“Ada tamu rupanya,” sapa Nenek Ana. Kemudian menyalami Bu Puja dan Ardan.
“Iya, Nek. Saya Ibu dari teman Falisha. Tadi saya mengajak Falisha jalan-jalan, tidak apa-apa kan, Nek?”
“Tidak apa-apa. Saya malah berterima kasih. Saya neneknya tapi belum pernah mengajaknya jalan-jalan. Terima kasih sudah mengajak cucu saya.” Nenek Ana berterima kasih pada Bu Puja.
“Saya senang mengajak Falisha, Nek. Cucu Nenek ini anak yang baik. Kebetulan saya ingin mempunyai anak perempuan, tapi Allah menitipkan anak laki-laki pada saya.”
“Anak laki-laki ganteng dan baik hati,” timpal Ardan.
Bu Puja menyikut anak laki-lakinya itu, dan Ardan pun meringis.
Nenek Ana tersenyum. “Saya turut senang Falisha bertemu orang sebaik anda.”
“Kalau Ibu ingin punya anak perempuan, jodohkan saja aku dengan Falisha.” Ardan berbisik namun suaranya masih terlalu keras, lebih seperti dia sengaja agar didengar oleh kami semua. Satu sikutan kembali diterima olehnya.
Bu Puja tertawa canggung. “Maafkan anak saya, Nek, Fal.”
Aku menahan tawa melihat Ardan yang meringis kesakitan karena dua kali terkena sikutan dari Bu Puja.
***
Aku dan Arsalan kembali perang dingin, Entah siapa dulu yang akan mengakhiri peperangan ini. Aku sudah tidak berminat lagi menyukai siapa pun. Jika memang Arsalan akhirnya menjauh dan meninggalkanku, aku sudah siap menerimanya. Aku sudah tidak mengunjungi perpustakaan beberapa hari ini. Aku malah lebih rajin ke kantin, dan bertemu Ardan.
Tidak. Aku sama sekali tidak berniat mendekati Ardan, dia yang terus menggangguku. Apalagi sejak hari itu, dia sepertinya sudah merasa berteman denganku. Interaksi kami sebatas makan di kantin dan saling mengejek hal tidak penting. Jika aku bersama Ardan, aku bisa tertawa lepas sampai perutku terasa sakit.
Aku sedang membahas sesuatu yang lucu bersama Ardan, tiba-tiba ponsel Nokiaku bergetar tanda ada pesan masuk. Ternyata Arsalan menyerah lebih dulu, buktinya dia mengirimu pesan.
Kamu sebahagia itu bersama Ardan? Kamu benar-benar melupakanku? Kamu menganggap rasa sukaku padamu main-main, Fal? Temui aku di belakang sekolah tempat kamu bertemu Ardan, sekarang!
Aku menghela napas gusar. Seenaknya saja Arsalan mengaturku. Melihat aku kebingungan, Ardan merebut ponselku dan membaca pesan Arsalan.
“Mau apa lagi dia menemuimu? Bukankah hubungan kalian sudah berakhir?”
“Bahkan kami belum memulainya.” Aku berdiri dan beranjak pergi meninggalkan Ardan.
Benar saja, Arsalan sudah ada disana berdiri membelakangiku. “Ada apa lagi, Kak? Bukankah Kak Arsa tidak mau menemuiku lagi?”
Arsalan berbalik menatapku dengan tatapan tajam. “Kamu benar-benar mengabaikan aku, Fal.”
“Aku sudah mencoba meminta maaf. Aku menghampiri Kak Arsa, aku menemui kakak untuk menjelaskan. Tapi Kakak sendiri yang tidak mau mendengar penjelasanku.”
“Itu karena aku marah, Fal. Tapi usahamu hanya satu hari? Hari-hari berikutnya kamu tidak pernah mencoba menemuiku lagi,” ucap Arsalan putus asa.
“Untuk apa? Kak Arsa juga tidak mau mendengarkan aku. Pesanku saja tidak Kakak balas.”
“Kamu ingin mengakhiri hubungan kita?”
“Hubungan yang mana yang Kakak maksud? Kita bahkan belum memulai apapun.”
Arsalan memajukan langkahnya mendekatiku, aku langsung membuang muka.
“Falisha. Sebenarnya kamu benar menyukaiku atau tidak?” tanya Arsalan dingin.
“Jauhkan wajahmu darinya, Daffa!”
Aku menoleh ke belakang dan mendapati Ardan. Perasaanku jadi tidak enak, sepertinya mereka akan bertengkar lagi.
“Kak Ardan, cukup, Kak.” Aku menahan langkah Ardan agar tidak semakin mendekat.
“Kamu memang pandai merebut kekasih orang, ya?” sindir Arsalan.
Ardan tertawa sumbang. “Apa kamu lupa? Ibumu bahkan perebut suami orang.”
Satu pukulan melayang ke wajah Ardan tepat setelah dia menyelesaikan kalimatnya.
“Kak!” Aku bingung harus menahan Arsalan atau menolong Ardan. Rasanya posisiku serba salah.
Ardan bangkit dan membalas tinju Arsalan, tidak mengalah begitu saja seperti sebelumnya.
“Cukup! Kak! Aku mohon!” Aku berteriak agar mereka berhenti berkelahi. Namun sepertinya sia-sia. Sampai ada beberapa siswa yang mendengar teriakanku menghampiri dan akhirnya melerai mereka.
Aku, Arsalan, dan Ardan. Kami berada di ruang Bimbingan Konseling sekarang. Pertama kalinya aku masuk kemari. Bahkan aku tidak pernah membayangkan sama sekali akan memasuki ruangan ini. Ruang yang paling dihindari anak-anak sekolah.
“Kenapa kalian berkelahi?” Pak Dana, guru BK mulai menginterogasi.
Kami bertiga hanya diam, tidak ada yang berniat menjawab.
“Kalau kalian tidak ada yang mau menjawab. Bapak akan memanggil orang tua kalian,” ancam Pak Dana.
“Panggil saja Ibu Kepala Sekolah, Pak, yang paling dekat.” Ucapan Ardan membuat Pak Dana mendelik.
“Jaga bicaramu, Ardan. Kamu memang tidak ada jeranya keluar masuk ruang BK,” sindir Pak Dana. Pantas saja beliau hafal, ternyata Ardan sudah sering kemari.
Akhirnya aku memilih menengahi dari pada berlama-lama disini. “Pak, maafkan kami. Kami janji tidak akan mengulanginya.”
“Kamu kenapa bisa ada disana? Siapa namamu tadi?” tanya Pak Dana padaku,
“Falisha, Pak.” Baru saja beberapa menit yang lalu, beliau sudah lupa namaku. “Saya disana –”
“Dia tidak sengaja lewat, Pak,” sahut Arsalan.
Terdengar decakan dari Ardan. “Pahlawan kesiangan.”
“Ini tidak ada hubungannya dengan Falisha. Jadi biarkan dia keluar, Pak.” Arsalan berusaha membujuk Pak Dana.
Akhirnya Pak Dana membiarkanku keluar ruangan, siapa yang berani menolak permintaan anak Kepala Sekolah? Aku jadi tidak tahu bagaimana kelanjutan interogasi Arsalan dan Ardan di dalam sana.
Aku berjalan menuju kelas sambil menunduk. Suasana sekolah sepi karena para siswa sudah ada di ruang kelasnya masing-masing. Seseorang berdiri di depanku, membuatku menghentikan langkah dan mengangkat wajahku.
“Bu Rianti,” gumamku pelan.
Bu Rianti melipat kedua tangannya di d**a dan menatapku dengan tatapan menghunus. “Bukankah Ibu sudah peringatkan jangan mendekati Daffa? Kenapa kamu tetap melakukannya?”
“A-aku … tidak … bermaksud.”
“Jangan ganggu Falisha, Bu.” Arsalan dan Ardan ada di belakangku. Cepat sekali mereka keluar menyusulku.
“Daf! Lihatlah, dia bahkan membuatmu masuk ke ruang BK. Kamu berkelahi gara-gara dia kan?” Bu Rianti menggerayangi wajah putranya yang sedikit babak belur.
Ardan tersenyum mengejek. “Dia berkelahi karena membela anda, Ibu Kepala Sekolah yang terhormat.” Ardan kemudian berlalu begitu saja.
Aku hanya bisa diam mematung. Rasanya berat sekali untuk mengangkat kaki, apalagi untuk melangkah. Sampai teguran Arsalan menyadarkanku. “Fal, kembali ke kelasmu. Aku ingin bicara berdua dengan Ibuku.”
“I-iya, Kak. Saya permisi, Bu.” Aku menunduk sopan lalu pergi meninggalkan Arsalan bersama Bu Rianti.
Aku masuk ke kelas setelah mengetuk pintu, lalu menyalami guru yang sedang memberi penjelasan. Semua tatapan menuju padaku. Tatapan yang tidak bisa ku artikan satu per satu. Aku memilih mengabaikannya dna menuju bangkuku.
“Kamu kenapa bisa masuk ruang BK, Fal?” tanya teman sebangkuku, Lili, dengan berbisik.
“Tidak apa-apa, Li. Hanya salah paham,” balasku berbisik pula.
“Sudah ku duga. Kamu kan anak baik, mana mungkin masuk kesana. Soalnya aku mendengar gosip kalau Kak Daffa dan Kak Ardan berkelahi karena memperebutkanmu.”
Aku terbatuk mendengar paparan Lili.
“Tidak, itu hanya gosip.” Aku mengakhiri sesi tanya jawab dengan Lili.
Firasat burukku selama ini akhirnya terjadi. Ardan dan Arsalan berkelahi. Memang tidak sepenuhnya gara-gara aku. Itu karena Ardan menyulut emosi Arsalan dengan mengatakan kalimat yang tidak pantas. Sebenarnya apa yang dikatakan Ardan memang fakta, tapi tidak sepantasnya dia berkata seperti itu.
Aku bingung dan bukan bermaksud mencari siapa yang pantas disalahkan. Memang lebih baik aku menyalahkan diriku sendiri, karena terlibat diantara Arsalan dan Ardan. Andai aku tidak mengenal mereka, mungkin mereka akan pura-pura tidak mengenal satu sama lain sampai lulus sekolah.
Aku tidak tahu setelah ini apa yang harus aku lakukan. Aku mendapat peringatan lagi dari Bu Rianti untuk menjauhi anaknya. Sepertinya hubunganku dan Arsalan dari awal memang tidak ada harapan.