Kehidupanku selanjutnya berjalan seperti biasanya tanpa ada hal yang istimewa. Hari-hari di sekolah terasa membosankan, karena tidak ada Arsalan dan Ardan. Ah, aku lupa, aku mempunyai teman baik yang bernama Lili, yang kini tengah kasmaran dengan Ardan.
Ya, Lili mengaku padaku bahwa menyukai Ardan. Bahkan ia meminta bantuanku untuk mendekati Ardan. Sepertinya Lili meminta bantuan pada orang yang salah, aku sendiri tidak tahu bagaimana caranya PDKT.
“Fal, apa Ardan menanyakan aku?” tanya Lili penuh harap.
Aku menggeleng dramatis. “Kak Ardan mengeluh saat kamu memanggilku di acara perpisahan, dia bilang kamu selalu menganggu jika dia sedang mengobrol denganku.” Aku menjeda. “Lalu aku katakan bahwa kamu seperti itu karena cemburu.”
“Terus? Bagaimana responnya?”
“Dia kebingungan dan bertanya padaku apa maksudku,” jawabku polos. “Tapi aku sudah berlari menjauhinya karena menghampirimu.”
Lili menepuk jidatnya. “Astaga, Falisha.”
“Aku salah? Kalau Kak Ardan peka aku yakin dia paham maksudku. Aku bilang kamu cemburu, itu artinya kamu suka dia, kan?”
“Tapi sepertinya Kak Ardan tidak peka.” Lili cemberut dan menyanggah dagunya dengan kedua tangan. “Sepertinya aku salah pilih orang untuk membantu.”
“Sudah aku katakan dari awal, Lili. Aku tidak pandai dalam hal seperti itu. Jika dalam hal pelajaran, bolehlah diadu.”
“Sombong!” ketus Lili, namun aku tahu itu hanya candaan.
“Aku yakin lama kelamaan Kak Ardan akan sadar kamu menyukainya.”
“Namun entah kapan itu terjadi … kami bahkan sudah tidak satu sekolah.”
“Jika takdir pasti akan bertemu, Li.” Aku menepuk-nepuk pundak Lili.
“Semoga saja,” harap Lili. “Aku ingin berkuliah di kampus yang sama dengan Kak Ardan.”
Aku menepuk pelan pipi Lili. “Perbaiki saja dulu nilaimu, Lili.”
“Ah, kamu suka mengingatkan hal sedih.” Lili membentur-benturkan kepalanya pelan pada meja, yang sukses membuatku tertawa melihat kelakuannya.
“Aku senang akhirnya bisa berteman sedekat ini denganmu, Fal. Kamu tahu? Saat awal perkenalan kamu sangat pendiam, bahkan terkesan tertutup. Aku sampai takut mengajakmu bicara. Namun setelah mengenalmu, ternyata kamu anak yang baik dan asyik juga.”
“Sejak SMP aku tidak memiliki teman, karena aku tidak tahu bagaimana cara bergaul. Namun Kak Arsa mengajariku dan menasihatiku. Akhirnya pelan-pelan aku mulai membuka diri. Aku juga bersyukur memiliki teman sebangku sepertimu, Li.”
“Semoga kita bisa berteman selamanya.” Do’a Lili yang aku aminkan dalam hati.
***
Sesekali aku masih bertukar kabar dengan Arsalan maupun Ardan, walau tidak intens. Aku yakin mereka sibuk di tahun awal perkuliahan mereka, dan aku tidak mau mengganggu. Aku juga menyibukkan diriku.
Sampai tidak terasa tahun berganti tahun, kini aku menduduki kelas XII dan beberapa bulan lagi akan ujian akhir. Syukurlah aku bisa mempertahankan nilaiku selama di SMA, sehingga beasiswaku tidak dicabut sampai akhirnya aku akan menyelesaikan pendidikanku disini.
Aku mulai mencari informasi-informasi mengenai beasiswa kampus-kampus yang ada di Bandung. Sebenarnya memungkinkan dengan nilaiku aku berkuliah di universitas terbaik yang ada di Indonesia, namun aku tidak mau meninggalkan Nenek Ana.
Aku diajak oleh Lili sepulang sekolah untuk mengunjungi salah satu mall. Dia ingin mengajakku berfoto, photo box atau apalah itu namanya. Awalnya aku menolak, namun Lili terus saja mendesakku, katanya untuk kenang-kenangan.
“Sekali ini saja, please,” bujuk Lili.
“Aku harus mengabari Nenek Ana dulu, Li.”
“Sebentar saja kok, Fal. Setelah berfoto kita langsung pulang, aku janji.” Lili mengajakku janji jari kelingking.
“Baiklah. Sebentar saja dan langsung pulang.” Aku mempertegas.
“Siap, bos!”
Aku dan Lili pun menaiki angkot untuk sampai ke mall yang Lili maksud. Aku pernah masuk mall, namun jarang. Bahkan terakhir kali saat aku diajak oleh Bu Puja, ibu dari Ardan.
Aku melihat seorang wanita yang sepertinya beberapa tahun di atasku dan neneknya yang terlihat belum begitu tua, mereka berjalan bergandengan terlihat sangat bahagia tengah memilih-milih sepatu. Terbesit rasa iri, kapan aku bisa mengajak Nenek Ana berjalan-jalan di mall seperti itu dan membelikan apa pun yang ia inginkan.
“Fal,” tegur Lili, yang membuatku mengalihkan pandanganku.
“Iya, Li. Ayo.” Aku bersama Lili menuju lantai dua, tempat photo box itu berada.
“Ini kita masuk kesini? Memangnya muat?” Aku bertanya-tanya saat melihat tempat berfoto kami.
“Iya, buruan masuk! Nanti kita langsung foto gitu, jadi nanti ganti-ganti posenya cepat.”
Aku menurut saja dan tidak lagi protes, takut Lili marah karena aku terlalu banyak bertanya. Jujur aku belum pernah photo box seperti ini. Aku hanya bisa mengikuti Lili, dan Lili tertawa puas melihat hasil foto kami. Aku terlihat begitu kaku.
“Kamu tidak cocok jadi model deh, Fal!” ejek Lili sambil menertawai hasil foto kami.
“Siapa juga yang ingin jadi model.”
“Kamu sebenarnya cantik, Fal. Muka-muka model, tapi tidak bisa berfoto.”
Puas sekali kelihatannya Lili mengejekku. “Sudah kan? Aku mau pulang.”
“Ya ampun. Kamu benar-benar tidak mau lebih lama disini?”
“Tidak, Lili. Sudah ku bilang nanti Nenek Ana khawatir mencariku. Aku tidak pernah pulang terlambat, paling tidak aku memberitahunya dulu saat aku berangkat. Kamu saja main menculikku kesini.”
“Baiklah-baiklah. Kalau besok aku tidak bisa karena ada jadwal les tambahan, sebentar lagi kan ujian akhir.”
“Kamu benar-benar ingin satu kampus dengan Ardan?”
Lili mengangguk yakin. “Itu sebabnya aku merengek pada orang tuaku untuk dicarikan guru les. Orang tuaku sempat terheran-heran karena selama ini aku selalu menolak untuk les tambahan, kini aku malah memintanya.” Dari cerita Lili, aku yakin ia memiliki orang tua yang baik.
“Kamu beruntung, Li,” gumamku yang tak terdengar oleh Lili.
***
Waktu terasa begitu cepat, aku sudah dinyatakan lulus dan mendapat peringkat lima dari semua murid. Dan aku mendapatkan kabar mendapatkan beasiswa untuk berkuliah di salah satu universitas negeri di Bandung. Tentu saja aku sangat senang. Rasanya setelah mendengar kabar ini aku ingin cepat-cepat pulang untuk memberi tahu Nenek Ana, namun karena sedang ada acara gladi resik untuk acara perpisahan, aku belum bisa pulang sekarang.
Kini jam dinding di aula menunjukkan pukul 13.00 akhirnya aku dan teman-teman lain yang mengikuti gladi resik diperbolehkan pulang. Aku pun segera ke luar dari Aula setelah berpamitan pada panitia dan teman lainnya.