Bab 17 Kehilangan Nenek Ana

1277 Kata
Aku berjalan dari depan gang menuju rumah sambil bersenandung, pasti Nenek Ana akan sangat bahagia mendengar bahwa aku mendapatkan beasiswa. Aku memperlambat langkahku saat melihat banyak orang di rumah Nenek Ana. Dan yang membuat aku seketika menghentikan langkahku adalah ada bendera kuning yang terpasang di pagar bambu rumah Nenek Ana. Siapa yang meninggal? Tidak mungkin nenekku, tadi pagi dia baik-baik saja. Aku melanjutkan langkahku dengan rasa takut menyelimuti. Tepat di depan rumah Nenek Ana, aku mematung. Salah satu tetanggaku menghampiriku dan menangis. “Yang sabar ya, Fal … Nenek Ana sudah tiada.” Aku merasa duniaku runtuh saat itu juga. Nenek Ana adalah alasanku bertahan di dunia ini, ketika orang tuaku bahkan tidak memperdulikanku lagi. Beliau tempatku berkeluh kesah dan membagi cerita. Aku bahkan berjanji akan berjuang untuk bisa membahagiakan Nenek Ana. Rasanya kini semua usahaku sia-sia. Aku bahkan belum menyampaikan berita bahagiaku hari ini. Aku bahkan belum sempat membahagiakan nenekku. Aku belum sempat membalas segala kebaikan Nenek Ana padaku. Mengapa Nenek Ana tega meninggalkanku secepat ini? Aku menguatkan diri dan melangkah masuk ke dalam rumah. Melihat tubuh Nenek Ana terbujur kaku ditutupi oleh kain. Aku ambruk seketika di depannya. "Nek ... bangun Nek ...!" Aku menangis histeris. "Nek, jangan tinggalkan aku ... aku mohon bangun, Nek ... aku tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini selain Nenek Ana. Jangan tinggalkan aku!" raungku, seperti orang sudah tidak waras. "Istighfar Falisha, istighfar." Bu RT menenangkanku dan memelukku. "Tadi pagi Nenek Ana baik-baik saja, kenapa dia bisa seperti ini?" "Dia menjadi korban tabrak lari Fal," jawab Bu RT. "Salah satu warga melihat sebuah mobil hitam menabrak Nenek Ana, kemudian langsung kabur, dia belum sempat melihat nomor platnya. Saat kejadian kebetulan jalanan sedang sepi," papar Bu RT kemudian, yang mampu membuat tangisku makin menjadi. "Tidak, ini tidak mungkin. Ini pasti mimpi!" Aku menampar-nampar pipiku sendiri dengan cukup keras, yang hal itu sontak membuat orang-orang yang ada berusaha menghentikan tindakanku. "Sudah, Fal, sudah!" Bu RT kembali memelukku. "Ikhlaskan Nenekmu, Fal." "Bagaimana aku bisa mengikhlaskan Nenek Ana? Aku tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini! Bahkan kedua orang tuaku pun tidak peduli padaku!" Aku memindai orang-orang yang ada di ruangan. "Dimana bapakku?! Dimana Pak Rahman?! Dimana anak Nenek Ana yang tidak tahu diri itu?!" Aku sepertinya sudah benar-benar gila karena mengatai ayahku sendiri. Terdengar suara ucapan salam, Bibi Mina datang, yang aku tahu dia adalah adik dari bapakku. Aku pernah mendengar cerita dari Nenek Ana bahwa Bibi Mina setelah menikah ikut ke luar kota bersama suaminya, dan hanya pulang jika hari raya saja. Selama aku hidup 17 tahun aku hidup pun, pertemuanku dengannya bisa dihitung dengan hitungan jari. "Ibu ... ibu ...!" Bibi Mina menangis dan bersimpuh di samping Nenek Ana yang sudah tidak bernyawa. Kemudian disusul bapakku, Pak Rahman, datang dengan tergesa-gesa dan ikut bersimpuh di samping Bibi Mina. "Bu, kenapa Ibu meninggalkan kami secepat ini? Aku belum bisa membahagiakan Ibu," sesal Pak Rahmah. "Aku hanya bisa merepotkan Ibu ... bangun Bu, bangun." "Cih sadar juga bapakku itu rupanya," umpatku dalam hati. Aku menangis tanpa suara dan memegangi lututku, memandangi wajah Nenek Ana yang terlihat begitu damai. Aku yakin Nenek Ana akan mendapat tempat terbaik di sisi Allah, karena beliau orang yang baik. Dengan menguatkan hati aku mengikuti prosesi pemakaman Nenek Ana. Hatiku hancur sekali lagi, saat tanah pelan-pelan mengubur Nenek Ana. Para pelayat telah pergi, kini tersisa aku, Bibi Mina, dan Pak Rahman. "Kamu tidak mau pulang?" tanya Pak Rahman. Aku menggeleng. "Ikhlaskan Nenekmu, Fal. Bibi yakin ini tidak mudah, tapi Nenek Ana sudah tenang," timpal Bibi Mina. Aku terus saja mengabaikan mereka berdua, tak lama kemudian Bibi Mina dan Pak Rahman akhirnya pergi meninggalkan aku sendiri. Aku memandangi papan nisan bertuliskan nama Nenek Ana. Aku memegangnya dengan tangan gemetar dan masih dengan tangis di wajahku. Aku bahkan berbicara dengan papan nisan. "Nek ... kenapa Nenek meninggalkan aku? Hanya Nenek yang aku punya. Aku mendapatkan beasiswa untuk kuliah, Nek. Aku tidak akan merepotkan Nenek, aku janji." Aku tergugu. "Aku belum menepati janjiku, aku belum bisa membahagiakan Nenek ... Nenek belum melihatku sukses." Aku terbata-bata karena terus saja menangis. "Ta-tapi Ne-nek malah pergi." Aku tidak sanggup melanjutkan ucapanku lagi. *** Esok paginya, aku terbangun dan mencari Nenek Ana. Aku harap kejadian kemarin yang aku alami kemarin adalah mimpi buruk. “Nek! Nenek!” Aku memanggil-manggil dan mencari di setiap ruangan. Nenek Ana tak aku temukan, aku terduduk dan menangis lagi. Harapanku tidak terwujud. Ini bukan mimpi buruk. Ini nyata, aku kehilangan Nenek Ana untuk selama-lamanya. Aku tidak nafsu makan atau melakukan aktivitas apa pun. Aku hanya duduk, melamun, dan menangis. Terus seperti itu. Aku tidak memberitahu pada siapa pun bahwa aku kehilangan Nenek Ana. Padahal bisa saja aku menghubungi Lili, atau Ardan. Mereka pasti dengan senang hati datang menghiburku. Namun aku tidak butuh dihibur. Andai aku boleh meminta, aku ingin Nenek Ana dihidupkan kembali. Aku sadar itu hal mustahil. Suara ponselku terdengar begitu nyaring menganggu pendengaranku, segera aku meraihnya, dan melihat siapa yang menelepon. Ternyata panggilan telepon berasal dari Lili. Aku pun segera mengangkatnya. Lili berkata sedang menuju rumahku, dia menanyakan keadaanku dan berkata perasaannya tidak enak karena aku tidak membalas pesannya sejak kemarin. Aku menunggu sekitar lima belas menit, Lili datang dan langsung memelukku. “Falisha, apa yang terjadi? Kenapa ada bendera kuning di pagar rumah ini? Ya Tuhan, matamu sembab sekali.” Aku menangis lagi dalam pelukan Lili. “Nenek Ana … Nenek meninggal kemarin saat aku pulang. Dia … dia tertabrak mobil.” “Astaga, lalu pelakunya sudah ditangkap? Siapa dia?” “Pelakunya kabur, Li. Menurut salah satu saksi mata jalanan sedang sepi, Nenek Ana tertabrak mobil berwarna hitam. Namun saksi mata belum sempat melihat nomor platnya.” “Kurang ajar!” umpat Lili. “Sudah menghilangkan nyawa orang malah tidak bertanggung jawab!” “Li … aku tidak punya siapa-siapa lagi.” “Tidak, Falisha. Kamu punya aku. Aku temanmu sampai kapanpun.” Lili menghiburku. “Nenek Ana orang yang baik, aku yakin dia sudah tenang disana. Jangan bersedih terus, Nenek Ana pasti turut sedih melihatmu seperti ini.” Setelah beberapa jam Lili menemaniku, dia harus pulang. Aku pun sangat berterima kasih dia sudah datang dan peduli padaku. Dia menanyakan apakah aku sudah memberitahukan hal ini pada Arsalan dan Ardan, aku pun menjawab belum. Rasanya aku sedang tidak ingin bertemu siapa-siapa. Aku ingin sendiri. Lili pun mengangguk paham dan kemudian pamit pulang. Aku menimbang-nimbang lagi apakah harus mengabarkan hal ini pada Arsalan dan Ardan. Aku takut merepotkan mereka. Ada pesan masuk dari Bu Puja sebelum aku berhasil memutuskan. Bu Puja memesan kue bagelen untuk acara arisan yang akan diadakan lusa. Akhirnya aku membalas bahwa aku tidak bisa memenuhinya. Bu Puja pun langung menelepon dan menanyakan kenapa aku tidak bisa memenuhi pesanannya. Akhirnya aku mengatakan bahwa Nenek Ana meninggal kemarin karena menjadi korban tabrak lari. Bu Puja terdengar sangat terkejut dan berkata akan kemari. Benar saja, Bu Puja dan Ardan mendatangi rumahku. Bu Puja langsung memelukku, dan aku melihat Ardan menatapku dengan tatapan iba. Sejujurnya aku malas bercerita karena selain aku tidak tahu caranya mencurahkan isi hatiku, alasan lainnya adalah aku tidak mau dikasihani. “Ya Allah, Falisha, kenapa tidak mengabari Ibu?” Bu Puja mengurai pelukannya. “Manusia macam apa yang menabrak seseorang lalu kabur begitu saja?!” Bu Puja sama marahnya dengan Lili. “Fal … aku tidak tahu harus berkata apa. Tapi aku harap kamu kuat. Jangan lupa kamu punya aku dan Ibu. Kami bisa menjadi keluargmu. Iya kan, Bu?” ucap Ardan, yang langsung dibenarkan oleh Bu Puja. “Tentu saja. Tetap sabar Falisha. Allah tidak akan memberi cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya. Ibu yakin ini di balik ini semua, Allah menyiapkan hal hebat untukmu suatu saat nanti.” Bu Puja menguatkanku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN