"Alhamdulillah, kamu datang, Lia. Mbak nungguin kabar darimu. Mbak khawatir? Kamu nggak apa-apa, 'kan?" Eva memberondong adiknya dengan kata-kata.
Wanita itu mengajak sang adik duduk di balai-balai dapur. Dengan ujung jilbabnya ia menyusut air mata.
"Lihatlah, aku baik-baik saja. Maaf kalau tidak sempat nelepon. Acara nikahannya lancar, 'kan Mbak?"
"Alhamdulillah, lancar. Ibu bolak-balik nanya tentang kamu."
"Oh ya, ibu dan Mas Ragil mana? Kok enggak nampak."
Rumah memang sepi.
"Mas Ragil nganter ibu belanja bahan-bahan roti ke pasar. Habisnya ada yang pesen dadakan tadi. Kalau bapak masih di sawah."
Kamalia mengangguk sambil memperhatikan sekeliling. Kakaknya terlihat lebih segar setelah menikah. Pastilah, karena ada yang menjaga dan memperhatikan. Tidak perlu was-was lagi.
"Siapa kerabat kita yang datang waktu kakak menikah?"
"Paman saja."
"Keterlaluan mereka. Tahunya hanya mengambil barang milik kita." Kamalia berkata sambil menahan geram.
"Sudahlah! Biarkan saja. Semua sudah terjadi mau gimana lagi. Yang penting setelah ini kita harus hati-hati."
Kamalia mengangguk.
"Kamu datang ke sini di antar siapa?"
"Sama Devin. Dia menunggu di mobil."
"O ... dia baik sama kamu?"
Kamalia memandang sang kakak. Kemudian tersenyum sambil menepuk punggung tangan Eva. "Jangan khawatir, dia tidak akan macam-macam denganku."
"Syukurlah! Mbak merasa bersalah, telah membuatmu terperosok sebagai tumbal paman kita."
Hening. Eva memerhatikan gaun yang dipakai Kamalia. Baru kali ini sang adik memakai gaun seperti itu. Bukan karena harganya yang mahal, tapi Kamalia lebih suka berpakaian kasual.
"Kapan Mbak mau bulan madu?"
Eva tersenyum. "Mas Ragil masih mau ikut tes CPNS bulan depan. Doakan lulus, ya!"
Kamalia mengangguk.
"Bajumu bagus, kamu yang beli?"
Sebelum menjawab Kamalia menarik napas panjang. Kemudian memandang serius kakaknya. Gadis itu bercerita di awali dengan perjalanan kemarin siang. Eva sampai bingung harus memberi saran bagaimana. Ia pun tidak bisa membantu. Bicara dengan Devin pun hanya akan menambah masalah baru.
"Aku enggak nyangka kalau hutang Paman sebesar itu. Aku bisa tua sia-sia di sana, Mbak. Hanya untuk bayar hutang. Makanya aku menyetujui pernikahan itu."
Air mata Eva kembali menetes.
"Udah jangan nangis lagi. Entar Mas Ragil pulang curiga lho! Aku enggak apa-apa. Lagian orang-orang di villa itu memperlakukan aku dengan baik. Yang penting dua tahun lagi sertifikat yang dijadikan jaminan bisa kembali ke kita."
Eva tersenyum di antara tangisnya. Dan pembicaraan terhenti saat ponsel di tas Kamalia berbunyi. Panggilan dari Devin.
"Hallo."
"Kita pulang."
Panggilan diakhiri. Kamalia memasukkan ponsel kembali.
"Berapa nomor teleponmu, Lia? Biar Mbak bisa menghubungimu."
"Nanti aku yang telepon ke Mbak Eva. Ini ponsel pinjaman. Aku enggak boleh nyimpan nomer siapapun di sini. Sudah, ya! Aku pergi dulu."
Kamalia segera berdiri. Mereka berpelukan sejenak. Eva mengantar Kamalia hingga ke teras depan.
"Jangan pernah tinggalkan sholat, Lia," teriak kakaknya. Kamalia menoleh, lantas mengangguk
Di dalam mobil, Devin sama sekali tidak memandang ke arah mereka. Malah menyibukkan diri dengan ponselnya.
"Maaf, kalau menunggu lama," ucap Kamalia setelah duduk dan mobil meluncur perlahan meninggalkan rumah Eva.
Devin tidak menjawab, tetap fokus ke jalanan. Hingga mobil keluar dari jalan desa Sumber Agung dan memasuki kawasan persawahan penduduk. Devin mematikan AC dan membuka kaca jendela saat jalanan mulai menanjak dan masuk hutan pinus. Udara terasa segar dan dingin meski masih tengah hari.
Kamalia mengirup udara banyak-banyak, untuk menghilangkan kegundahan. Devin memandang sejenak. Ia merasakan kegelisahan gadis di sebelahnya yang fokus menatap hutan.
Mobil telah memasuki perkebunan teh milik warga. Hingga berapa kilo kemudian masuk wilayah perkebunannya.
"Tidak ada sandiwara di vila nanti, Kamalia. Bagi para karyawan di sana, bahkan dihadapan Mbok Darmi dan Sumi kamu tetap calon nyonya. Kita menikah betulan." Devin baru membuka suara.
"Nikah betulan?"
"Apa kamu pikir akad nikah itu main-main?"
"Bukankah hanya untuk dua tahun saja hingga hutang pamanku lunas?"
"Iya, tapi kita benar-benar menikah. Bukan bercanda. Kesepakatan itu hanya kita yang tahu."
Kamalia tidak bicara lagi, karena mobil telah memasuki halaman vila. Di teras, Ben sudah memakai jaket, helm dan tas juga sudah siap di meja.
Cowok itu tampak heran dengan penampilan Kamalia yang turun dari mobil. Dres bermotif bunga-bunga sebatas lutut membuat penampilan gadis itu sangat berbeda dari kemarin. Anggun dan cantik.
"Kamu mau pulang sekarang?" tanya Devin pada Ben. Sementara Kamalia langsung masuk ke vila sambil membawa barang belanjaan.
"Iya. Aku mau bertemu teman-teman dulu. Ngomong-ngomong ada acara apa Mas ngajak Kamalia bertemu Mama. Jangan-jangan dugaanku benar. Pasti ada apa-apa di antara kalian." Ben memandang kakaknya penuh curiga.
"Kami akan menikah."
"Apa?" Ben kaget.
"Mama setuju, tapi jangan pernah cerita kalau Kamalia sudah tinggal di vila."
Ben berdiri, meraih tas ransel dan meletakkan di punggungnya.
"Aku sudah curiga saat melihat kalian dalam satu kamar pagi itu. Mana belum sempat pakai baju lagi."
"Jangan cerita apa-apa ke Mama. Jika masih ingin uang bulanan untukmu tetap mengalir."
"Iya-iya. Kapan kalian nikah?"
"Secepatnya."
"Oke. Habis nikah enggak lama kemudian kakak iparku lahiran."
Devin menatap tajam sang adik. Ben tersenyum jahil.
"Siapa tahu kalian sudah DP duluan." Ben tertawa ngakak, tidak peduli kakaknya yang menatapnya tak suka.
"Enggak sabar mau segera gendong ponakan." Ben masih menggoda sambil memakai helmnya.
"Oke, Mas Bos. Aku pulang dulu."
Ben mencium tangan Devin. Kemudian menaiki motor sport-nya dan meluncur pergi.
Devin langsung naik ke lantai dua. Sementara Kamalia yang sudah berganti baju menemui Mbok Darmi dan Sumi di dapur. Untung saja waktu ia masuk tadi, tidak ada yang melihat. Jadi langsung masuk kamar dan ganti baju, sebelum mereka tahu gaun yang dipakainya.
🌷🌷🌷
Setelah makan malam Mbok Darmi tidak langsung ke paviliun, wanita itu berbincang dengan Sumi di kamar gadis itu. Mereka sungguh terkejut saat Devin memberitahu kalau akan menikahi Kamalia.
"Aku enggak ngira kalau Tuan dan Kamalia akan menikah." Sumi berkata sambil melipat bajunya.
"Sama, si Mbok juga terkejut tadi. Padahal kita tahu sendiri, kalau mereka baru saling mengenal."
"Ada apa ya, Mbok? Sepertinya Kamalia juga nggak nyaman dan tampak menyimpan beban gitu. Apa dia di paksa sama Tuan?"
"Ish, enggak mungkin Tuan berbuat seperti itu. Kita juga sudah lama kenal Tuan, 'kan?"
Kedua wanita beda generasi berbincang hingga jam delapan malam. Kemudian Mbok Darmi pamitan mau ke paviliun.
Setelah menutup pintu depan, Sumi menuju kamar Kamalia. Perlahan sekali ia mengetuk pintu kayu jati yang berplitur cokelat setinggi dua meter lebih.
"Ayo, masuk." Kamalia menarik lengan Sumi.
Keduanya duduk di lantai granit dan bersandar pada tempat tidur.
"Aku masih enggak percaya dengan ucapan Tuan tadi. Beberapa hari yang lalu kamu datang sebagai pekerja, tapi belum ada seminggu semua berubah. Itu bukan bercanda, 'kan, Lia?"
Kamalia menggeleng. "Enggak."
"Apa ada sesuatu yang kamu simpan. Cerita saja, Insyaalloh aku bisa menjaganya. Daripada kamu terlihat tertekan gitu."
"Aku enggak bisa, ini terlalu pribadi, Sumi."
"Tuan Dev memaksamu?"
"Tidak."
"Kalian khilaf dan sudah terlanjur?"
Kamalia tertawa ringan. "Ih, tidak. Aku masih perawan tahu. Pokoknya ada sebabnya kenapa kami akan menikah."
Sumi menggeser duduknya, kemudian memeluk bahu Kamalia.
"Semoga alasannya karena kalian telah sama-sama jatuh cinta. Kudoakan kamu bahagia, Nyonya Dev."
Keduanya saling pandang. Kamalia tersenyum getir sementara Sumi tersenyum haru. Ia bahagia, Tuan yang begitu baik terhadapnya kini telah menemukan jodoh.
"Setelah menikah pun, kamu harus tetap memanggilku Kamalia. Jangan ada embel-embel di depannya.
"Apa kamu ingin aku dipecat dari sini?"
"Tuan tidak akan marah. Aku yang akan bilang nanti."
"Padahal aku akan memanggilmu Nyonya Dev."
Kamalia menggeleng. "Jangan!"
🌷🌷🌷