Suara bising yang terjadi di Universitas Jakarta siang ini terdengar jelas di telinga Savannah dan Tia yang tengah berjalan menuju perpustakaan untuk mencari bahan tugas baru. Sedangkan Aldebaran akan menyusul mereka setelah melakukan tugas yang diberikan oleh salah satu dosen.
Mungkin karena kebanyakan kelas sedang free siang ini, jadi lebih banyak mahasiswa yang berlalu-lalang di area kampus. Seperti halnya dengan kelas Savannah yang juga sedang free karena dosen mereka sedang berhalangan untuk datang.
“Ti” Panggil Savannah, memegang erat dua buah buku yang berada di pelukannya.
“Ada apa?” Tanya Tia, menoleh pada Savannah dengan tiga buah buku yang juga berada di pelukannya.
“Apa kau tahu hal-hal apa saja yang disukai dosen itu?” Tanya Savannah.
“Dosen yang mana?” Tanya Tia.
“Si dosen 99 itu” Jawab Savannah.
“Pak Danish? Memangnya kenapa?” Tanya Tia dengan kening yang mengerut.
“Hanya ingin tahu. Mungkin saja aku bisa melakukan hal yang dia sukai untuk meluluhkan hatinya agar mau memberiku nilai sempurna. A plus” Jawab Savannah membuat Tia terkekeh.
“Kenapa tertawa?” Tanya Savannah bingung.
“Pak Danish bukan dosen yang bisa kau sogok seperti beberapa dosen yang lain” Jawab Tia.
“Dia itu termasuk dosen yang sangat tegas dan tercuek bebek. Tidak peduli siapa kau dan seberapa baik kau bertingkah di hadapannya. Baginya, kau hanyalah satu dari sekian mahasiswa yang dia ajar” Jelas Tia.
“Aku juga memiliki satu dosen yang seperti itu di kampusku yang sebelumnya. Tapi, akhirnya dia juga luluh setelah aku memberikan sedikit sentuhan padanya” Ucap Savannah.
“Tidak ada yang mustahil di dunia ini. Ingat kata pepatah? Batu yang kuat sekalipun akan terkikis jika terlalu sering diterpa ombak. Sama halnya dengan orang yang paling tercuek pun akan luluh jika terus diberikan sedikit rayuan” Lanjutnya disertai senyum miring di wajahnya.
“Kenapa kau selalu optimis seperti ini?” Tanya Tia bingung.
“Karena menjadi pesimis bukanlah sifatku” Jawab Savannah.
“Dan lagi, bagaimana bisa kau melewati dunia yang kejam ini dengan sifat yang seperti itu? Dunia adalah tempat orang-orang yang ambisius. Kalau kau mundur selangkah saja...” Ucapnya memberi jeda kemudian meletakkan ibu jarinya di depan leher lalu mulai menariknya ke samping seakan tengah menggores lehernya.
“Kau akan berakhir di tempatmu. Selamanya” Lanjutnya dengan ekspresi wajah yang sengaja ia buat seram.
Selama beberapa saat, keduanya terdiam dengan Tia yang menganga sembari menatap Savannah.
“Aduh~ Aku takut~” Ujar Tia dengan suara yang dibuat se-lebay mungkin.
“Hei! Aku serius” Seru Savannah.
“Kau pikir kenapa semakin banyak angka orang yang bunuh diri di dunia? Itu karena mereka tidak mampu bersaing dengan para ambisius. Mereka takut dan khawatir dengan apa yang akan mereka hadapi. Maka dari itu, kita selalu diajarkan untuk selalu pantang menyerah dalam hal apapun” Tutur Savannah.
“Jadi intinya kau salah satu si ambisius itu?” Tanya Tia yang mengambil kesimpulan dari semua ceramah Savannah.
“Bukan begitu. Bisa dibilang, aku berada di tengah-tengah. Aku bisa menjadi ambisius jika diperlukan dan mundur di saat yang tepat” Jawab Savannah bangga.
“Lalu, untuk apa kau ingin meluluhkan Pak Danish untuk mendapatkan nilai yang tidak akan pernah didapatkan oleh siapapun?” Tanya Tia.
“Sudah kubilang, ‘kan? Aku sangat penasaran dengan dosen itu. Semakin kau mengatakan hal yang mustahil, aku semakin tertantang untuk mendapatkannya” Jelas Savannah penuh semangat hingga membuat Tia terkekeh.
“Tapi kau baru dua beberapa hari di kampus ini, bagaimana caramu mendapatkan hal yang mustahil itu? Bahkan senior-senior yang telah lulus tiga tahun terakhir pun tidak pernah mendapatkan nilai itu” Ucap Tia.
“Justru kata-kata itu yang harus hilang dari kampus ini” Ujar Savannah. “Aku yakin kalau aku bisa melakukan apa yang senior-senior itu tidak bisa lakukan. Dan hal pertama yang harus kulakukan adalah mencari tahu apa yang dosen itu suka dan hal yang tidak dia suka” Lanjutnya membuat Tia menghela nafas.
“Aku tidak tahu lagi harus mengatakan apa padamu. Aku juga tidak tahu, kau ini terlalu polos, optimis, atau kau memang suka melakukan hal-hal aneh seperti itu” Ucap Tia.
“Mungkin aku pantang menyerah” Canda Savannah membuat Tia lagi-lagi menggelengkan kepalanya hingga Savannah kembali berseru.
“Ada apa?” Tanya Tia.
“Bukankah itu Aldebaran? Kenapa dia lebih dulu sampai dari kita?” Tanya Savannah seraya menunjuk Aldebaran yang tengah mencari buku di lorong rak buku.
“Kau benar” Gumam Tia.
Keduanya lalu bergegas menghampiri pria yang tengah asyik mencari buku itu. Kehadiran Savannah dan Tia bahkan sama sekali tidak mengganggunya.
“Kenapa kau ada di sini? Bukankah kau sedang memiliki urusan?” Tanya Savannah berbisik.
“Urusanku sudah selesai” Jawab Aldebaran seraya mengambil sebuah buku dari rak buku. “Ayo, kerja tugas. Aku sudah mendapatkan beberapa buku” Ajaknya kemudian mengambil buku yang berada dalam pelukan Savannah hingga membuat wanita itu gadis itu bingung.
Namun, belum sempat ia bertanya, Aldebaran terlebih dahulu berlalu dari sana lalu duduk di sebuah kursi kosong dengan meja yang memiliki beberapa buku di atasnya. Tanpa banyak tanya, Savannah dan Tia pun langsung menyusul Aldebaran dengan Savannah yang duduk di samping pria itu. Sementara Tia duduk di hadapan Savannah.
“Bagaimana kalau kita memasukkan materi ini juga?” Usul Tia setelah beberapa saat ketiganya hanya terdiam dengan beberapa buku di hadapannya mereka.
“Materi itu terlalu sulit, akan timbul banyak pertanyaan jika kita memasukkan itu juga. Dan lagi, tugas kita tidak terlalu berhubungan dengan materi itu” Tolak Aldebaran.
“Memangnya kenapa? Bukankah semakin banyak pertanyaan, semakin bagus? Itu akan menambah poin plus untuk kelompok kita. Dan juga, tidak terlalu berhubungan, bukan berarti tidak memiliki hubungan sama sekali, ‘kan?” Sela Savannah. “Menurutku tidak apa-apa kalau kita memasukkan materi itu juga” Lanjutnya.
“Menambah poin memang bagus, tapi apa kau bisa menjawab semua pertanyaan yang mungkin akan ditanyakan dari materi ini?” Tanya Aldebaran.
“Kenapa? Kau takut tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu?” Tanya Savannah.
“Bukan aku, tapi kalian” Jawab Aldebaran.
“Wah~ Kau ini benar-benar...” Ujar Savannah sembari menutup mulutnya. “Tia, kau lihat? Dia baru saja meremehkan kita” Lanjutnya.
“Mmm... Kurasa Aldebaran ada benarnya. Materi ini mungkin terlalu sulit. Aku juga tidak yakin bisa menjawab pertanyaan dari materi ini” Ucap Tia.
“Yang satu terlalu merendahkan, yang satu terlalu merendah” Gumam Savannah.
“Lalu kau? Kau yakin bisa menjawab semua pertanyaannya?” Tanya Aldebaran.
“Why not?” Tanya Savannah seraya mengendikkan pundaknya.
“Kalau begitu, coba jawab pertanyaan ini” Pinta Aldebaran.
“Silakan” Tantang Savannah.
“Apa perbedaan antara diplomasi publik dan diplomasi budaya?” Tanya Aldebaran.
“Gampang” Seru Savannah.
“Diplomasi publik adalah bentuk upaya untuk mencapai kepentingan nasional suatu negara melalui understanding, informing, dan influencing foreign audiences. Sedangkan diplomasi budaya memanfaatkan aspek kebudayaan memperjuangkan kepentingan nasionalnya dalam pengetahuan masyarakat internasional dengan cara mempromosikan, mengkampanyekan, dan mensosialisasikan” Jelas Savannah.
“Lalu menurutmu, K-Pop termasuk dalam golongan mana? Diplomasi publik atau diplomasi budaya?” Tanya Aldebaran.
Di saat Aldebaran dan Savannah tengah sibuk berdebat, Tia yang memperhatikan keduanya hanya terdiam di tempatnya. Ia merasa sangat kecil berada di sana. Bahkan ketika pulpennya tak sengaja terjatuh, kedua orang di hadapannya sama sekali tidak peduli.
“Sudahlah” Sela Tia, memotong ucapan Savannah. “Lebih baik tidak perlu memasukkan materi itu. Satu pertanyaan saja sudah membuat kalian berdebat seperti ini. Bagaimana kalau sudah presentasi nanti?” Lanjutnya.
“Aku setuju” Ucap Aldebaran.
“Kau setuju karena kau kalah. Iya, ‘kan?” Goda Savannah.
“Aku hanya tidak ingin berdebat dengan teman sekelompokku” Bantah Aldebaran.
“Tidak perlu malu antar teman. Kalau kalah, ya mengaku saja” Ucap Savannah.
“Terserah kau” Ujar Aldebaran.
“Arletta” Tegur Tia pada Savannah saat gadis itu hendak membalas ucapan Aldebaran.
“Baiklah” Gumam Savannah patuh kemudian kembali menatap buku yang ada di hadapannya.
-------
“Tidak... Jangan... Jangan tinggalkan aku... Tidak...”
“Aku tidak ingin sendiri... Kumohon... Kumohon jangan tinggalkan aku... Kumohon...”
Mata Danish terbuka kala peristiwa itu kembali hadir di dalam mimpinya. Bibirnya memucat. Keringat yang memenuhi kening serta mata yang memerah akibat menangis menjadi bukti bahwa itu adalah peristiwa paling menakutkan baginya. Peristiwa yang ingin ia lupakan, namun tak bisa.
Nafas Danish saling beradu dengan udara yang berada di dalam ruangannya. Beberapa saat yang lalu, ia tertidur di dalam ruangannya karena terlalu mengantuk hingga mimpi itu hadir.
“Apa yang harus kulakukan?” Bisik Danish pada dirinya sendiri kemudian mengusap wajahnya yang dipenuhi oleh keringat dingin.
Suara telepon yang berbunyi di sisi kirinya, membuat Danish terkejut. Setelah menenangkan dirinya, ia pun menjawab panggilan tersebut.
“Halo” Sapa Danish senatural mungkin.
“Halo, Pak Danish. Ini saya, Bu Miska. Syukurlah Bapak belum pulang” Balas wanita bernama Miska tersebut.
“Ya, ada apa Bu Miska?” Tanya Danish.
“Karena, Bapak melewatkan rapat hari ini, jadi saya ingin menyampaikan beberapa hal mengenai hasil rapat hari ini” Jawab Miska.
Mendengar ucapan Miska tersebut, Danish segera memeriksa jam tangannya. Dan benar saja, ia telah melewatkan rapat yang harusnya ia hadiri satu jam yang lalu. Ia lantas menghela nafas pelan akibat kecerobohannya tersebut.
“Halo, Pak Danish. Anda mendengar saya?” Tanya Miska.
“Ya. Silakan, Bu” Pinta Danish.
“Begini, Pak. Bulan ini kita sedang kekurangan tenaga untuk mengajar karena ada beberapa dosen yang izin cuti. Mencari dosen pengganti pun akan memakan waktu lama. Jika dibiarkan saja, para mahasiswa akan ketinggalan banyak pelajaran. Jadi, semuanya sepakat untuk menjadikan beberapa dosen lain sebagai dosen pengganti untuk sementara” Jelas Miska.
“Jika tidak keberatan, Pak Danish akan ditunjuk sebagai dosen pengganti untuk mata kuliah Essay Writing dan Literature and Film sekaligus” Lanjutnya.
-------
Love you guys~