Aku benar-benar menjauhi Arsalan maupun Ardan. Untungnya mereka berdua juga tidak lagi mengangguku beberapa hari ini. Di samping karena aku mendapat peringatan lagi dari Bu Rianti, aku juga tidak mau Arsalan dan Ardan terlibat perkelahian lagi. Kini aku kembali ke mode tertutup. Aku hanya mengobrol dengan Lili, teman sebangkuku.
Hari ini hari Senin, suara bel sudah berbunyi, tanda semua warga sekolah harus segera berkumpul untuk melaksanakan upacara. Aku buru-buru mencari topi di tasku, kemudian segera berlari menuju lapangan. Aku terburu-buru sampai akhirnya menabrak seseorang
“Maaf aku tidak se—”
Ternyata yang aku tabrak adalah Arsalan. Dia sama sekali tidak menanggapi permintaan maafku dan berlalu begitu saja. Aku menghela napas gusar dan memungut topiku yang terjatuh.
Padahal aku sudah sarapan, tapi entah kenapa kepalaku pening. Sejak aku Sekolah Dasar, saat upacara aku tidak pernah merasakan rasanya pingsan. Apakah aku akan merasakannya hari ini? Aku berjongkok, pura-pura membetulkan tali sepatu, yang sama sekali tidak terlepas. Pembina upacara hari ini sepertinya terlalu lama berbicara, aku sungguh tidak sanggup lagi berdiri.
Akhirnya aku memutuskan untuk ke luar dari barisan, namun belum sempat aku ke luar barisanku, pandanganku sudah menggelap dan akhirnya aku ambruk.
Aku terbangun di ruang UKS. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku mencoba mengumpulkan seluruh kesadaranku. Saat aku menoleh ke samping, ada Lili disana.
“Akhirnya kamu bangun juga, Fal. Tumben sekali kamu pingsan, belum sarapan? Atau sedang tidak enak badan?” cecar Lili.
“Sudah, Li. Aku juga tidak tahu kenapa bisa pingsan. Padahal sejak SD aku tidak pernah pingsan.”
Lili malah tertawa mendengar jawabanku. “Selamat kamu merasakan rasanya pingsan hari ini. Bagaimana rasanya?” Lili membenarkan posisi duduknya. “Kamu tahu siapa yang menggendongmu?” tanyanya bersemangat.
Aku bangun dan terduduk di ranjang, kemudian menggelengkan kepala. “Tentu saja tidak. Aku kan pingsan Li, tidak sadarkan diri. Mana bisa aku tahu siapa yang menggendongku?”
“Kak Ardan yang menggendongmu. Dia berlari dari barisannya, padahal sudah ada anak-anak PMR yang sudah siap membawa tandu. Namun dia malah menggendongmu seorang diri dan membawamu kemari.”
Paparan Lili sukses membuat mataku membola. “Kak Ardan?”
“Iya Kak Ardan, bukan Kak Daffa. Apa kamu berharap Kak Daffa yang menggendongmu? Padahal selama ini setahuku juga kamu dekat dengan Kak Daffa.”
“Tidak. Kami hanya berteman.” Aku menyanggah cepat.
Terdengar suara pintu diketuk, kemudian seseorang membukanya. Orang itu baru saja kami obrolkan, Ardan Pratama. “Boleh aku bicara berdua dengan Falisha?” tanya Ardan pada Lili.
“Boleh, Kak. Tapi jangan lama-lama ya? Aku dan Falisha harus segera kembali ke kelas.” Lili bangkit dari duduknya dan ke luar dari UKS. Meninggalkan aku untuk bicara berdua dengan Ardan.
Hening beberapa saat. Aku sampai gemas sendiri pada Ardan, katanya mau bicara tapi dia belum juga membuka mulutnya. “Kak, kalau tidak mau bicara aku mau ke kelas.”
“Sebentar Falisha.” Ardan menghela napas dan melanjutkan ucapannya. “Aku hanya bingung memulai dari mana. Intinya aku meminta maaf padamu. Seharusnya dari awal aku tidak membawamu dalam masalahku dengan Arsalan Daffa. Tapi aku benar-benar tidak bermaksud seperti itu, aku memang menyukaimu saat pertama kali kita bertemu. Namun seiring berjalannya waktu, aku tahu bahwa kamu dekat dengan dia. Aku jadi merasa dengan merebutmu, aku bisa membalaskan sakit hatiku.”
“Kak–”
Ardan tidak membiarkanku berbicara. “Tapi aku tahu, sakit hatiku karena ibunya merebut ayahku, tidak akan sebanding jika aku merebutmu darinya. Dan akhirnya hal ini malah akan menyakiti orang yang aku sukai, yaitu kamu.” Ardan menatapku dengan tatapan menyesal. “Sekali lagi, maafkan aku, Falisha.”
“Baiklah. Aku memaafkan Kak Ardan. Tapi aku mohon, sudahi pertengkaran kalian. Aku yakin Kakak sudah dewasa, memang tidak mudah memaafkan Bu Rianti, namun menurutku Kak Arsalan Daffa tidak ada hubungannya. Dia hanya anak dari Bu Rianti.” Aku akhirnya memaafkan Ardan, memangnya apalagi yang bisa aku lakukan?
“Ya, aku tahu. Andai saja dia bukan anak wanita yang merebut ayahku, aku yakin bisa berteman baik dengannya,” pungkas Ardan.
Lili kembali masuk ke ruang Unit Kesehatan Sekolah dan mengajakku kembali ke kelas. Akhirnya aku menyudahi pembicaraanku dengan Ardan.
***
Beberapa bulan kemudian, hari kelulusan siswa kelas IX tahun 2013 diadakan. Aku menjadi salah satu panitianya bersama Lili. Sebenarnya aku malas menjadi panitia sebuah acara seperti ini, namun Lili terus saja membujukku. Hari ini pula sepertinya hari terakhir aku melihat Arsalan Daffa dan Ardan Pratama. Aku turut senang akhirnya mereka bisa berteman sekarang.
Semua itu bermula ketika Ardan seperti biasa mencari gara-gara dengan siswa sekolah lain. Aku jadi tahu sekarang, kenapa Ardan menjadi langganan keluar-masuk ruang BK. Ardan sedang dikeroyok oleh tiga orang siswa, saat itu Arsalan tanpa sengaja lewat dan melihatnya. Akhirnya Arsalan membantu Ardan, walaupun ia akhirnya harus sedikit babak belur.
Aku mendengar cerita itu dari gosip sekolah. Aku rasa itu bukan gosip, karena aku sudah bertanya pada Ardan dan dia membenarkannya. Aku juga sudah biasa saja dengan Arsalan, kami tidak lagi menjaga jarak, namun kami juga tidak sedekat dulu.
Acara demi acara telah selesai dilangsungkan. Aku dan beberapa panitia lainnya sedang beres-beres. Syukurlah acara berjalan lancar, walau ada beberapa waktu yang tidak tepat dari jadwal.
Arsalan dan Ardan terlihat mengobrol akrab dan berjalan ke arahku. Tanpa berbicara mereka membantuku membereskan peralatan-peralatan. Setelah semua beres aku berterima kasih pada mereka. “Terima kasih ya Kak Arsalan dan Kak Ardan.”
“Sama-sama.” Mereka tersenyum dan menjawab kompak.
“Aku duluan ya, Daf. Silahkan jika ada yang ingin diobrolkan dengan Falisha.”
“Ck. Memangnya harus ada izinmu jika ingin bicara dengan Falisha?”
“Kamu masih saja seperti itu,” ejek Ardan dan meninggalkan kami.
Aku dan Arsalan pun duduk, sepertinya ada hal penting yang ingin Arsalan sampaikan padaku. Namun pertanyaan pertama yang dia lontarkan sudah mampu membuatku tidak bisa menjawab. “Fal, apa kamu masih menyukaiku?”
Aku diam karena tidak tahu pasti dengan perasaanku sendiri.
“Aku ganti pertanyaannya. Apa kamu menyukai Ardan?”
Pertanyaan ini lebih mudah dan aku sudah tahu pasti jawabannya. “Tidak.”
“Kalau begitu, maukah kamu menungguku?”
“Menunggu?”
Arsalan mengangguk. “Aku akan berkuliah di Singapura. Jika kamu masih menyukaiku, maukah kamu menungguku kembali? Aku janji akan–”
“Jangan menjanjikan apa pun, Kak. Aku mohon ... jangan berikan harapan apa pun lagi padaku,” sergahku.
Arsalan menggenggam tanganku. “Maafkan selama ini sikapku padamu tidak baik, begitu pula dengan ibuku. Aku mengikuti perintah ibu untuk saat ini, namun jika aku sudah lulus kuliah dan memiliki pekerjaan … aku akan datang padamu, Falisha.”
“Empat tahun itu lama, Kak. Hati seseorang bisa saja berubah. Entah hatiku atau hati Kak Arsa.”
Arsalan menggeleng dan makin mengeratkan genggamannya. “Aku yakin aku bisa menjaga perasaanku untukmu, Falisha.”
“Aku yang tidak yakin, Kak. Jujur aku sedih Kak Arsa meninggalkanku untuk berkuliah di Singapura. Walaupun bisa saja kita berkomunasi lewat media sosial atau telepon. Belum lagi Bu Rianti dari awal memang tidak menyukaiku, sepertinya hubungan kita ke depannya pun akan tetap sulit, Kak.”
Katakanlah aku kalah sebelum berperang, walaupun aku yakin masih menyukai Arsalan, namun aku tidak yakin Bu Rianti akan merestuinya.
“Aku akan membujuk ibuku jika saat itu tiba. Berjanjilah padaku kamu juga akan menungguku.”
Aku melepaskan genggaman tangan Arsalan. “Maafkan aku, Kak. Aku sungguh tidak bisa menjanjikan apa pun pada Kakak. Aku takut melanggar janji, seperti yang kedua orang tuaku lakukan.”