Bab 15 Tetap Berteman

1179 Kata
“Fal …,” panggil Arsalan lirih. “Kita tetap berteman, Kak. Sampai kapanpun.” Aku mengajukan jari kelingkingku dan berusaha tersenyum. Arsalan menautkan jari kelingkingnya. “Maafkan aku sudah melanggar janjiku yang pertama, bahwa aku tidak akan meninggalkanmu. Namun pada akhirnya aku tetap melakukannya.” “Ucapan Kak Arsa seperti orang yang tak akan kembali saja.” Aku menertawainya menutupi kesedihanku. Ya, aku ingat Arsalan berkata bahwa dia tidak akan meninggalkanku, namun pada akhirnya dia tetap melakukannya. Dia meninggalkanku karena akan berkuliah di Singapura, sesuai perintah ibunya. Mungkin ini salah satu cara agar Arsalan menjauh dariku, padahal di Indonesia banyak kampus-kampus terbaik. “Ayo, aku antar pulang.” Ajakan Arsalan membuyarkan lamunanku. “Duluan saja, Kak. Aku belum selesai, setelah ini ada rapat pembubaran panitia.” “Sayang sekali. Baiklah kalau begitu.” Arsalan mengacak-acak rambutku lalu pergi. Aku memastikan dia sudah tidak ada dalam pandanganku, kemudian aku menunduk dan menangis tanpa suara. Sebisa mungkin aku bersikap baik-baik saja di depannya, kini aku menumpahkan semuanya. Aku kembali ditinggalkan orang yang aku sayangi, meski rasanya tidak sesakit saat ditinggal oleh kedua orang tuaku. Aku mendengar suara langkah kaki mendekat, mungkinkah Arsalan kembali? Aku segera menghapus air mataku dan menengadah. “Kak Ardan.” “Kenapa kamu tidak menahannya jika melepaskannya membuatmu sesedih ini?” “Aku tidak berhak, Kak. Dan lagi Kak Arsalan menempuh Pendidikan, masa aku larang?” “Apa kamu sudah katakan bahwa kamu menyukainya?” Aku menggeleng. “Dia bertanya, namun aku tidak menjawab pasti. Dia juga memintaku menunggu, tapi aku tidak bisa menjanjikan apa pun padanya.” “Aku tahu ini berat, namun aku yakin kamu bisa melewatinya. Anggap saja aku penggantinya, bagaimana?” tanya Ardan sambil menaik turunkan alisnya. Tentu saja tawarannya membuatku tergelak. “Tidak. Terima kasih.” Aku dan Ardan kemudian tertawa bersama. “Aku serius Fal, jika kamu butuh teman bicara hubungi saja aku. Aku siap kapan pun kamu memanggilku.” Aku menghentikan tawaku. “Iya iya, aku percaya. Aku akan menghubungi Kak Ardan jika aku butuh teman bercerita.” Lili memanggilku karena rapat pembubaran panitia akan segera di mulai. Aku pun menyahut sebentar lagi. “Kenapa Lili selalu mengganggu jika aku sedang bicara denganmu?” keluh Ardan. “Sepertinya Lili cemburu.” Aku bangkit dan merapihkan rambutku. “Cemburu?” tanya Ardan tak mengerti. “Iya, cemburu.” Tepat setelah mengatakan itu, aku berlari menjauh menuju ruang panitia. “Apa maksudmu, Falisha?!” Ardan bertanya dengan setengah berteriak karena aku sudah jauh meninggalkannya. Aku berbalik dan tertawa meledeknya. Biarlah Ardan berpikir sendiri. *** Hari ini hari Minggu, aku sedang ingin berjualan di pagi hari dengan bersepeda. Saat melewati rumah istri baru bapakku, Bu Kina, aku menghentikan laju sepedaku Aku melihat wanita itu masuk dengan seorang pria, namun bukan bapakku. Pria itu merangkul pinggang Bu Kina saat memasuki rumah. Aku tersenyum kecut. Ternyata benar desas-desus di antara warga yang mengatakan bahwa Bu Kina bukan wanita baik-baik. Bisa-bisanya bapakku memilih menikahi wanita seperti itu. Ah, sudahlah, aku tak mau ambil pusing. Aku memilih tidak peduli bagaimana kehidupan rumah tangga baru bapakku, sama seperti Pak Rahman yang tidak peduli padaku. “Falisha? Kamu mau berjualan pagi ini? Aku kira sore hari saja.” Arsalan Daffa memberhentikan sepedanya tepat di depanku. “Iya, Kak. Sedang ingin pagi saja, udaranya masih sejuk. Kakak mau kemana?” “Aku ingin mengunjungi rumahmu, maksudku Nenek Ana. Aku merindukannya. Aku sudah pernah berucap akan kesana lagi, namun sampai aku lulus aku belum memenuhinya. Sebelum aku berangkat ke Singapura, aku ingin menemuinya untuk berpamitan.” “Baiklah kalau begitu, aku tidak jadi berjualan pagi ini. Ayo ke rumah Nenek Ana.” Aku mengayuh sepedaku lebih dulu, dan Arsalan tepat mengekor di belakangku. Kedua kalinya Arsalan Daffa mengunjungi rumah Nenek Ana, katanya dia merindukan nenekku. Tentu saja aku sangsi, dasar saja dia merindukanku tapi tak mau mengakuinya. “Maaf, Nek, aku baru sempat kemari lagi.” Arsalan menyalami Nenek Ana. “Tidak apa-apa, Nak. Apa kamu masih merasa kesepian?” Nenek Ana masih saja mengingat ucapan Arsalan waktu itu, yang mengaku dirinya kesepian di rumah. Arsalan menggeleng menanggapi pertanyaan Nenek Ana. “Aku tidak kesepian lagi, Nek, semenjak aku berteman dengan Falisha.” Arsalan kini menatapku yang duduk di samping Nenek Ana. “Nek, minggu depan aku akan berangkat ke Singapura untuk berkuliah.” “Benarkah? Kamu akan berkuliah di luar negeri? Kamu pasti anak yang pintar. Semoga Falisha juga bisa sepertimu, kuliah di luar negeri.” “Aku tidak mau, Nek. Kuliah disini saja, agar tetap dekat dengan Nenek.” Aku menyandarkan kepalaku pada pundak Nenek Ana. “Cita-citamu harus tinggi, Fal. Kamu kan anak yang cerdas, Nenek yakin kamu bisa seperti Nak Arsa ini,” puji Nenek Ana. “Aku hanya beruntung, Nek.” “Kak Arsa memang anak hebat, Nek, tidak sepertiku.” Arsalan mendapatkan pujian dariku dan Nenek Ana pun menjadi makin salah tingkah. Senang sekali rasanya bisa menggoda Arsalan hari ini. *** Hari ini menjadi hari terakhir aku bertemu Arsalan sebelum dia berangkat ke Singapura. Aku ikut melepasnya di bandara bersama Ardan. Walaupun kami harus mendapat tatapan tak suka dari Bu Rianti, namun aku dan Ardan mengabaikannya. Kami berdua kemari untuk Arsalan, bukan untuk Bu Rianti. Arsalan menemuiku dan Ardan, menyapa kami sebelum pergi. “Terima kasih sudah datang, Fal, Dan.” “Jaga kesehatan ya, Kak.” “Kalau bisa kamu cari perempuan Singapura, biar Falisha untukku saja.” Arsalan berdecak. “Jangan bermimpi , Ardan Pratama.” “Lihat saja nanti, Arsalan Daffa,” balas Ardan tak mau kalah. Rasanya aku ingin menjewer telinga keduanya. “Aku tidak mau memilih di antara kalian lagi.” Arsalan dan Ardan kompak menatap padaku. “Apa maksudmu, Falisha?” “Ya, aku tidak akan memilih Kak Arsa maupun Kak Ardan.” “Lalu siapa?” “Entahlah. Saat ini aku tak terpikirkan untuk menjalin hubungan dengan seseorang.” “Daffa! Sudah waktunya pergi.” Terdengar suara Bu Rianti berteriak. “Apa Ibumu tak punya kaki? Dia bisa saja kemari dan berbicara dengan lembut. Kenapa harus berteriak seperti itu?” sindir Ardan seperti biasanya. Aku menyenggol lengan Ardan, membuatnya langsung mengatupkan mulutnya. Untungnya Arsalan tidak menanggapinya, karena dia ingin tetap berteman baik dengan Ardan. “Aku pamit dulu. Aku titip tolong jaga Falisha,” pesan Arsalan pada Ardan. “Kakak pikir aku barang dititipkan?” Arsalan mengacak-acak rambutku. “Aku pasti merindukanmu.” “Sudahlah, drama kalian tidak selesai-selesai. Bisa-bisa kamu ketinggalan pesawat!” protes Ardan. Kami tertawa bersama, sungguh aku bahagia kini bisa berteman baik dengan Arsalan dan Ardan. Tanpa terlibat pertengkaran dan perkelahian. Aku dan Ardan melepas Arsalan pergi sampai tidak terlihat lagi, barulah kami pulang. “Kamu sudah lebih baik?” Ardan memastikan. Aku mengangguk dan tersenyum. “Aku sudah bisa melepaskannya, Kak. Aku baik-baik saja.” Ardan memajukan wajahnya menatapku. “Sepertinya begitu. Matamu kelihatan lelah menangis beberapa hari ini. Semoga malam ini kamu tidak menangis lagi.” “Kak!” Aku memukul Ardan serampangan karena malu. Bisa-bisanya aku ketahuan menangis beberapa hari ini, padahal aku menangis tidak lama, sungguh. Ardan berlari karena aku pukuli, kami pun berkejaran sampai ke parkiran lalu pulang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN