Sore ini aku sedang berkeliling seperti biasa. Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita berteriak.
"Copet! Copet! Pencuri! Tolong!"
Aku segera mencari-cari sumber suara. Aku melihat seorang pria memakai pakaian serba hitam sedang berlari dan di kerjar beberapa orang. Sepertinya dia akan melewatiku. Dengan sekuat tenaga aku berlari berlawanan arah dengannya, dan menghentakkan box berisi kue bagelenku padanya.
Pria itu dan aku terjatuh bersamaan. Dagangan kue bagelenku berhamburan. Pencopet itu segera diamankan beberapa pria yang mengejarnya tadi. Aku meratapi daganganku, bisa-bisanya aku berbuat nekad seperti itu.
Ibu yang kecopetan itu sudah mendapatkan kembali tasnya, dan aku bersyukur untuk itu. Aku memunguti dagangan kue bagelenku yang terlihat masih layak dimakan. Beliau menghampiriku.
"Terima kasih, Nak! Berkatmu Ibu mendapatkan kembali tas ini. Siapa namamu?" tanyanya ramah.
"Sama-sama, Bu. Namaku Falisha." Aku bersalaman dengannya.
"Nama yang cantik. Nama Ibu, Puja. Ibu ganti daganganmu ya, Falisha?" tawarnya.
"Tidak usah, Bu Puja. Ini kan karena aku sendiri."
"Bisa saja kamu mengabaikan pencopet itu. Tapi kamu lebih memilih menghentikannya dan mengorbankan daganganmu." Bu Puja mengeluarkan beberapa lembar uang lima puluh ribuan dan memberikannya padaku.
"Ini terlalu banyak, Bu." Aku tentu saja menolaknya.
"Tidak apa-apa, Fal. Anggap saja rezekimu hari ini ya?"
Bu Puja begitu baik padaku. Dering ponselnya membuatku menunda untuk menjawab ucapannya.
"Halo Ardan? Iya sebentar, Ibu kecopetan."
"Iya, iya. Ibu tunggu ya. Ibu di depan Toko Cat Berkah Jaya."
Nama anaknya tidak asing bagiku. Apa anaknya Bu Puja adalah Ardan Pratama?
"Falisha, temani Ibu sebentar ya? Sampai anak Ibu menjemput. Ibu takut ada copet lagi." Pinta Bu Puja.
"Baik, Bu." Aku pun menurut menemaninya menunggu anaknya tiba.
Benar saja ketika anak Bu Puja tiba, dia Ardan yang aku kenal. Ardan menyalami ibunya.
Ardan melihatku. "Falisha? Kenapa kamu bersama Ibuku?"
"Kamu kenal dengannya, Ardan? Dia yang menolong Ibu." Bu Puja merangkul pundakku.
"Dia adik kelasku, Bu."
"Benarkah? Kebetulan sekali. Dia anak yang baik, Dan. Lihat dagangannya hancur karena dia menghentikan pencopet yang membawa tas Ibu." Bu Puja terus saja memujiku.
"Falisha bukan hanya baik, Bu. Dia cantik dan pintar," timpal Ardan.
"Orang tuamu pasti bersyukur memiliki putri sepertimu," ucap Bu Puja tulus.
Aku tersenyum getir. Setelah memastikan Bu Puja dan Ardan pergi, aku kembali ke rumah Nenek Ana. Karena daganganku seperti sudah tidak bisa ku jajakan, ada yang hancur sedikit. Aku akan membagi-bagikannya pada anak-anak yang bermain di lapangan nanti, agar tidak mubazir. Aku sudah mendapatkan uang dari Bu Puja untuk disetorkan pada Nenek Ana.
Sepanjang jalan, aku memikirkan Ardan begitu beruntung memiliki ibu yang baik seperti Bu Puja. Dia begitu ramah. Pantas saja Ardan tidak terima ketika ayahnya meninggalkan mereka, karena bagiku yang baru mengenal Bu Puja, dia tidak memiliki kekurangan apapun. Beliau tergolong cantik, ditambah hatinya yang begitu baik. Dia ramah pada pedagang kue bagelen keliling sepertiku, dan dia dekat dengan anaknya. Ardan juga terlihat begitu menyayangi ibunya.
Tanpa sadar aku membandingkannya dengan Bu Rianti, yang bersikap berbanding terbalik padaku. Bu Rianti begitu ketus padaku. Andai saja Bu Rianti seperti Bu Puja. Ah, aku berandai-andai yang tidak perlu, karena rasanya itu mustahil terjadi.
Sesampainya di lapangan yang ada di desaku, aku membagikan kue-kue bagelenku pada anak-anak yang sedang bermain bola. Mereka sangat senang dan berterima kasih. Padahal yang aku bagikan bukan kue bagelen utuh. Aku pun turut senang bisa berbagi hari ini. Aku juga bersyukur bertemu Bu Puja yang begitu baik hati.
***
“Apa yang terjadi, Fal? Kenapa wadah kuenya retak?” tanya Nenek Ana karena aku pulang dengan box kosong namun sedikit retak, ah sepertinya hampir pecah.
“Maafkan, aku, Nek. Tadi ada pencopet berlari melewatiku, aku menggunakan box ini untuk memukulnya.” Sebenarnya aku sedikit malu mengatakannya.
“Kamu berani sekali, Falisha. Tapi kamu tidak apa-apa, kan? Kamu baik-baik saja?” Nenek Ana memegangi badanku dan memastikan aku tidak terluka.
“Aku baik-baik saja, Nek. Ini uang dari ibu yang kecopetan.” Aku memberikan semua uang yang aku terima dari Bu Puja pada Nenek Ana.
Nenek Ana menghitung jumlah uang yang aku beri. “Ini banyak sekali, Fal.”
“Iya, Nek. Aku sudah menolaknya tapi beliau memaksa. Katanya tidak baik menolak rezeki.”
“Alhamdulillah, kita bisa membeli wadah baru yang lebih bagus.”
Aku mengangguk dan tertawa mendengar gurauan Nenek Ana.
***
Aku melihat sisi lain dari Ardan, walaupun dia terlihat seperti anak nakal, namun sebenarnya dia anak yang baik. Dia begitu terlihat menyayangi ibunya. Mungkin karena Ardan tahu, bahwa yang ibunya miliki sekarang hanya dirinya.
Aku sedang berjalan menuju kelas, tiba-tiba satu tangan menarik lenganku dan menyeretku ke belakang sekolah. Orang yang menyeretku adalah Ardan.
Aku menghentakkan tangannya. “Mau apa lagi sih, Kak?”
“Santai, Fal. Aku hanya ingin berbicara denganmu.”
“Tapi tidak begini caranya. Lenganku sakit!” gerutuku, sambil memegangi lenganku yang dia tarik.
Ardan sepertinya tidak tahu bagaimana cara bicara baik-baik. Ia lebih seperti memaksa.
“Baiklah, maafkan aku ya?” pinta Ardan. “Aku tidak tahu cara lain untuk mengobrol denganmu. Karena kamu terus menghindariku jika bertemu.”
Yang dikatakan Ardan benar, aku menghindarinya dan menjauh jika melihatnya. Itu karena aku tidak mau Arsalan marah. Alasan lainnya, aku tidak mau Arsalan dan Ardan bertengkar lagi gara-gara aku.
“A-aku ti ---”
Ardan dengan cepat memajukan langkahnya, membuatku tersentak dan langsung terdiam. Aku menatapnya tegang dan bersikap awas. Entah apa yang ingin dilakukannya. Jika dia maju selangkah lagi, maka aku akan berteriak.
Ardan tidak lagi memajukan langkahnya, namun dia memajukan wajahnya. Kemudian satu tangannya terulur hendak menyentuh kepalaku. Bukan aku berpikir macam-macam, sungguh itu karena aku takut. Bahkan rasanya bersuara pun aku tidak bisa.
“Kenapa kamu memejamkan mata? Aku hanya ingin mengambil daun ini dari kepalamu!” Ardan tertawa dan menunjukan daun yang ada di tangannya.
“Sudah aku bilang jangan dekati Falisha!” Arsalan datang dan hampir saja menghajar Ardan.
“Kak Arsa!” Buru-buru aku mencegahnya.
“Astaga. Kenapa kamu ada dimana-mana? Seperti hantu saja,” ejek Ardan pada Arsalan.
“Sedang apa kamu berduaan dengan manusia ini, Fal? Bukankah sudah aku katakana untuk tidak dekat-dekat dengannya?!” bentak Arsalan.
“Kak, dengarkan aku dulu. Ini tidak seperti yang Kakak lihat,” bujukku pada Arsalan.
“Aku tidak mau mendengar apa pun lagi darimu. Aku kecewa padamu!” Arsalan pergi meninggalkan aku dan Ardan.
“Kak! Kak Arsalan! Tunggu aku!”
Saat aku hendak mengejar Arsalan, tangan Ardan kembali mencekal lenganku. “Biarkan saja dia.”
“Ini semua gara-gara Kak Ardan!” Aku melepaskan tanganku darinya, kemudian berlari mengejar Arsalan.
Aku menengok kesana-kemari mencari sosok laki-laki yang aku sayangi itu, namun aku tidak menemukannya. Aku merutuki kebodohanku. Aku sudah berjanji pada Arsalan untuk menjauhi Ardan, namun aku malah berduaan dengannya. Bagaimana Arsalan tidak curiga dan marah. Aku meraup wajahku kasar. Memang bukan ide bagus menyukai seseorang, aku harus siap juga menghadapi segala resiko yang ada. Salah satunya menghadapi kemarahan orang yang kita sayangi.
Bel tanda masuk pun berbunyi, akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke kelas. Aku akan mengirimi Arsalan pesan untuk menjelaskan dan meminta maaf padanya.
Sampai jam istirahat Arsalan belum juga membalas pesanku. Sepertinya dia benar-benar marah padaku. Antara aku dan Ardan tidak ada apapun. Aku hanya menyukai Arsalan. Kenapa sulit sekali meyakinkannya?
Aku menunggu bel tanda pembelajaran berakhir dengan gelisah. Setelah bel berbunyi, secepat kilat aku menyambar tasku dan berlari ke luar kelas. Aku menuju ruang kelas Arsalan, dan berharap dia belum pulang.
Laki-laki yang aku tunggu pun akhirnya ke luar kelas, aku segera menghampirinya. “Kak Arsa,” sapaku.
Arsalan hanya berdehem menyahutku.
“Kak.” Aku menahan lengannya saat dia ingin melewatiku.
Saat Arsalan berhenti, aku menurunkan tanganku dari lengannya.
“Maafkan aku, Kak. Sungguh aku tidak ada apa-apa dengan Kak Ardan. Kami hanya ---”
“Ada apa-apa juga itu bukan urusanku,” potong Arsalan.
“Kak …,” lirihku sambil menatapnya.
“Rasa sukaku padamu mungkin hanya kamu anggap main-main. Jadi silahkan mainkan sesukamu, Fal!” Arsalan berjalan meninggalkanku yang hanya mematung.
Rasanya aku lelah dengan hubunganku dan Arsalan. Baru saja kemarin kami berbaikan, kini kami kembali bertengkar. Sepertinya aku memang ditakdirkan untuk tidak bahagia berhubungan dengan siapapun. Ah, aku lupa, hubunganku dan Arsalan memang tak ada statusnya.
Aku memilih tidak lagi mengejar Arsalan. Dia sudah terlanjur kecewa padaku. Jika dia ingin menjauhiku sekarang, aku sudah tidak peduli. Dan aku berencana tidak ingin menyukai siapa pun lagi setelah ini.