Chapter 4

1510 Kata
Savannah melangkahkan kakinya cepat menuju kelas yang akan dimulai lima menit lagi. Beberapa kali ia melihat jam tangannya kalau-kalau ia sudah terlambat. Dan untungnya, ia sampai di kelas tepat sebelum kelas paginya dimulai. Ia pun segera duduk di bangkunya dengan nafas terengah-engah. Savannah menolehkan kepalanya saat melihat sebuah tangan terulur ke arahnya. Tangan yang memegang sapu tangan. Ia lalu menatap pria yang memberinya sapu tangan itu. “Lap keringatmu” Pinta pria itu. “Terima kasih” Ujar Savannah kemudian mengambil sapu tangan itu lalu mengusap keringat yang berada di keningnya akibat olahraga jalan cepat yang ia lakukan pagi ini. “Akan kukembalikan setelah kucuci” Ucap Savannah pada pria itu. “Oh, ya. Namaku Savannah, kau juga pasti tahu. Kemarin aku sudah memperkenalkan diriku” Lanjutnya. “Siapa namamu?” Tanya Savannah. Selama beberapa saat, pria itu hanya terdiam menatap Savannah. Savannah yang ditatap seperti itu pun merasa gugup dan canggung hingga berpikir kalau ada sesuatu di wajahnya. “Aldebaran Leovard Deansha” Ujar pria bernama Aldebaran tersebut. “Aldebaran” Gumam Savannah. “Semoga kita bisa menjadi teman akrab” Lanjutnya seraya tersenyum. Aldebaran yang mendengar itu lantas terkekeh. Di sisi lain, Tia yang melihat interaksi keduanya hanya bisa memandangi mereka dalam diam. Setelahnya, ia kembali mengalihkan tatapannya ketika seorang dosen masuk ke dalam kelas mereka. ------- Danish melepas kacamata kerjanya lalu memijat pelan pangkal hidungnya yang terasa nyut-nyutan. Keningnya bahkan mengerut karena rasa pening itu. Helaan nafas lantas keluar dari bibirnya. Ia lalu meminum kopi yang berada di atas mejanya. Menahan rasa pening di kepalanya, Danish kembali memasang kacamatanya dan lanjut memeriksa tugas para mahasiswa yang baru dikumpul hari ini. Kepalanya mengangguk sesekali ketika melihat jawaban benar dari tugas yang ia berikan. ‘B-’. Itulah nilai yang Danish berikan untuk tugas mahasiswa tersebut. Tok. Tok. Tok. “Masuk!” Pinta Danish yang sesaat kemudian, pintu ruangannya terbuka dan seorang mahasiswi masuk ke dalam. “Ada apa?” Tanya Danish seraya melepas kacamatanya membuat mahasiswi tersebut sempat terpana selama beberapa saat. “Ada yang ingin saya tanyakan, Sir” Jawab mahasiswi tersebut dengan tatapan kagum pada Danish. “Silakan” Pinta Danish. “Untuk tugas yang membuat laporan mengenai seminar minggu lalu, dibuat dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, Sir?” Tanya mahasiswi tersebut. “Apa kamu tertidur selama mata kuliah saya, sampai tidak mendengarkan penjelasan saya?” Tanya Danish membuat mahasiswi tersebut memasang ekspresi bingung. “Atau kamu menganggap mata kuliah saya sebagai bahan bercandaan?” Sarkasnya. “Saya tidak mengerti, Sir” Ujar mahasiswi itu gugup. “Menurutmu, untuk apa mata kuliah saya kalau pada akhirnya kamu menggunakan bahasa Indonesia untuk membuat laporan? Bukankah sejak awal perkuliahan, saya sudah menetapkan peraturan untuk menggunakan bahasa Inggris selama percakapan maupun dalam pengerjaan tugas? Atau kamu tidak mengikuti pertemuan pertama mata kuliah saya?” Tanya Danish beruntun. “Maaf, Sir” Ucap mahasiswi itu menunduk malu. Sebenarnya, ia sudah tahu mengenai peraturan itu. Satu-satunya alasan ia berpura-pura tidak tahu adalah karena ia ingin bertemu dengan Danish untuk mencari perhatian pria itu. Dan ia tak menyangka kalau respon Danish akan seperti itu padanya. “Kembalilah ke kelasmu” Pinta Danish. “Baik, Sir” Ucap sang mahasiswi kemudian langsung keluar dari ruangan Danish dengan perasaan yang teramat malu. Sepeninggal mahasiswi itu, Danish kembali memijat pangkal hidungnya. Kepalanya sudah sangat pening dan semakin pening karena emosi akibat pertanyaan sepele yang diajukan mahasiswi tadi. Apa sekarang sudah waktunya ia menderita hipertensi –penyakit tekanan darah tinggi-? Danish pun menyandarkan punggungnya pada sandaran kursinya seraya menghela nafas. Tangannya lalu terulur membuka laci mejanya dan mengeluarkan sebuah bingkai foto yang selalu berada di sana. Senyum tipis terukir di wajahnya. Membayangkan bagaimana wanita yang berada di dalam bingkai foto itu tersenyum lebar seraya menatapnya. “Andai kamu ada di sini, mungkin kepalaku tidak akan sepening ini. Karena, kamu selalu ada untuk menghiburku” Gumam Danish. Sekali lagi, Danish menghela nafas lelah. Ia pun memutuskan untuk menyimpan bingkai foto tersebut dan melanjutkan pekerjaannya. Setelah jam istirahat nanti, ia memiliki kelas. Jadi, ia harus bergegas jika tak ingin membawa pulang pekerjaannya. ------- “Ar” Panggil Tia seraya menghampiri Savannah. “Kau sudah dapat teman kelompok, belum?” Tanyanya. “Aku dan Aldebaran sudah bentuk tim” Jawab Tia. “Aldebaran?” Tanya Tia seraya menatap Aldebaran yang tengah menyimpan buku ke dalam tasnya. “Iya. Dia bilang belum punya kelompok lalu mengajakku” Jelas Savannah. “Kau? Sudah dapat atau belum?” Tanyanya. “Belum. Aku baru mau mengajakmu” Jawab Tia. “Kalau begitu, bagaimana kalau kau sama kami saja? Tim kami kurang satu orang” Ajak Savannah yang diangguki oleh Tia. “Al” Panggil Savannah membuat Aldebaran menoleh padanya. “Tidak apa-apa ‘kan kalau Tia masuk kelompok kita?” Tanyanya. Meski ia tahu kalau pria itu pasti sudah mendengarkan percakapannya dengan Tia karena tempat duduk mereka bersampingan. Hanya saja, ia merasa tidak enak kalau memutuskan sendiri. Terlebih, pria itu yang mengajaknya lebih dulu. “Ya” Jawab Aldebaran. “Baiklah” Ucap Savannah. “Kalau begitu, kapan kita mulai mengerjakan tugasnya?” Tanyanya semangat. “Bagaimana kalau hari ini saja?” Usul Tia. “Boleh” Ujar Savannah. “Bagaimana denganmu?” Tanyanya pada Aldebaran. “Tentukan saja tempatnya” Ucap Aldebaran. “Bagaimana kalau di rumahmu saja, Ar? Rumahku sedang berantakan, jadi tidak bisa di sana” Usul Tia. “Bagaimana menurutmu, Al?” Tanya Tia. “Tidak masalah” Jawab Aldebaran. “Baiklah. Di rumahku saja kalau begitu” Ucap Savannah. “Apa kalian akan langsung ke rumahku setelah mata kuliah terakhir nanti?” Tanyanya. “Ya” Jawab Aldebaran. “Tentu saja. Akan merepotkan kalau harus pulang dulu” Jawab Tia. “Baiklah” Ucap Savannah. “Aku lapar. Ayo, ke kantin” Ajak Tia. “Ayo” Ucap Savannah. “Al, kau mau ikut?” Tanya Savannah. “Tidak” Jawab Aldebaran. “Kau tidak lapar?” Tanya Savannah. “Tidak” Jawab Aldebaran. “Kau benar-benar tidak mau? Setidaknya isi perutmu siang ini” Ajak Savannah lagi. “Tidak” Jawab Aldebaran. “Dasar keras kepala” Ucap Savannah. “Baiklah, kami pergi dulu” Pamitnya. “Ya” Ujar Aldebaran. Setelahnya, Savannah dan Tia pun beranjak dari sana meninggalkan Aldebaran yang melirik kepergian keduanya. Lebih tepatnya, Savannah. “Setelah ini mata kuliah sastra Inggris, ‘kan?” Tanya Savannah. “Ya. Jadi, persiapkan dirimu untuk bertemu dengannya” Tutur Tia. “Aku justru tidak sabar untuk bertemu dengannya. Aku semakin penasaran dengan dosen itu” Ucap Savannah. “Tidak bisakah kau memperlihatkan fotonya padaku?” Bujuknya. “Aku tidak punya fotonya. Jadi maaf, tidak bisa” Ujar Tia yang membuat wajah Savannah tertekuk hingga Tia terkekeh. “Aku hanya bisa mengatakan ini padamu” Lanjutnya membuat Savannah langsung menatapnya. “Usahakan untuk mengontrol wajahmu di depannya jika kau tak mau dia melihatmu dalam keadaan merona karena wajah tampannya” Tutur Tia. “Sudah berapa kali kukatakan. Aku ini kebal dengan wajah tampan” Dengus Savannah. “Ya, ya, ya. Kita lihat saja nanti” Ucap Tia. “Oh, ya. Ada satu peraturan yang harus dipatuhi saat kelasnya dimulai” Serunya. “Apa?” Tanya Savannah. “Baik dalam percakapan maupun tulisan, kita harus menggunakan bahasa Inggris. Jika tidak, poinmu akan dikurangi yang secara otomatis, nilaimu pun juga akan berkurang” Jelas Tia. “Baiklah. Hanya itu ‘kan?” Tanya Savannah yang diangguki oleh Tia. ------- Kaki Danish melangkah tegas begitu keluar dari ruangannya. Pening di kepalanya pun telah berkurang setelah makan siang. Kini, ia telah siap untuk kembali bertempur dengan para mahasiswa. “Good afternoon” Sapa Danish begitu masuk ke dalam kelas. “Good afternoon, Sir” Balas para mahasiswa. “How are you today?” Tanya Danish seraya meletakkan tasnya di atas meja. “Like usual, Sir” “I’m doing good, Sir” “Not so bad, Sir” “Feel bad, Sir” “I’m fine, Sir” “Great, Sir” Itulah berbagai balasan dari para mahasiswa. Ada yang mengeluh dan ada yang tersenyum lebar melihat kehadiran pria itu. “Bagaimana dengan tugas kalian?” Tanya Danish dalam bahasa Inggris yang mengundang para mahasiswa untuk bergumam riuh memperdebatkan tugas yang ia berikan. “Kalian tahu konsekuensi jika tidak mengerjakan tugas, bukan?” Tanya Danish. “Yes, Sir” Jawab para mahasiswa yang dengan jelas terlihat sangat terpaksa menjawab pertanyaan Danish. “Ketua, tolong kumpul semua tugas temanmu” Pinta Danish. “Baik, Sir” Jawab sang ketua. “Tapi, sepertinya aku melihat ada wajah baru di sini” Ucap Danish. “Saya, Sir” Sahut seorang gadis yang Danish maksud. “Mahasiswa pindahan?” Tanya Danish. “Benar, Sir” Jawab gadis tersebut. “Karena ini pertemuan pertama kita, silakan perkenalkan dirimu” Pinta Danish. Gadis itu pun berdiri dari duduknya. “Perkenalkan, nama saya Savannah Arletta Aster. Anda bisa memanggil saya Arletta. Saya mahasiswi pindahan dari Surabaya” Ucap Savannah. “Great. Silakan duduk” Pinta Danish. “Anda belum memperkenalkan diri Anda” Ucap Savannah membuat Danish menatapnya. ------- Love you guys~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN