Bab 8 Sakit Hati

1075 Kata
Pada jam istirahat aku memutuskan untuk tetap di kelas dan tidak ke perpustakaan. Aku tidak ingin bertemu Arsalan. Aku tahu ini bukan salahnya, tapi aku rasa perkataan Bu Rianti benar. Aku tidak pantas bersama anaknya, bahkan untuk sekadar berteman. “Fal, aku ke kantin ya. Mau ikut?” ucap Lili, teman sebangkuku. Kami jadi lebih akrab, padahal tadinya kami hanya berbicara seperlunya walaupun kami teman sebangku. “Tidak, Li. Aku di kelas saja, sedang malas kemana-mana.” Lili pun mengangguk dan pergi ke kantin sendirian. Aku melipat tanganku di atas meja, kemudian menaruh kepalaku di atasnya berniat untuk tidur sebentar. Baru saja aku memejamkan mataku, kursi di sebelahku seperti ada yang menarik dan ada yang duduk disana. Aku pun langsung mengangkat kepalaku. “Katanya ke kantin Li ….” Aku tidak melanjutkan ucapanku. Aku kira Lili kembali lagi, ternyata Arsalan yang duduk di sampingku. “Kak Arsa,” gumamku. “Kenapa kamu tidak ke perpustakaan?” “Sedang malas baca, Kak.” “Kenapa kamu tidak membalas pesanku?” “Tidak punya pulsa.” “Kalau begitu aku akan isi.” Arsalan mengeluarkan ponselnya dari dalam saku. “Jangan, Kak!” larangku. “Maaf, aku berbohong. Aku sedang tidak ingin menemui Kak Arsa.” “Kenapa?” Aku terdiam. “Ibuku bicara apa padamu?” Aku kebingungan mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaan Arsalan. Aku melirik kesana-kemari, padahal tidak ada juga yang bisa membocorkan jawaban pertanyaan darinya. “Tidak bicara apa-apa, Kak.” “Lalu kenapa kamu bersikap seperti ini padaku?” Aku semakin gugup. Kenapa pertanyaan Arsalan sulit sekali. Aku membasahi bibirku karena terasa kering sekarang. “Tidak apa-apa, Kak.” “Jangan bohong lagi, Falisha. Katakan yang sejujurnya padaku,” pinta Arsalan penuh harap. “Kak, lebih baik kita tidak usah saling mengenal lagi.” “Kenapa? Kenapa aku tidak boleh dekat dengan perempuan yang aku sukai?” Karena kita berbeda. Batinku. “Aku tidak menyukai, Kakak.” “Kamu bohong lagi, Fal. Aku tahu perasaanmu padaku.” “Dari mana Kak Arsa tahu? Aku tidak pernah memberitahu Kakak.” “Dari sorot matamu, dari sikapmu padaku. Itu sudah menjelaskan semuanya, Falisha.” “Jangan terlalu percaya diri, Kak. Aku menyukai laki-laki lain.” Tangan Arsalan mengepal. “Siapa dia? Akan kuberi pelajaran.” Baru kali ini aku melihat Arsalan kesal seperti ini. Biasanya dia selalu bisa menjaga emosinya. “Aku rasa Kak Arsa tidak perlu tahu. Sebaiknya Kakak pergi dari kelasku sekarang.” Arsalan bangkit dan pergi tanpa berucap apa pun lagi. Sungguh hatiku hancur berkata sekasar itu pada Arsalan. Tapi itu semua agar dia mau menjauhiku. Membenciku pun tak apa. Aku sudah biasa tidak punya siapa-siapa. *** Arsalan benar-benar menjauhiku beberapa hari ini. Bukankah seharusnya aku merasa senang? Namun aku justru merasa sebaliknya. Aku merasa sedih sekali. Tidak biasanya Arsalan menurut saja seperti itu. Aku berusaha menegarkan diriku. Seperti hari ini, aku berpapasan dengannya di perpustakaan. Bola mata kami bertemu dan saling memandang. Arsalan segera mengakhiri tatapan kami yang hanya beberapa detik saja. Kemudian melangkah begitu saja melewatiku. Aku sampai menahan napasku begitu dia tepat di sampingku, karena takut napasku mengganggunya. Kenapa diabaikan olehnya rasanya sesakit ini? Aku melanjutkan langkahku menuju rak buku dan memilih beberapa buku untuk tugasku. Setelah mendapat buku yang aku cari, aku pun berbalik. Betapa terkejutnya aku, ketika berbalik Arsalan ada di belakangku. Aku bahkan sampai menjatuhkan bukuku. Aku memungut bukuku yang terjatuh, begitupun dengan Arsalan. Sampai tangan kami bersentuhan karena berebut mengambil buku. Aku mengangkat wajahku menatapnya, dan lagi-lagi Arsalan juga tengah menatapku. Cepat-cepat aku merebut bukuku dan hendak pergi, namun tangan Arsalan mencekal lenganku. "Sampai kapan kamu mau menghindariku?" tanyanya berbisik, karena kami sedang di perpustakaan. "Aku tidak menghindari Kakak," elakku. "Kak Arsa yang menghindariku." "Bukankah itu maumu?" "Ya, itu memang mauku. Jadi tolong lepaskan tangan Kakak," pintaku dingin. Arsalan melepaskan cekalannya dan berbalik meninggalkanku. Setelah memastikan dia menjauh, mataku mulai berembun. "Maafkan aku, Kak ...," lirihku. Aku mencari tempat duduk, dan menengok kesana-kemari. Aku tidak melihat Arsalan lagi. Sepertinya dia sudah pergi dari perpustakaan. Aku menghela napas gusar. Aku sadar telah menyakiti hatinya lagi. Aku batalkan niatku untuk membaca buku, aku taruh kembali ke dalam rak dan keluar perpustakaan. Saat berjalan menuju kelas, aku melihat Arsalan sedang mengobrol dengan siswi perempuan. Sepertinya obrolan mereka begitu mengasyikkan, Arsalan bahkan sampai tertawa. Aku tersenyum sinis, menertawai diriku sendiri. Merutuki hatiku yang kini tengah cemburu. Aku tidak suka Arsalan tertawa dengan perempuan lain. Namun aku juga tidak bisa melarangnya, karena aku tak punya hak apapun atasnya. Aku melanjutkan langkahku menuju kelasku dan berusaha mengabaikan Arsalan. Sepulang sekolah seperti biasa aku menunggu angkot. Lagi, kulihat Arsalan membonceng siswi perempuan yang saat jam istirahat tadi mengobrol dengannya. Arsalan sepertinya sengaja agar aku melihatnya, buktinya dia melajukan motornya begitu pelan. Aku segera berbalik memalingkan pandanganku, menunggu Arsalan menjauh dari jangkauan penglihatanku. Kuakui perempuan yang bersama Arsalan cantik dan terlihat anggun. Tapi aku tidak mengenal siapa dia. Aku berusaha untuk tidak peduli dan mengabaikannya, namun rasanya tak bisa. Aku bahkan melamun di dalam angkot, sampai-sampai terlewat dari tempat pemberhentianku. Meski tidak terlalu jauh, tapi rasanya melelahkan. Aku berjalan kaki sambil menggerutu sendiri. Sesekali aku menendang kerikil yang ada di depan kakiku. Kini sasaranku sebuah kaleng minuman yang sudah kosong, aku menendangnya sedikit keras. Hingga terdengar suara seseorang mengaduh yang membuatku terkejut. "Ma-maafkan aku." Aku segera menghampiri orang itu. "Ah, tidak apa-apa," jawabnya. "Kamu sekolah di SMAN 8 Bandung?" "Iya." Dia pasti melihat simbol di seragamku. "Aku juga, kamu kelas berapa?" tanyanya. "Kelas 10. Permisi, aku mau lewat." Aku tebak dia seumuran atau beberapa tahun di atasku. "Berarti aku kakak kelasmu. Aku kelas 12." Siapa yang tanya? batinku. "Oh, iya, Kak. Permisi saya mau lewat." Aku lelah harus mengulang ucapanku. "Kenapa buru-buru? Siapa namamu?" Kakak kelasku itu malah mengajak wawancara. "Falisha, Kak." "Aku Ardan." Ardan mengulurkan tangannya. Aku menyambut tangannya sebentar lalu langsung melepasnya. "Sudah ya, Kak. Saya mau lewat." "Silahkan, Falisha." Ardan membuka jalan yang sejak tadi dihalanginya. Aku pun menunduk berterima kasih dan kembali berjalan. Untuk sampai di rumah aku harus dua kali naik angkot. Dan ini malah terlewat dari tempat menunggu angkot keduaku. Setelah berjalan cukup jauh akhirnya aku sampai juga, sialnya tidak ada angkot yang mengetem. Padahal biasanya ada beberapa. Hari ini panasnya begitu terik. Aku sudah berjalan dan kini harus berdiri. Andai saja aku tidak menghindari Arsalan, aku bisa meneleponnya dan dia pasti mau menjemputku. Tidak, aku tidak boleh melakukannya. Segera kubuang jauh-jauh pikiran itu. Hampir setengah jam aku berdiri, akhirnya ada angkot yang kutunggu sedari tadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN