Chapter 5

1606 Kata
“Anda belum memperkenalkan diri Anda” Ucap Savannah membuat Danish menatapnya. Mahasiswa lain lantas menatap Savannah dengan tatapan yang berbeda-beda. Ada yang menatap dengan tatapan bingung, tak percaya, bangga, bahkan kesal. Ada pula yang bergumam mengenai sikap Savannah barusan. “Apa dia sudah gila?” “Wah~ Sepertinya nyawanya melebihi nyawa kucing yang ada sembilan” “Nyalinya besar juga” “Aku tidak percaya dia seberani itu” “Lihat, dia bahkan menatap Pak Danish seperti itu” “Tidak tahu malu” “Diam” Pinta Danish yang langsung membuat para mahasiswa seketika terdiam. “Nilai kalian yang bergumam tadi akan saya kurangi sepuluh poin sesuai kesepakatan karena berbicara menggunakan bahasa Indonesia” Lanjutnya yang langsung mengundang keluhan dari para mahasiswa hingga membuat Danish lagi-lagi menegur mereka. “Kau ingin aku memperkenalkan diriku?” Tanya Danish pada Savannah. “Saya sudah memperkenalkan diri saya. Bukankah tidak adil jika hanya saya yang melakukannya?” Tanya Savannah balik. “Apa kau tidak melihat namaku tertera di jadwal mata kuliah?” Tanya Danish. “Nama saya juga tertera di absen yang baru. Tapi, Anda tetap meminta saya untuk memperkenalkan diri saya pada Anda dan saya telah melakukannya” Ucap Savannah yang lagi-lagi mengundang bisikan-bisikan kecil di sekitarnya. Cukup lama keadaan di dalam kelas tersebut hening dan terasa menegangkan. Bahkan, tak seorang pun dari mereka yang berani bersuara. Hingga Danish kembali membuka suara. “Baiklah” Ucap Danish. “Namaku Danish Arsakha Vinendra. Dosen tetap untuk mata kuliah sastra Inggris” Lanjutnya. “Terima kasih, Sir” Ujar Savannah kemudian kembali duduk di tempatnya. Kepalanya menoleh pada Aldebaran yang kini juga tengah menatapnya. Senyumnya lalu terukir yang dibalas dengan gelengan kepala oleh pria itu. Tak lama setelahnya, Aldebaran berdiri dari duduknya dan mulai mengumpulkan tugas mahasiswa yang lain. Yap, pria itu adalah sang ketua kelas. “Sir” Panggil Savannah seraya mengacungkan tangannya ke atas. “Ya?” Tanya Danish. “Apa nilai saya akan berkurang karena tidak mengumpulkan tugas hari ini?” Tanya Savannah. “Karena kau mahasiswi pindahan dan belum tahu mengenai tugas ini, jadi tugas ini akan menjadi nilai bonus untukmu” Jelas Danish. “Baik. Terima kasih, Sir” Ucap Savannah. “Tidak perlu berterima kasih. Itu hanya salah satu peraturan kampus” Ujar Danish acuh. Senyum Savannah pun semakin lebar. Hasratnya untuk mendapatkan nilai sempurna dari pria itu semakin besar. Hingga membuat dirinya merasa menggebu-gebu dan tak sabar untuk melihat nilai itu tertera di transkrip nilainya nanti. Sementara Danish masih dengan sikap acuhnya membuka buku yang ia bawa tanpa menyadari Savannah yang terus menatapnya. ------- “Kau belum pulang?” Tanya Aldebaran yang berhenti tepat di depan Savannah bersama motornya serta helm full face-nya. Gadis itu tengah menunggu di halte bus yang tak jauh dari kampus mereka.. “Tadi aku sedang menunggu Ayahku. Tapi, tiba-tiba dia memiliki meeting mendadak. Jadilah sekarang aku menunggu bus” Jelas Savannah. “Naiklah” Pinta Aldebaran. “Hah?” Gumam Savannah. “Aku akan mengantarmu pulang. Lagi pula rumah kita searah” Ucap Aldebaran. “Dari mana kau tahu rumah kita searah? Kita ‘kan...” “Naiklah” Pinta Aldebaran memotong ucapan Savannah. “Tapi, aku tidak bawa helm” Ucap Savannah. “Tidak apa-apa. Tidak ada polisi yang berjaga di sepanjang jalan pulang” Ujar Aldebaran. “Tapi, itu ‘kan melanggar hukum” Ucap Savannah. “Kau mau naik atau tidak?” Tanya Aldebaran membuat Savannah terdiam sejenak. Jika ia menolak, itu artinya ia harus menunggu bus yang akan datang setengah jam lagi. Tapi, itu terlalu lama dan ia paling benci jika harus menunggu. “Baiklah” Ucap Savannah kemudian beranjak menuju Aldebaran yang membuat pria itu langsung memindahkan tasnya ke depan agar Savannah bisa duduk. Perlahan, Savannah naik ke atas motor pria itu dengan sebelah tangannya yang menggenggam erat jaket Aldebaran sebagai penopang tubuhnya. “Aku sudah siap” Ucap Savannah. “Pegangan yang erat” Pinta Aldebaran yang membuat Savannah sontak memegang sisi kiri dan sisi kanan jaket Aldebaran hingga membuat pria itu tersenyum tipis dibalik helm-nya. Tak lama setelahnya, Aldebaran pun mulai melajukan motornya yang membuat Savannah tersentak hingga ia refleks langsung memeluk Aldebaran. “Ah, maaf” Ucap Savannah saat menyadari apa yang ia lakukan. Saat ia hendak memperbaiki posisi duduknya, Aldebaran langsung menahan tangan Savannah yang masih memeluknya. “Sudah kubilang pegangan yang erat” Ujar Aldebaran. “Iya” Ucap Savannah. Saat Savannah kembali ingin melepas tangannya, Aldebaran lagi-lagi menahannya. “Kau akan jatuh jika duduk seperti tadi” Ujar Aldebaran. Savannah lalu terdiam dengan posisi memeluk pria itu. Ini adalah kali pertamanya naik motor seperti ini, jadi ia tak tahu bagaimana cara berpegangan dengan benar. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk mendengarkan ucapan Aldebaran dengan terus memeluknya. Lebih baik ia mematuhi ucapan orang yang lebih ahli dengan motor seperti ini. Ia tak ingin benar-benar terjatuh nantinya. Sepanjang perjalanan pulang, keduanya hanya terdiam tanpa ada yang membuka suara. Aldebaran fokus menatap jalanan. Sementara Savannah yang masih belum mengenal Jakarta dengan baik, memusatkan pandangannya pada gedung-gedung pencakar langit yang mereka lewati. “Ternyata Jakarta tak jauh berbeda dengan Surabaya” Gumam Savannah yang dapat terdengar oleh Aldebaran. “Memangnya apa yang kau bayangkan tentang Jakarta?” Tanya Aldebaran membuat Savannah sempat terkejut. “Entahlah. Aku juga tidak tahu. Aku tidak pernah membayangkan kota Jakarta sebelumnya” Jawab Savannah. “Kau? Apa kau memang tinggal di sini?” Tanyanya. “Tidak” Jawab Aldebaran. “Lalu?” Tanya Savannah meminta penjelasan dari pria itu. “Sebelumnya aku tinggal di New Zealand. Aku pindah ke Indonesia saat aku berusia sepuluh tahun” Jelas Aldebaran. “Tapi bahasa Indonesia-mu sangat kental” Ucap Savannah. “Di New Zealand, aku juga menggunakan bahasa Indonesia saat berada di rumah bersama Ibuku” Ungkap Aldebaran yang dibalas anggukan kepala oleh Savannah. “Jadi, kau di sini bersama Ibumu?” Tanya Savannah. “Dan Ayahku” Jawab Aldebaran. “Kenapa kalian pindah ke sini?” Tanya Savannah. “Sudah sampai” Ucap Aldebaran yang membuat Savannah menatap sekelilingnya. “Ah, kau benar” Ujar Savannah saat menyadari kalau mereka telah sampai di depan rumahnya. Ia pun melepaskan pelukannya lalu turun dari motor pria itu. “Kau benar-benar tahu rumahku” Ucap Savannah. “Terima kasih. Tapi, dari mana kau tahu aku tinggal di sini?” Tanyanya. “Aku melihatmu pindahan beberapa hari yang lalu” Jawab Aldebaran yang membuat Savannah bingung. Namun, belum sempat ia bertanya, pria itu telah melajukan motornya. Keningnya seketika mengerut saat melihat pria itu memasuki pekarang rumah yang berada tepat di samping rumahnya. “Jadi, kami tetangga?” Gumam Savannah tak percaya. Tatapan keduanya pun bertemu saat Aldebaran melepas helm-nya. Pria itu tersenyum tipis pada Savannah sebelum masuk ke dalam rumahnya. “Pantas saja dia tahu rumahku” Gumam Savannah lagi. “Tapi kenapa dia tidak bilang dari awal kalau kita tetangga?” Tanyanya bingung. “Aku sama sekali tidak mengerti” Ujar Savannah sembari melangkah masuk ke dalam rumahnya. ------- “Halo” Sapa Danish pada seseorang di seberang telepon begitu ia masuk ke dalam apartemennya. “Oppa~” Seru gadis yang berada di seberang telepon tersebut. “Berhenti memanggilku seperti itu” Pinta Danish. “Tidak mau. Aku akan terus memanggilmu seperti itu seumur hidupmu” Tolak gadis itu. “Apa wajahku seperti Oppa-Oppa-mu itu sampai kau ingin memanggilku dengan panggilan itu seumur hidupku?” Tanya Danish seraya meletakkan tas kerjanya di atas sofa. “Wajahmu memang sangat jauh dari wajah orang Korea dan lebih seperti aktor Hollywood. Tapi, selain kau, tidak orang di sekitarku yang bisa kupanggil Oppa” Jawab gadis itu. “Kalau begitu, berhentilah mengagumi orang-orang Korea itu dan kembalilah pada kenyataan” Ucap Danish. “Dan kau pikir aku akan menuruti ucapanmu?” Tanya gadis itu. “Hell, no! Aku, Daniella Misha Vinendra, tidak akan melepaskan karirku sebagai fans K-Pop yang telah kubangun sejak tujuh tahun tahun lalu” Seru gadis bernama Daniella itu. Daniella merupakan adik bungsu Danish yang berusia tujuh belas tahun. Selain Daniella, Danish memiliki satu adik perempuan lagi yang berusia dua puluh tiga tahun bernama Vivian Hailey Vinendra. “Baiklah. Apapun itu selama kau senang” Gumam Danish. “Jadi, ada apa kau meneleponku?” Tanyanya. “Kenapa bertanya seperti itu? Memangnya aku tidak boleh menelepon kakakku?” Rajuk Daniella. “Aku sangat mengerti dirimu, El. Tidak mungkin kau meneleponku hanya untuk memanggilku Oppa” Ucap Danish membuat Daniella terkekeh. “Apa aku boleh ke Jepang untuk merayakan ulang tahun ke delapan belasku nanti?” Tanya Daniella. Lebih tepatnya meminta izin pada pria itu. Meski Danish hanya kakaknya, tapi untuk hal-hal seperti itu, Daniella maupun Vivian harus meminta izin pada Danish terlebih dahulu. Karena, izin Danish akan mempengaruhi keputusan kedua orang tua mereka. “Kau baru saja merayakan ulang tahun ke tujuh belasmu tiga bulan yang lalu. Sekarang, fokuslah dengan sekolahmu dulu” Tolak Danish. “Aku ‘kan hanya bertanya” Rajuk Daniella. “Jepang terlalu jauh” Ujar Danish yang merujuk pada penolakan pada lokasi tersebut. “Tapi, teman-temanku sangat ingin pergi ke sana” Rajuk Daniella. “Kau tidak akan merayakan ulang tahun ke delapan belasmu kalau kau tetap ingin merayakannya di sana” Ancam Danish yang membuat Daniella mendengus. “Ya, sudah. Di Bali saja kalau begitu. Sudah lama aku tidak...” Ucapan Daniellah seketika berhenti saat menyadari apa yang baru saja ia katakan. Ia telah melanggar satu aturan tak tertulis di keluarganya. “Maaf” Ucap Daniella pelan. “Akan kupikirkan” Ujar Danish kemudian memutuskan sambungan teleponnya begitu saja. Setelah panggilannya terputus, Danish hanya terdiam di tempatnya. Sudah lama ia tak mendengar seseorang menyebut kota itu. Kota yang menyimpan luka baginya. -------    Love you guys~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN