" Aku tak tahan lagi dan mulai menangis.
Arsalan menyandarkan kepalaku pada pundaknya, kemudian menepuk-nepuk, memenangkan aku. "Maafkan aku membuatmu menceritakan kisahmu yang akhirnya membuatmu menangis. Maafkan Kakak, Falisha ...," gumamnya.
Aku masih terus saja menangis. Tapi di sisi lain aku merasa lega. Bisa berbagi cerita dengan orang lain, setidaknya dengan orang yang bisa aku anggap sebagai teman.
Tangisku mulai mereda. Aku mengangkat kepalaku dari pundak Arsalan. "Maaf, Kak. Segaram Kak Arsa jadi basah karena air mataku." Aku mengusap-usap pundak Arsalan yang basah.
"Tidak apa-apa, Fal," sahut Arsalan, sambil tersenyum. "Terima kasih sudah mau berbagi cerita denganku. Lain waktu, aku akan membagi ceritaku denganmu."
"Kenapa tidak sekarang?"
“Apa kamu tidak mau pulang? Kita sudah dua jam disini." Arsalan melirik arloji di tangannya.
Aku langsung berdiri panik. Bagaimana jika Nenek Ana mencariku? Aku selalu pulang tepat waktu.
"Antarkan aku pulang, Kak! Nenek Ana pasti cemas menungguku." Bisa-bisanya aku tidak sadar waktu berlalu secepat ini.
Arsalan malah terkekeh melihat kepanikanku. "Iya-iya, tenang saja aku antar pulang. Tidak mungkin aku tinggal."
Akhirnya aku dan Arsalan pun menuruni ratusan tangga, untuk sampai di tempat Arsalan memarkirkan motornya.
***
Kami sampai di halaman rumah Nenek Ana. Benar saja, nenekku sedang berjalan mondar-mandir di depan rumah menungguku dengan cemas. Aku dan Arsalan mengucapkan salam dan mencium tangan Nenek Ana bergantian.
"Falisha ... kamu dari mana saja, Nak? Nenek khawatir."
"Maaf, Nek. Aku mengajak Falisha jalan-jalan sebentar," jawab Arsalan lebih dulu.
"Maafkan aku membuat Nenek cemas."
"Tidak, tidak apa-apa. Yang penting kamu baik-baik saja." Nenek Ana menjeda. "Masuk dulu, Nak Arsa? Temani Falisha, ya? Nenek mau berjualan kue bagelen."
"Biar aku saja, Nek!" tawarku. "Aku akan ganti baju sebentar lalu berjualan."
"Kamu istirahat saja, Fal. Biar Nenek yang berkeliling hari ini. Kamu tiap hari berjualan, anggap saja ini hari liburmu." Nenek Ana meninggalkan aku dan Arsalan.
"Jadi waktu di komplek rumahku, kamu berjualan kue bagelen?"
Aku mengangguk.
"Kenapa tidak menawarkannya padaku?"
"Aku malu, Kak."
"Kenapa?"
"Entahlah. Rasanya malu saja. Aku merasa rendah diri jika dekat-dekat Kak Arsa. Bahkan sepertinya dekat dengan siapapun aku merasa tidak pantas."
"Jangan pernah merasa rendah diri seperti itu, Falisha. Itu bukan hal baik. Rendah hati tidak masalah, tapi jangan rendah diri. Itu sangat jauh berbeda," nasihat Arsalan. "Dan kamu pantas berteman dengan siapa saja."
Arsalan memang benar. Rendah hati dan rendah diri itu berbeda. Seharusnya aku tidak boleh merendahkan diriku sendiri. Semua manusia sama di hadapan Allah, yang membedakan hanyalah amal ibadahnya. Bukan diukur dengan harta atau kisah hidup mereka. Tapi banyak manusia yang membeda-bedakan manusia lainnya. Membedakan dengan status sosial, harta, dan jabatan.
Maka dari itu, aku berharap di masa depan akan menjadi seseorang yang bisa mengangkat status sosial keluargaku. Jika memungkinkan aku ingin menjadi orang yang mempunyai banyak harta, dan mempunyai jabatan. Apakah harapanku terlalu tinggi? Biarlah mimpiku terlalu tinggi, bukankah mimpi itu gratis? Namun tentu saja aku akan berusaha keras mewujudkan mimpiku itu.
***
Aku sedang berkeliling menjajakan kue bagelen seperti biasa. Di salah satu rumah yang aku tahu rumah Bu Kina--Janda Kembang desa tetangga, cukup ramai orang. Sepertinya sedang ada acara, padahal biasanya rumah itu selalu tertutup rapat.
"Fal! Falisha! Kemari! Aku mau beli kue bagelenmu!" teriak salah satu ibu-ibu dari depan rumahnya.
"Iya, Bu!" balasku.
Aku berjalan menuju rumah Bu Diah, orang yang memanggilku tadi. Rumahnya berselang dua rumah dari rumah Bu Kina.
"Bapakmu jadi menikah dengan Kina, Fal?"
Aku sedang memasukkan kue bagelen ke dalam plastik pun berhenti mendengar pertanyaan Bu Diah.
"Bapak?" Aku mengerenyitkan dahi.
Ah, aku baru ingat. Bapak bilang akan menikah dengan Janda Kembang itu dan namanya Kina. Ternyata hari ini mereka menikah. Aku tersenyum kecut.
"Kenapa Bapakmu mau menikahi Kina? Padahal janda itu terkenal sebagai wanita malam," cibir Bu Diah kemudian memberikan uang.
"Aku tidak tahu, Bu. Dan itu bukan urusanku.” Aku menyerahkan kue bagelen beserta uang kembalian. "Terima kasih, Bu. Saya permisi."
Aku pamit pada Bu Diah. Kemudian menatap benci pada rumah Bu Kina. Apa seharusnya aku masuk saja dan mengacaukan pernikahan bapakku? Aku mengurungkan niatku dan berjalan melewati rumah itu dengan perasaan hancur.
Bapak lebih memilih kebahagiaan untuk dirinya sendiri tanpa memikirkan aku, begitu pula dengan ibu. Bahkan semenjak bercerai, ibu tak pernah sekalipun menghubungiku atau sekadar menanyakan keadaanku. Ibuku tidak pernah sama sekali datang menemuiku setelah hari itu.
Aku terus berjalan, tanpa terasa air mataku mengalir begitu saja, buru-buru aku menghapusnya. Aku tidak boleh lemah seperti ini.
Dari kejauhan aku melihat seseorang sedang berlari. Aku menyipitkan mataku karena sepertinya aku mengenalnya.