Kamalia menghela napas sebal. Di layar titik-titik itu bergerak. Pertanda di sana sedang mengetik balasan.
[Jangan panggil Tuan. Panggil Mas dihadapan Mama. Oke, aku minta maaf untuk yang tadi. Kesepakatan tetap dilanjutkan.]
Kamalia meletakkan ponsel di sebelah bantal. Ia merasa sudah masuk perangkap. Mau mundur ia juga ragu, sampai kapan bisa bertahan untuk membayar hutang itu. Apa benar ia mau menua sia-sia.
Jika ia menyetujui keinginan Devin, paling tidak ia akan bertahan dua tahun saja. Setelah itu akan bebas. Meski berstatus janda.
Akan tetapi, benarkah Devin bukan lelaki sempurna? Kenapa ia ragu. Pria segagah itu, sehat, dan keren, apa mungkin ....
Oh, tidak-tidak. Yang penting dia sudah berjanji tidak akan menyentuhnya.
Kamalia menutup wajahnya dengan guling. Rasa-rasanya setelah lepas dari Devin ia harus segera di ruqyah.
🌷🌷🌷
Kamalia membuka pintu kamar setelah di ketuk berulang dari luar. Devin yang telah rapi memakai celana jeans hitam dan kaos polo warna senada berdiri menjulang di depan pintu.
"Sudah ditunggu Mama di luar."
"Iya, sebentar. Aku bingung pakai baju yang mana?" Kamalia menunjuk ke arah beberapa baju yang terbentang di ranjang.
"Pakai yang mana saja."
"Aku tidak punya make up, aku hanya pakai bedak saja."
"Tidak apa-apa. Aku tidak suka wanita dandan berlebihan. Cepat ganti baju, kutunggu di luar."
Kamalia segera menutup pintu. Ia memilih gaun berbahan satin warna salem, berlengan panjang dengan kerah berbentuk huruf V. Setelah memakai bedak dan menyisir rambut, Kamalia menenteng stiletto hitam keluar kamar.
"Wah, cantik kamu, Kamalia," puji Bu Rahma setelah Kamalia muncul dari dalam.
Gadis itu menunduk malu.
"Ayo, jalan sekarang."
"Kita jadi ketemuan sama Bu Wini, Ma?" tanya Devin sambil menerima kunci mobil Mamanya.
"Huum, enggak enak sudah janjian. Tapi Mama tadi sudah telepon kalau mau datang denganmu dan calon istrimu."
Bu Rahma duduk disebelah Devin yang pegang kemudi. Sementara Kamalia duduk di bangku tengah.
"Kamu sudah tahu, 'kan, kalau Devin ini vegetarian," tanya Bu Rahma sambil menoleh ke belakang.
"Ya, Tante. Saya sudah tahu."
"Syukurlah! Berapa lama kalian pacaran?"
"Dua tahun, Ma," jawab Devin asal saja.
"Habis itu, kenapa kalau Mama tanya jawabmu enggak punya pacar."
"Waktu itu Kamalia masih kuliah."
"O."
Wajah Bu Rahma berbinar-binar. Rasanya tidak sabar untuk segera memeluk cucu. Setidaknya sebelum pensiun, beliau sudah bisa mengenalkan cucunya pada rekan-rekan dosen. Meski mungkin yang ditunjukkan hanya berupa foto.
"Minggu depan kita mulai membahas pernikahan kalian. Kalau Mama pulang ke vila, jemput Kamalia untuk datang, Dev. Biar kami bisa ngobrol. Mama penasaran pengen dengar kisah pertemuan kalian."
Devin hanya mengangguk, padahal Kamalia memang sudah tinggal di vila.
Sementara perasaan Kamalia berdesir hebat. Tidak mengira ia akan menjalani pernikahan seperti ini. Bagaimana ia akan cerita ke Mbak Eva, Mas Ragil, Sumi, dan Mbok Darmi. Kamalia semakin pening. Kenapa lah dia dihadapan pada perkara konyol begini.
Bu Rahma yang sangat baik juga membuatnya merasa bersalah, karena pernikahannya dengan Devin hanya untuk sementara saja.
🌷🌷🌷
Ninis berulang kali mencuri pandang ke arah Kamalia yang duduk berseberangan. Mereka mengambil tempat duduk di tengah ruangan restoran seafood. Meja bulat di tengah-tengah penuh oleh berbagai menu yang di pesan. Ninis kecewa, padahal ia sudah dandan secantik mungkin untuk bertemu Devin. Rupanya pria itu datang untuk mengenalkan calon istri. Sialnya, ia kalah dengan gadis polos itu.
Bu Wini berulang kali memberi kode pada putrinya untuk bersikap ramah. Namun Ninis tidak peduli. Bu Rahma melihat kekecewaan gadis itu dan merasa bersalah meskipun dari awal belum menjanjikan apa-apa.
"Ninis udah dapat kerjaan apa belum?" tanya Bu Rahma ramah.
"Belum, Tante. Pengen ngelamar di perkebunan. Kira-kira ada lowongan, enggak?" jawab gadis itu sambil memandang Devin.
Pria itu tersenyum. "S2 mau kerja di kebun?"
"Kebun bukan sembarang kebun, 'kan?"
"Ninis ini memang suka membaur di alam, Dev." Bu Wini menimpali.
"Coba Dev, mungkin kalau ada lowongan," kata Bu Rahma.
"Tidak kuat bayarin gajinya, Ma."
Jawaban Devin membuat tertawa sang mama dan Bu Wini. Sedangkan Kamalia dan Ninis hanya tersenyum. Kamalia bisa merasakan kalau gadis bergincu warna salmon itu menyukai Dev. Dan terlihat begitu mencemburuinya.
Mereka berlima berbincang hingga jam delapan malam. Bu Rahma berpamitan lebih dulu karena ingin mengajak calon mantu jalan-jalan di mall.
"Lia, sini!" panggil Bu Rahma yang berdiri di sebelah etalase toko perhiasan.
Kamalia yang berdiri di pagar pembatas dan memperhatikan pengunjung di lantai bawah segera menghampiri.
"Bagus enggak kalung sama liontin ini?" Bu Rahma menunjukkan kalung emas putih berliontin batu xavier yang ada di telapak tangannya.
"Iya, bagus, Tante."
"Kamu suka?"
Kamalia mengangguk.
"Ini Tante belikan buat kamu. Untuk hadiah pernikahan kalian nanti."
Gadis itu memandang tak percaya, karena melihat harga yang tertera tidaklah murah.
"Ini terlalu mahal, Tante."
"Enggak apa-apa."
Bu Rahma menyerahkan benda itu kepada seorang pramuniaga agar di kemas bagus.
Devin hanya memperhatikan, rasanya setelah ini bebannya akan makin berat. Berniat hanya ingin terbebas dari perjodohan dengan Ninis, akhirnya akan membawa pada drama yang panjang.
Kamalia tidak serta merta berbangga, tapi malah bingung dengan apa yang akan dilakukan setelah ini.
🌷🌷🌷
Setelah sarapan, Devin mengajak Kamalia berpamitan. Bu Rahma mewanti-wanti agar mereka jaga diri sebelum sah menjadi suami istri.
"Apa aku bisa menemui Mbak Eva sebelum kembali ke vila?" tanya Kamalia beberapa saat setelah meninggalkan rumah Bu Rahma.
"Untuk apa?"
"Mbak Eva harus tahu kalau aku akan menikah. Meski pernikahan ini tidak seperti pada umumnya."
"Apa dia harus tahu?"
"Dia satu-satunya saudaraku. Apa salahnya tahu?"
"Terserah. Aku tidak akan ikut. Aku tunggu di luar."
"Terima kasih. Aku merasa sangat bersalah pada Mamamu. Dia begitu baik, tapi kita bohongi seperti ini."
Keduanya bersitatap.
"Kita tidak bohong, kita benar-benar menikah. Hanya tidak akan bersentuhan. Sampai hutang pamanmu lunas dan kamu bebas."
Kamalia memandang ke hadapan. Jalanan sangat ramai di hari Minggu itu.
"Gadis semalam tampaknya sangat menyukaimu."
"Sepertinya begitu," jawab Devin santai.
"Kenapa tidak dengan dia saja Tuan menikah?"
Dev diam.
"Apa takut rahasiamu terbongkar?"
Dev hanya tersenyum sambil melirik sekilas Kamalia.
🌷🌷🌷
Satu setengah jam kemudian mobil telah terparkir di tepi jalan depan rumah bergaya doro gepak. Itu rumah mertua Eva.
Suasana tampak sepi, tapi pintu utama rumah terbuka.
"Turunlah! Aku tunggu di sini," kata Devin.
Kamalia turun dan menyeberang jalan. Devin menurunkan sandaran kursi dan merebahkan tubuhnya. Ia sama sekali tidak memandang ke arah Kamalia. Enggan rasanya jika melihat Eva, wanita yang telah menolaknya mentah-mentah kala itu.
"Assalamualaikum." Kamalia mengucap salam di depan pintu.
"Wa'alaikumsalam," jawab Eva yang keluar dari dapur.
Kedua kakak beradik itu saling berpelukan. Eva yang cengeng langsung menangis sesenggukan.
Next ....