Sesuai janji mereka sore tadi. Tepat pukul tujuh malam, Aldebaran bersama motor kesayangannya telah berada di depan rumah Savannah. Menunggu gadis yang telah terlambat lima menit itu untuk keluar dari sarangnya.
Sekali lagi, Aldebaran melihat jam tangannya dan mengetahui kalau Savannah telah terlambat sepuluh menit dari janji mereka. Perhatian pria itu lantas teralih begitu sebuah suara menyapa di telinganya.
“Maaf, aku terlambat” Seru Savannah seraya menuruni tiga anak tangga teras rumahnya.
“Tidak apa-apa” Ucap Aldebaran.
“Ayo” Ajak Savannah sembari mengambil helm dari tangan Aldebaran lalu memakainya.
Bukannya mengikuti ucapan Savannah, tatapan Aldebaran justru mengarah pada pria paruh baya yang berada di belakang Savannah. Menatap tajam padanya.
“Ada apa? Ayo pergi” Ajak Savannah.
“Ayahmu” Bisik Aldebaran.
“Hah? Ayah?” Tanya Savannah bingung. Ia pun membalikkan tubuhnya mengikuti arah pandang Aldebaran dan mendapati sang Ayah berdiri di sana sembari bersedekap.
“Malam, Om” Sapa Aldebaran.
“Malam” Balas Arya.
“Ayah! Kenapa Ayah keluar? Sudah kubilang tidak usah keluar” Seru Savannah.
“Ayah ingin lihat kamu pergi dengan siapa” Ucap Arya dengan tatapan yang masih terarah pada Aldebaran.
“Tadi ‘kan kita sudah bicarakan itu” Ujar Savannah.
“Ayah tahu. Pergi saja, tidak usah pedulikan Ayah” Pinta Arya membuat Savannah menghela nafas.
Padahal Savannah telah mewanti-wanti hal itu. Melihat bagaimana ia dengan susah payah mendapatkan izin untuk pergi keluar dari sang Ayah, tidak diragukan lagi kalau pria paruh baya itu akan melanggar janjinya untuk tidak keluar dari rumah.
Kelakuan Ayahnya yang seperti itulah yang membuat Savannah malas keluar rumah bersama teman laki-lakinya. Ayahnya terlalu protektif padanya. Ia tahu kalau itu semua demi kebaikannya. Tapi, terkadang ia merasa kalau Ayahnya terlalu berlebihan.
“Ayah masuk sana. Di luar dingin” Pinta Savannah. “Ayo” Ajaknya pada Aldebaran.
“Kami pergi dulu, Om” Pamit Aldebaran.
“Ya. Hati-hati. Jaga putri Om baik-baik. Jangan pulang lewat dari jam sepuluh malam” Ucap Arya.
“Ayah” Rajuk Savannah.
“Baik, Om” Ujar Aldebaran.
Setelahnya, Aldebaran mulai melajukan motornya meninggalkan kawasan perumahan mewah tersebut bersama Savannah.
“Maafkan Ayahku, dia tidak bermaksud apa-apa” Ucap Savannah.
“Aku tahu” Ujar Aldebaran.
“Jangan ‘sok tahu. Kau ‘kan belum punya anak” Cibir Savannah.
“Aku juga akan melakukan hal yang sama kalau punya anak perempuan” Ucap Aldebaran.
“Memangnya sudah pasti kau akan punya anak perempuan?” Tanya Savannah.
“Makanya aku bilang ‘kalau’” Ucap Aldebaran yang dibenarkan oleh Savannah.
“Tapi, kenapa hampir semua Ayah melakukan itu pada anak perempuan mereka? Maksudku, tidak semua teman mereka itu jahat. Mereka juga pasti bisa memilah teman yang cocok dengannya” Tanya Savannah.
“Karena kalian perempuan. Sangat rapuh. Disentuh sedikit saja, kalian akan retak bahkan bisa pecah. Jika sudah seperti itu, orang pertama yang akan merasakan luka adalah seorang Ayah. Maka dari itu, lebih baik melindungi kalian lebih awal dari pada terlambat” Jelas Aldebaran.
“Wow. Impressive” Gumam Savannah. “Tapi, kenapa kau seperti sudah berpengalaman? Apa kau sudah menikah dan punya anak perempuan?” Tebaknya.
“Karena aku pria. Aku bisa menempatkan diriku di posisi seorang Ayah” Jawab Aldebaran.
“Kenapa semua yang kau ucapkan benar?” Tanya Savannah.
“Itulah gunanya otak” Jawab Aldebaran.
“Jadi, maksudmu aku tidak punya otak?” Kesal Savannah.
“Aku tidak mengatakan itu. Kau sendiri yang mengartikan ucapanku ke hal yang negatif” Bantah Aldebaran membuat Savannah mendengus.
‘Sial. Lagi-lagi ucapannya benar’ Batin Savannah menggerutu.
“Ngomong-ngomong, syukurlah kau sudah meng-upgrade helm-mu. Sekarang ‘kan aku sudah bisa bernafas dengan bebas” Ucap Savannah saat menyadari bahwa helm yang ia kenakan bukan lagi helm full face. Melainkan helm dengan standar biasa.
Setelah mengitari kota Jakarta cukup lama karena jalanan yang lumayan macet seperti biasanya, Aldebaran akhirnya memberhentikan mobilnya di sebuah tempat parkir.
“Di mana ini?” Tanya Savannah begitu turun dari motor.
“Ancol” Jawab Aldebaran.
“Ancol? Kenapa kau membawaku ke sini?” Tanya Savannah.
“Kau sudah pernah datang ke sini?” Tanya Aldebaran yang dijawab gelengan kepala oleh Savannah. “Lalu kenapa bertanya?” Tanyanya.
“Aku juga tidak tahu. Tiba-tiba saja aku ingin menanyakan itu” Jawab Savannah enteng.
“Bagi pendatang atau turis, Ancol adalah salah satu tempat yang wajib didatangi saat berada di Jakarta. Berhubung kau juga belum pernah datang ke sini, jadi lebih baik kita berkeliling di sini dulu sebelum pindah ke tempat lain” Jelas Aldebaran.
“Wah~ Apa kau selalu hidup seperti ini? Penuh dengan rencana. Untuk agenda jalan-jalan saja sudah kau rencanakan dengan baik” Ujar Savannah.
“Mungkin” Ucap Aldebaran. “Ayo masuk” Ajaknya.
Keduanya pun masuk ke dalam setelah membayar biaya masuk ke Ancol. Untuk itu pun, mereka berdua harus berebut untuk membayar. Aldebaran yang bersikeras karena dia adalah pria, sementara Savannah dengan keras kepalanya mengatakan kalau mereka datang ke sini karena dirinya.
Hingga akhirnya, mereka memutuskannya setelah bermain batu, gunting, kertas sebanyak tiga kali dan dimenangkan oleh Aldebaran.
“Kau curang” Dengus Savannah yang tak ditanggapi oleh Aldebaran.
“Ayo” Ajak Aldebaran kemudian beranjak dari sana yang langsung diikuti oleh Savannah tanpa bantahan.
Dalam perjalanan menuju tujuan pertama, Aldebaran mulai menjelaskan setiap sisi yang ada di Ancol secara rinci berdasarkan ingatannya. Ingatan satu tahun terakhir. Ya, ini adalah kali pertamanya datang ke Ancol setelah satu tahun tidak ke sana.
Tak lama kemudian, mereka pun tiba di sebuah wahana yang menjadi tujuan pertama mereka. Dan itu adalah stasiun gondola.
“Kau tidak takut ketinggian, ‘kan?” Tanya Aldebaran.
“No” Jawab Savannah dengan tegas hingga membuat Aldebaran hampir terkekeh.
Setelah membayar uang masuk, keduanya pun akhirnya masuk ke dalam sebuah kereta gantung di mana setiap sisinya terbuat dari kaca yang memungkinkan para pengunjung dapat melihat pemandangan dari atas sana.
“Wah~ Indahnya” Puji Savannah begitu melihat lautan luas yang terbentang di hadapannya.
“Ya, sangat indah” Gumam Aldebaran yang sejak tadi menatap wajah cantik Savannah. Saat gadis itu menoleh ke arahnya, ia pun segera mengalihkan tatapannya.
“Kau pasti sering datang ke sini” Tebak Savannah.
“Tidak juga. Terakhir aku datang ke sini satu tahun yang lalu” Bantah Aldebaran.
“Satu tahun?” Tanya Savannah terkejut kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kalau aku jadi kau, aku akan datang setiap hari ke sini” Lanjutnya.
“Aku sibuk. Tidak ada waktu datang ke sini setiap hari” Ucap Aldebaran.
“Paling tidak sekali seminggu” Ujar Savannah.
“Aku pelupa. Jadi tidak bisa membuat jadwal seperti itu” Ucap Aldebaran.
“Ck ck ck. Entah kau ini jenis manusia seperti apa” Cibir Savannah kemudian kembali mengalihkan pandangannya menatap ke sekeliling.
“Lihat, gedung di sana tinggi sekali” Seru Savannah, menunjuk sebuah gedung yang paling tinggi sejauh matanya memandang.
“Itu Gama Tower” Sahut Aldebaran.
“Gama To...” Ucapan Savannah terhenti saat melihat seseorang yang berada di samping kereta gantungnya.
“Pak Danish?” Gumam Savannah.
Aldebaran yang bingung pun langsung mengikuti arah pandang Savannah. Dan benar saja, ia benar-benar melihat dosen mereka berada di sebuah kereta gantung yang bersebelahan dengan mereka. Seorang diri.
“Apa yang dia lakukan di sini?” Tanya Savannah.
“Apa yang kau lakukan di sini?” Tanya Aldebaran membuat Savannah langsung menatapnya bingung.
“Tentu saja menikmati pemandangan” Jawab Savannah.
“Begitu pula dengan Pak Danish” Ucap Aldebaran membuat Savannah berdecak.
“Bukan begitu maksudku” Ujar Savannah. “Dari sekian banyak tempat, kenapa kita harus bertemu di sini?” Tanyanya.
“Jakarta tidak seluas itu. Jadi, persentase kemungkinan kita bertemu dengan orang yang kita kenal di tempat yang tidak terduga lebih besar. Dan lagi, ini malam minggu. Bukan tidak mungkin kalau Pak Danish juga akan datang ke sini” Tutur Aldebaran.
“Dasar lelaki. Kau tidak akan pernah mengerti maksudku” Ucap Savannah seraya menggeleng-gelengkan kepalanya lalu kembali menoleh pada Danish yang masih terpaku di tempatnya memandangi lautan luas. Seakan di sana, terdapat sesuatu yang menarik perhatian pria itu.
Beberapa saat kemudian, Savannah dan Aldebaran akhirnya tiba di perhentian kereta gantung tersebut. Keduanya pun keluar dari sana begitu seorang petugas membukakan pintu untuk mereka.
“Tunggu” Cegah Savannah saat Aldebaran hendak beranjak dari sana.
“Kenapa?” Tanya Aldebaran.
“Kau tidak mau menunggu Pak Danish?” Tanya Savannah.
“Untuk apa? Kita ‘kan tidak datang bersama Pak Danish” Tolak Aldebaran.
“Tapi, kita saling kenal. Bukan etika yang bagus kalau langsung pergi begitu saja tanpa menyapa” Ucap Savannah.
“Aku baru tahu kau punya etika yang bagus” Sindir Aldebaran.
“Kita ‘kan baru bertemu. Kau belum tahu apa-apa tentangku” Ucap Savannah kemudian berbalik, bertepatan dengan Danish yang keluar dari kereta gantung.
“Pak Danish” Panggil Savannah membuat pria berusia tiga puluh dua tahun itu menoleh padanya.
-------
Love you guys~