Aku menyipitkan mataku karena sepertinya aku mengenalnya. Saat dia mulai mendekat ... benar saja, dia Arsalan Daffa. Dia memang suka berlari pada sore hari, seperti saat menolongku jatuh dari sepeda, dia sedang berolahraga.
"Falisha!" sapanya dengan senyum mengembang.
"I-iya, Kak." Aku tersenyum kikuk.
"Kamu menangis?" Arsalan menatap pada kedua bola mataku.
"Tidak, Kak. Tadi kelilipan," elakku.
"Kenapa? Ada yang menyakitimu?" Arsalan tidak percaya jawabanku.
Aku menggeleng.
"Apa kue bagelenmu masih banyak?" Arsalan mengambil box container dari tanganku dan melihat isinya. "Kamu menangis karena daganganmu masih banyak?"
Sontak aku tertawa mendengarnya. Aku tidak secengeng itu. Mana mungkin aku menangis hanya karena daganganku belum habis. Dan lagi kue bagelen bisa dijajakan di lain hari, tidak sehari langsung basi.
"Aku senang melihatmu tertawa," ucap Arsalan tulus. "Aku akan membeli semuanya jika kamu menangis karena ini."
"Tidak, Kak. Sudah aku jawab, aku hanya kelilipan." Aku merebut kembali daganganku dari tangan Arsalan. "Kak Arsa tidak perlu membeli semuanya hanya untuk menyenangkan aku."
"Memangnya salah menyenangkan hati perempuan yang aku sukai?" godanya.
"Kak!"
Arsalan terkekeh melihat wajahku yang memerah malu.
"Jangan menggodaku terus!" larangku. Karena aku takut benar-benar jatuh cinta pada Kak Arsa, lanjutku dalam hati.
Arsalan tetap bersikeras membeli semua kue bagelenku, tapi tentu saja aku melarangnya untuk membeli semuanya. Aku tidak yakin dia akan memakan semuanya dan takut menjadi mubazir. Jadi dia hanya membeli tiga bungkus, bahkan dia menemaniku berkeliling. Bukankah dia laki-laki yang manis? Dia tidak malu berkeliling menjajakan kue bagelen bersamaku.
***
Tanpa terasa sudah satu semester aku bersekolah disini. Hari-hariku selanjutnya tidak ada yang spesial. Aku sudah mulai bisa bergaul karena dinasihati oleh Arsalan. Aku mulai mengobrol dengan beberapa teman sekelasku. Aku masih rutin ke perpustakaan dan membaca buku bersama Arsalan. Aku bahagia beberapa bulan belakangan ini. Sederhananya karena bertemu dengan laki-laki baik, seperti Arsalan. Aku terus memohon dalam hati ... biarkan aku bahagia sebentar saja.
Sesekali terdengar obrolan yang mencibirku, karena aku dekat dengan Arsalan. Aku tidak menggubrisnya. Arsalan juga selalu mengingatkanku untuk tidak rendah diri. Dia selalu meyakinkanku, bahwa aku pantas berteman dengan siapapun, termasuk dirinya.
Aku dan Arsalan ke luar dari perpustakaan dan berjalan beriringan. Saat melewati lapangan, kami berpaspasan dengan Ibunya Arsalan, Bu Rianti, yang juga Kepala Sekolah. Aku menunduk sopan dan menyapanya.
“Daffa … siapa dia?” tanya Bu Rianti pada Arsalan, kemudian melihatku dari atas sampai bawah.
“Dia temanku, Bu. Namanya Falisha,” jawab Arsalan.
Aku menatap Bu Rianti sebentar dan tersenyum, lalu menunduk lagi. Tidak berani menatap Bu Rianti terlalu lama.
“Ibu rasa … Ibu tidak pernah melihatnya.”
“Dia anak kelas sepuluh, Bu.”
“Oh, pantas saja. Apa pekerjaan orang tuamu?” Bu Rianti menanyaiku pertanyaan yang tak pernah aku duga.
“Ibu!” tegur Arsalan.
Aku menautkan jemariku, bingung harus menjawab apa pada Bu Rianti. Aku lihat Bu Rianti menarik Arsalan sedikit menjauh dariku.
“Daffa, kenapa kamu dekat dengan anak seperti dia?”
Walaupun mereka sedikit menjauh, sialnya aku masih bisa mendengar percakapan mereka. Dan itu menyakitiku.
“Apa maksud Ibu? Falisha gadis yang baik dan pintar. Bahkan dia mendapatkan beasiswa!” sanggah Arsalan.
“Bukan itu maksud Ibu, Daffa. Lihat saja penampilannya ….” Bu Rianti melirik padaku yang seragamnya mungkin terlihat lusuh di matanya.
Aku menegarkan diriku. Menengadahkan kepalaku agar air mataku masuk kembali.
“Kita bicarakan lagi di rumah. Ternyata desas-desus itu benar, kamu sedang dekat dengan seorang perempuan. Tapi Ibu sama sekali tidak menyangka dia orangnya. Ibu pergi dulu.” Bu Rianti meninggalkan Arsalan dan melewatiku begitu saja.
“Fal …,” panggil Arsalan.
“Iya, Kak.” Aku menjawab dengan senyuman palsu.
“Maafkan ibuku,” pintanya.
“Tidak apa-apa, Kak Arsa. Aku kembali ke kelas dulu ya, Kak.” Aku berjalan cepat meninggalkan Arsalan.
Semua orang memanggilnya Daffa, hanya aku yang memanggilnya Arsa. Entahlah aku lebih nyaman memanggilnya dengan nama itu. Agar berbeda dari yang lain dan Arsalan selalu mengingatku.
Saat berjalan menuju kelas, aku bertemu salah satu kakak kelasku, Liona, yang merundungku karena dekat dengan Arsalan. Anehnya dia menghindariku dan seakan-akan tidak melihatku. Malah raut wajahnya terlihat ketakutan. Sebenarnya apa yang sudah terjadi? Tadinya aku tidak mau tahu, tapi kini aku penasaran.
Saat Liona melewatiku, aku berbalik dan memanggilnya. “Kak Liona!” sapaku.
Liona berhenti namun tidak berbalik. Sehingga aku menghampirinya dan berdiri di hadapannya. “Kakak kenapa menghindariku?”
“Aku tidak ingin punya masalah denganmu!” ketusnya.
“Apa maksud Kakak?” tanyaku tidak mengerti.
“Jangan pura-pura bodoh. Seharusnya kamu bersyukur aku dan teman-temanku membiarkanmu. Jika bukan Daffa yang memintanya kami sudah ….” Liona menutup mulutnya, sepertinya dia kelepasan bicara. “Sial!” umpatnya. Liona menghentakkan kakinya lalu pergi meninggalkanku.
Jadi mereka tidak lagi menggangguku karena Arsalan. Tanpa aku sadari aku tersenyum, ternyata Arsalan begitu perhatian padaku. Tapi bagaimana dia tahu ketiga kakak kelasku itu merundungku? Rasanya aku tidak pernah bercerita hal itu kepadanya. Aku akan tanyakan padanya lain waktu. Akhirnya aku kembali melangkahkan kakiku menuju ruang kelasku. Sejenak aku lupa, bahwa beberapa menit yang lalu, aku bertemu Bu Rianti dan mendapat tatapan tidak suka darinya.
***
Aku janji bertemu dengan Arsalan di taman komplek perumahannya. Aku jadi bebas keluar masuk karena Arsalan berkata pada satpam bahwa aku adalah teman dekatnya. Aku sudah menunggu kurang lebih 30 menit, namun Arsalan belum juga muncul. Tidak seperti biasanya. Arsalan selalu tepat waktu, bahkan datang lebih awal. Dia tidak pernah terlambat.
Aku sudah berdiri dan berniat pergi. Namun kakiku terasa membeku dan tak bisa digerakkan. Bu Rianti ada di hadapanku. “So-sore Bu …,” sapaku lalu menunduk.
“Kamu janjian dengan Daffa disini? Dia tidak akan datang.” Bu Rianti melipat kedua tangannya di d**a.
“I-iya Bu,” jawabku gugup.
“Falisha, kamu anak yang pintar bukan? Pasti kamu pintar, karena kamu mendapat beasiswa.” Entah itu sebuah pujian atau sindiran.
Aku mulai memejamkan mata, bersiap untuk mendengarkan perkataan Bu Rianti selanjutnya.
“Ibu harap kamu mengerti karena Ibu hanya akan mengatakannya satu kali. Jauhi Daffa.” Bu Rianti berkata dengan tegas. Kemudian berlalu begitu saja meninggalkanku, tanpa menunggu jawabanku.
Lagi pula tenggorokanku tercekat, aku tidak mampu membalas perkataannya. Jadi Arsalan tidak datang karena Bu Rianti melarangnya. Sesuai permohonanku, aku meminta dibiarkan bahagia sebentar. Namun ini terlalu singkat. Dasar aku manusia tidak tahu diri. Aku sendiri yang meminta sebentar, tapi malah kini aku juga yang protes karena secepat ini kebahagianku lewat.
Aku berjalan meninggalkan taman komplek dengan hati yang hancur sekali lagi. Bahkan dekat dengan seorang laki-laki pun aku tidak diperbolehkan. Temanku bilang aku cantik dan pintar, namun ternyata itu belum cukup. Apa aku harus terlahir dari anak pejabat agar bisa dekat dengan Arsalan? Apa mencintai seseorang syaratnya sesulit itu?
Ponselku berbunyi ada pesan masuk dari Arsalan.
Maafkan aku Falisha tidak bisa menemuimu sore ini. Aku akan menjelaskannya di sekolah. Jangan hiraukan perkataan ibuku. Tolong maafkan jika ada ucapannya yang menyakitimu.
Aku memilih tidak menjawab pesan dari laki-laki yang aku sukai itu. Arsalan menyukaiku, dan aku juga menyukainya. Walaupun aku tidak pernah mengungkapkan perasaanku padanya. Kami juga tidak pernah meresmikan hubungan kami, entah apa namanya itu. Pacar? Aku tidak pernah menganggapnya seperti itu. Aku hanya berteman dan menghormatinya sebagai kakak kelasku, namun entah bagaimana Arsalan menganggapku.