Pagi ini aku berangkat lebih pagi, aku sudah berjalan masuk melewati gerbang sekolah. Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku.
"Falisha!" sapanya ceria.
Aku pun berhenti dan berbalik. "Kak Ardan?"
"Kamu masih mengenaliku rupanya. Aku kira kamu lupa," kekehnya.
Ardan sepertinya tipe orang yang periang dan mudah akrab. Tidak sepertiku.
"Mana mungkin aku lupa. Aku kan menendang kaleng kosong dan mengenai Kak Ardan. Maafkan aku ya kak?"
"Aku maafkan asal kamu makan di kantin bersamaku hari ini." Ardan mengedipkan sebelah matanya, lalu meninggalkanku yang hanya bisa mematung.
Saat jam istirahat tiba, aku pun ikut ke kantin bersama Lili. Aku takut Ardan tidak memaafkanku jika aku tidak menuruti permintaannya. Lagi pula apa susahnya makan bersama?
Aku mencari-cari sosok Ardan, sepertinya dia tidak ada. Sedangkan Lili sudah menuju warung langganannya. Aku pun hendak pergi meninggalkan kantin, sepertinya Ardan hanya bercanda pagi tadi.
"Hai, Fal!" sapa Ardan. "Apa kamu mencariku?"
"Ti-tidak, Kak. Aku memang mau kesini,” jawabku gugup.
"Sepertinya aku tidak pernah melihatmu di kantin. Makanya aku sedikit terkejut melihatmu di jalan kemarin. Aku tak pernah tahu ada siswi secantik dirimu di sekolah ini,” goda Ardan.
"Jangan ganggu dia!" Suara itu terdengar marah.
Aku dan Ardan menengok ke sumber suara, dan ternyata suara itu berasal dari Arsalan.
"Kenapa Daffa? Apa dia juga milikmu?" Ardan tersenyum sinis pada Arsalan.
Arsalan menarik tanganku agar berada di sampingnya. "Aku peringatkan, Ardan Pratama. Jangan dekati Falisha!"
"Santai saja, Arsalan Daffa." Ardan kemudian menatap padaku. "Apa Daffa kekasihmu, Fal?"
Aku menggeleng ragu-ragu. Aku bahkan tidak tahu apa status hubunganku dengan Arsalan.
"Lihatlah, Daf! Falisha bahkan tidak mengakuinya. Sepertinya kemarin aku lihat kau berboncengan dengan Hanin?"
Ah, ternyata namanya Hanin. Cetusku dalam hati.
"Bukan urusanmu!" sentak Arsalan.
"Falisha, tepati janjimu. Bukankah kamu ingin makan denganku? Baru aku maafkan kejadian kemarin.” Ucapan Ardan membuat dahi Arsalan berkerut.
“Kejadian apa?"
“Bukan urusanmu!” Giliran Ardan yang menyentak Arsalan.
"Iya, Kak." Aku menyahut cepat. "Kak Arsa, aku ---"
Giliran Ardan yang menarik lenganku agar mendekat dengannya. "Kamu tidak perlu izinnya untuk makan denganku."
Terlihat rahang Arsalan mengetat mendengar ucapan Ardan. Sepertinya Arsalan dan Ardan mempunyai masalah serius. Arsalan menatap tajam padaku dan Ardan bergantian kemudian pergi. Aku pun jadi makan di kantin bersama Ardan.
"Kak," panggilku setelah makanan kami habis.
"Iya, Fal?" Suara Ardan begitu menenangkan, tidak seperti saat berdebat dengan Arsalan.
"Kak Ardan ada masalah apa dengan Kak Arsa eh maksudku Kak Daffa?" Jujur saja aku penasaran.
"Kenapa kamu memanggilnya Arsa? Semua orang memanggilnya Daffa." Ardan sepertinya menghindari pertanyaanku.
"Aku sudah terbiasa, Kak."
"Apa kamu sedekat itu dengannya?"
"Tidak juga, Kak. Maaf jika pertanyaanku menyinggung Kak Ardan."
"Tidak apa-apa, Falisha. Kamu mau tahu masalahku dengan Daffa?" tawarnya.
Aku mengangguk. "Jadi pacarku dulu, baru kuberi tahu."
Mataku membulat seketika. Sepertinya ada yang salah dengan otak Ardan.
"Aku bercanda, Falisha!" Ardan tertawa puas melihat ekspresiku.
Aku menghela napas lega. Bisa-bisanya baru kenal kemarin, tiba-tiba aku diminta menjadi pacarnya.
"Sepertinya sebentar lagi jam istirahat berakhir, Kak. Kalau begitu aku akan kembali ke kelas. Terima kasih atas makanannya." Aku berdiri dan menunduk sopan. Aku segera berjalan cepat menjauhi Ardan.
Sampai di kelas aku malah melamun, sambil dalam hati mengulang-ulang nama Hanin. Nama itu menganggu pikiranku. Aku tidak habis pikir dengan Arsalan, kemarin dia berboncengan denga Hanin, tapi hari ini dia marah padaku karena aku dekat dengan Ardan. Ponsel dalam sakuku bergetar, ada SMS masuk dari Arsalan.
Jangan dekat-dekat dengan Ardan.
Apa pedulinya? Memangnya dia siapa melarangku untuk berteman? Bukankah dia yang mengajariku untuk berteman dengan siapa saja. Ardan baik dan periang, kenapa aku harus menjauhinya? Banyak pertanyaan muncul di pikiranku, yang jawabannya hanya bisa aku dapat dari Arsalan. Tapi aku memilih untuk tidak bertanya padanya.
Bel tanda jam pelajaran usai berbunyi, saat aku ke luar dari kelas. Arsalan sudah menunggu di depan kelasku. Aku menatapnya sebentar kemudian memilih mengabaikannya dan berjalan. Namun saat hendak melewatinya, dia menghadangku.
"Pulang bersamaku ya?" pintanya, membuatku mendelik.
"Bukankah kemarin Kakak membonceng perempuan lain? Kemana dia?" sindirku.
"Kenapa? Kamu cemburu? Tidak ada apa-apa aku dengannya,” terang Arsalan.
"Tentu saja tidak. Di antara kita pun tidak ada apa-apa. Untuk apa aku cemburu?"
Senyum samar terbit dari bibir Arsalan. "Tapi sikapmu mengatakan sebaliknya."
Sepertinya aku kalah berdebat. Aku biarkan teman-teman sekelasku melewati kami. Aku tak ingin mereka mendengar perdebatan tidak penting ini.
"Akui saja, Fal. Dan berhenti menjaga jarak denganku."
"Bukan keinginanku menjaga jarak dengan Kak Arsa."
Arsalan menaikkan satu alisnya. "Apa ini permintaan ibuku?" terkanya kemudian.
Aku memejamkan mata dramatis, sepertinya aku kelepasan bicara.
"Tidak, bukan seperti itu. Aku hanya ingin bersekolah normal, Kak. Maksudku, sejak dulu tujuanku bersekolah hanya belajar dan aku tak ingin ada tujuan lain. Tapi sejak bertemu Kakak, tujuanku ke sekolah bukan lagi hanya untuk belajar. Tujuanku ke sekolah untuk melihat dan bertemu Kakak. Aku takut ini menganggu pelajaranku."
Kini senyum sempurna tercetak di bibir Arsalan. "Kamu ingin melihat dan bertemu aku setiap hari?"
"Kak, bukan itu poin pentingnya!" pekikku tertahan.
"Aku duga kamu menjauhi karena permintaan ibuku. Karena saat kita janjian di taman, ibuku melarangku pergi. Beliau berkata akan menemuimu. Tapi ibuku tidak mengatakan hal apa saja yang kalian bicarakan."
"Ya, memang benar. Kuakui sekarang, daripada aku harus berbohong terus. Bu Rianti berkata padaku untuk menjauhi Kakak. Jadi tolong ... jangan ganggu aku lagi, Kak."
"Apa salahnya berteman?" Sungguh pertanyaan yang tidak perlu dijawab.
"Tanyakan saja pada Ibu Kepala Sekolah, apa salahnya aku dan Kak Arsa berteman?" Aku berlalu begitu saja meninggalkan Arsalan.
Baru saja lolos dari Arsalan, kini aku dihadang oleh Ardan bahkan sebelum aku sampai di pintu gerbang.
"Ada apa lagi, Kak?" Rasanya melelahkan meladeni dua kakak kelasku hari ini.
"Aku ingin mengajakmu pulang bersamaku.”
"Terima kasih atas tawarannya, Kak. Aku bisa pulang sendiri," tolakku halus.
Sayangnya tidak semudah itu Ardan membiarkanku pergi. Aku ke kanan, dia ke kanan. Aku ke kiri, dia ke kiri. Sengaja sekali menghalangi jalanku.
"Aku tidak suka ditolak, Falisha," katanya dengan senyum yang tidak dapat kuartikan.
"Menjauh darinya!" teriak Arsalan yang kini ada di belakangku.
"Ada pawangnya rupanya.” Ardan memandang Arsalan dengan tatapan mengejek. “Apa kamu tahu dia anak Kepala Sekolah?" tanya Ardan berbisik padaku, namun tidak aku jawab. "Pasti kamu tahu. Tapi ada satu lagi hal yang harus kamu tahu, dia anak wanita ---"
Bug! Satu pukulan mendarat di pipi Ardan, sebelum dia menyelesaikan kalimatnya.
"Kak!" Aku terkejut bukan main Arsalan bisa meninju Ardan.
"Tutup mulutmu!" Tangan Arsalan masih mengepal penuh amarah.
Ardan memegangi pipinya yang ditinju Arsalan dan tertawa sumbang. "Kamu takut Falisha tahu, hah?" ejeknya.
"Fal, kita pulang bersama lain waktu ya? Hari ini ada penganggu." Ardan melambaikan tangan padaku dan pergi.
Tubuhku sepertinya lemas sekali, melihat Arsalan bisa meninju seseorang. Dia padahal terlihat begitu baik dan tenang. Ada perasaan takut yang hinggap.
"Maaf aku mengejutkanmu," katanya. "Kamu baik-baik saja?"
Aku hanya mengangguk.
"Jauhi Ardan, Fal ... ini untuk kebaikanmu. Aku takut dia menggunakanmu untuk balas dendam padaku.” Arsalan menatapku penuh harap.
"Kenapa dia ingin balas dendam pada Kakak?" Aku tidak bisa menahan rasa penasaranku lagi.
"Aku sudah janji akan bercerita mengenai kehidupanku padamu, kan? Pulang bersamaku dan aku akan menceritakan semuanya."
Aku terdiam menimbang tawaran Arsalan. Aku sudah menceritakan kisah kehidupanku padanya, dan dia juga berjanji akan bercerita balik. Arsalan belum menepati janjinya, sudah lebih dulu ibunya mendatangiku dan berkata padaku untuk menjauhinya.
"Tidak hari ini, Kak. Aku harus izin pada Nenek Ana jika akan pulang terlambat, agar nenekku tidak khawatir seperti kemarin."
"Baiklah. Besok ya?" desaknya.
Aku pun mengangguk dan kami berpisah.