Bab 12 Sisi Lain Ardan

1148 Kata
Aku sedang membantu Nenek Ana membungkus kue bagelen yang baru saja matang. Setelah semua selesai dibungkus, aku memasukkannya ke dalam box untuk dijajakan. Aku belum sempat membeli box yang baru, jadi masih memakai box yang retak kemarin. Tidak apa-apa yang penting masih bisa digunakan. Saat aku melewati toko cat yang kemarin, aku melihat Bu Puja sedang berdiri. “Bu Puja.” Aku menyapanya sopan. “Falisha. Akhirnya kamu datang juga.” Bu Puja berseri-seri. “Ibu menungguku?” tanyaku heran. “Iya. Ibu tidak tahu nomormu apa lagi rumahmu. Jadi ibu menunggu disini karena Ibu yakin kamu pasti akan lewat sini lagi.” Aku semakin heran. “Untuk apa Bu Puja menungguku?” “Untuk membeli kue bagelenmu. Ibu dengar rasanya enak sekali.” Bu Puja meraih box dari tanganku. “Aku kira kenapa, Bu. Ibu bisa bilang pada Kak Ardan, aku bisa membawakannya ke sekolah jika Ibu mau. Aku bisa titipkan pada Kak Ardan,” tawarku. Bu Puja menggeleng. “Jika titip pada Ardan, Ibu tidak bisa melihatmu.” Bu Puja mengeluarkan dompetnya. “Ibu borong semua kue bagelenmu, ya?” “Tapi untuk apa, Bu? Apa tidak terlalu banyak?” “Tidak. Ibu akan membagi-bagikannya nanti. Tapi ada syaratnya.” Bu Puja memberi kode padaku untuk mendekat. “Syaratnya apa, Bu?” tanyaku polos. “Kamu temani Ibu berbelanja, ya?” bisiknya. Aku tertegun, mencerna permintaan Bu Puja yang memintaku menemaninya berbelanja. Apa aku tidak salah dengar? “Bagaimana Falisha?” Bu Puja kembali menanyakan jawabanku. “Ah, iya, Bu. Aku bisa menemani Ibu, walau tanpa Ibu membeli semua daganganku.” “Tidak bisa begitu dong. Harusnya kan waktumu untuk berjualan, namun ibu mengambil waktumu. Jadi ibu harus menggantinya.” Bu Puja menggandeng lenganku saat sebuah mobil terparkir di depan kami. “Mobilnya sudah datang. Ayo masuk, Fal.” Bu Puja menuntunku untuk masuk ke dalam mobil. Bu Puja begitu baik, padahal aku baru mengenalnya kemarin. Kami menuju salah satu swalayan. Di dalam mobil aku pun menanyakan dimana Ardan sampai Bu Puja malah mengajakku. “Kak Ardan kemana, Bu? Kenapa tidak menemani Ibu?” “Ah, dia paling anti jika diajak berbelanja. Fal. Katanya Ibu lama jika memilih-milih belanjaan. Ibu ingin sekali punya anak perempuan, agar bisa diajak berbelanja. Dan kita bertemu kemarin, rasanya keinginan Ibu sudah terkabulkan sekarang,” terang Bu Puja bersemangat. “Maksud Ibu?” “Iya, bolehkan Ibu anggap kamu sebagai anak perempuan Ibu?” Aku mengangguk cepat. “Aku juga senang bisa bertemu orang sebaik Bu Puja.” Kami sampai di salah satu swalayan dan mulai memilih-milih belanjaan. Sesekali Bu Puja menanyakan pendapatku. Kami sudah seperti ibu dan anak sungguhan. Aku melihat salah satu box container, sepertinya cocok untuk menggantikan wadah kue bagelenku yang retak “Bu, aku mau memilih box container dulu, ya?” Bu Puja pun menemaniku memilih. Sampai aku tersadar, aku lupa meminta uangnya pada Nenek Ana. Untungnya aku ingat Bu Puja membeli semua daganganku, saat aku hitung uangnya kurang 20.000 untuk membeli wadah yang aku mau. “Bu … apa boleh aku pinjam uang 20.000? Uangku kurang untuk membeli box ini. Aku lupa meminta uang pada nenek.” Bu Puja tersenyum padaku. “Tidak perlu memikirkan itu, Falisha. Ambil saja, Ibu yang akan membayarnya.” “Jangan, Bu,” larangku. “Ibu sudah memberiku uang kemarin, dan hari ini membeli semua daganganku. Aku tidak mau merepotkan Bu Puja lagi.” “Tidak merepotkan sama sekali, Fal. Ambil saja boxnya ya? Ibu yang akan bayar. Kamu tidak usah khawatir.” Bu Puja mengusap pipiku penuh kasih sayang. “Terima kasih ya, Bu. Bu Puja begitu baik padaku.” Selesai berbelanja, Bu Puja mengajakku makan di salah satu restoran yang ada di pusat perbelanjaan. Aku tidak memesan makan karena Nenek Ana pasti sudah memasak, aku akan makan masakan nenekku nanti. Sebagai gantinya aku hanya memesan es krim. “Fal, boleh ibu bertanya?” Aku mengangguk sambil memakan es krimku seperti anak kecil. “Kamu tinggal bersama nenekmu saja?” “Iya, Bu. Kedua orang tuaku bercerai. Akhirnya aku tinggal nenekku.” Lalu aku menceritakan mengenai perceraian orang tuaku hingga akhirnya tinggal bersama Nenek Ana. Bu Puja menggenggam tanganku. "Kamu anak yang kuat, Falisha. Ibu tidak mungkin kuat jika berada di posisimu. Kamu masih begitu muda dan harus melalui ini semua." Air menggenang di pelupuk mataku. Aku mengusapnya sebelum terjatuh. "Bu Puja juga hebat, berperan menjadi ibu sekaligus ayah untuk Kak Ardan." Bu Puja terperangah. "Dari mana kamu tahu?" Aku menyadari bahwa aku kelepasan bicara. Aku menggigit bibirku. "Maafkan aku, Bu. Aku mendengarnya dari --" "Aku yang bercerita padanya, Bu." Tiba-tiba Ardan muncul. "Kenapa kamu kemari, Dan? Bukannya tadi kamu tidak mau menemani Ibu,” omel Bu Puja. "Aku berubah pikiran, kenapa Ibu tinggal?" Ardan memajukan bibirnya. "Bilang saja kamu kemari karena Ibu bilang akan pergi dengan Falisha," tuduh Bu Puja. Ardan salah tingkah mendengar tuduhan Bu Puja. Ia menggaruk-garuk tengkuknya. "Tidak. Aku memang ingin menemani Ibu." Ardan menyangkal. "Sayangnya Ibu sudah selesai berbelanja. Kamu terlambat!" Bu Puja pura-pura merajuk pada sang anak. "Maafkan aku, Ibuku yang cantik!" Ardan mencium pipi Bu Puja singkat. "Baik. Ibu maafkan." Senyum merekah dari bibir Bu Puja. Aku hanya terkekeh mendengar pertengkaran Bu Puja dan Ardan. "Oh, ya, Falisha. Boleh Ibu mampir ke rumah Nenek?" "Boleh saja, Bu. Tapi rumah kami tidak sebagus rumah orang lain pada umumnya." "Aku ikut!" seru Ardan. "Siapa yang mengajak Kakak?" sindirku bercanda. "Tidak ada yang mengajak pun aku akan tetap membuntutimu dan Ibuku." Benar saja. Ardan mengikuti mobil yang aku dan Bu Puja tumpangi sampai kami tiba di rumah Nenek Ana. Aku mempersilahkan Bu Puja dan Ardan masuk, kemudian mencari Nenek Ana di dalam. Ternyata nenekku sedang memasak di dapur, pantas saja sejak tadi dipanggil tidak dengar. "Nenek," panggilku. "Eh sudah pulang, Fal?" Nenek Ana menengok padaku lalu melanjutkan menggoreng tempe. Aku mendekat pada Nenek Ana dan berbicara pelan. "Ada tamu, Nek." "Siapa?" "Ibu yang kecopetan, yang kemarin aku ceritakan kemarin, Nek." "Dia kemari? Kalau begitu tunggu sebentar, Nenek selesaikan menggoreng tempe dulu. Nanti Nenek menyusul,” perintah Nenek Ana. Aku mengangguk dan mengambilkan air minum untuk menyuguhi Bu Puja dan Ardan. Tidak lupa meraih toples kecil dan mengisinya dengan kue bagelen. "Maaf hanya ini yang kami punya, Bu, Kak." Aku menaruh nampan yang diatasnya terdapat gelas berisi air putih dan toples kecil berisi kue bagelen. "Tidak perlu repot-repot, Fal. Ibu hanya mampir sebentar." "Tidak repot kok, Bu. Silahkan diminum." "Terima kasih, Falisha. Kamu seperti orang yang berbeda dari Falisha yang di sekolah," cetus Ardan, sambil menyipitkan matanya. “Apa jangan-jangan kamu lebih dari satu?” "Memang di sekolah dia bagaimana?" tanya Bu Puja. "Dia menghindar dan menjauh jika bertemu denganku, Bu. Seperti anti denganku." Aku mendelik pada Ardan. "Kenapa? Memang benar seperti itu kan?" Aku tertawa canggung. "Ardan di sekolah juga berbeda, Bu. Dia --" Buru-buru Ardan memasukkan kue bagelen ke dalam mulutku. Agar aku tidak melanjutkan kalimatku. Bu Puja pun tertawa melihat kelakuan kami berdua.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN