“Bagaimana dengan tugas kalian?” Tanya Danish setelah memberikan sapaan seperti mahasiswa. Hari ini, ia kembali membawakan mata kuliah Literature and Film di kelas Savannah.
“Sudah selesai, Sir” Jawab para mahasiswa serentak.
“Bagus” Ucap Danish. “Siapa yang ingin membacakan hasilnya lebih dulu?” Tanyanya.
“Hah? Dibacakan?”
“Kenapa harus dibaca?”
“Bagaimana ini? Aku tidak siap membaca”
“Kenapa baru bilang sekarang kalau mau dibacakan? ‘Kan aku tulisnya asal-asalan”
“Yang mau membaca pertama akan dapat nilai plus” Ucap Danish.
“Saya, Sir” Seru seorang gadis seraya mengangkat tangan hingga membuatnya seketika menjadi pusat perhatian seisi kelas.
“Baiklah. Savannah, silakan” Pinta Danish.
Tanpa ragu, Savannah pun berdiri dari duduknya. Setelah menghela nafas pendek, ia mulai mengeluarkan suaranya.
“Judul film yang saya nonton sebagai...”
“In english, please” Potong Danish membuat Savannah ingin mengutuk pria itu. dengan sabar, Savannah mengulang ucapannya dalam bahasa Inggris.
“Judul film yang saya nonton sebagai tugas Literature and Film adalah After. Film ini dirilis pada tahun 2019 dan kembali tayang di bioskop minggu lalu. After menceritakan kisah seorang gadis polos bernama Tessa Young yang baru saja masuk universitas dan bertemu dengan seorang pria bernama Hardin Scott yang merupakan pria nakal di kampus tersebut. Seiring berjalannya waktu, keduanya pun saling jatuh cinta” Jelas Savannah memberi jeda.
“Menurut saya, film ini hanya berfokus pada pemeran utama hingga membuat pemeran tambahan hanya terlihat sebagai penonton. Memang masalah yang diangkat berkaitan erat dengan masalah umum percintaan remaja. Namun sayangnya, masalah yang diangkat tidak dikembangkan hingga membuat film ini terkesan flat tanpa ada k*****s yang berarti” Lanjut Savannah.
“Banyak orang yang mengatakan bahwa film ini merupakan film teromantis. Namun sayangnya, film ini justru gagal memberikan kesan baper. Disaat ada adegan romantis yang membuat penonton baper, tapi justru membuat geli karena romantisme yang berlebihan. Sekian dari saya” Sambung Savannah.
Dengan senyuman lebar, Savannah menatap Danish yang hanya terdiam mendengar penjelasannya. Keterdiaman pria itu pun bukan tanpa alasan. Sebenarnya pria itu ingin menyela Savannah sejak tadi atas pernyataan bohong yang gadis itu lontarkan.
Bagaimana tidak? Secara tidak langsung, Savannah mengatakan kalau film itu tidak menarik. Tapi nyatanya, Savannah menahan terikan histerisnya setiap melihat adegan romantis di film itu. Senyum Savannah bahkan tak pernah luntur sepanjang pemutaran film-nya. Apa itu yang dikatakan gagal memberikan kesan baper?
“Apa ada yang ingin bertanya seputar film tersebut?” Tanya Danish yang tak mendapat respon dari siapapun. “Baiklah. Kalau begitu, saya yang akan bertanya” Putusnya.
“Berdasarkan penjelasanmu barusan, secara tidak langsung kamu mengatakan kalau film ini kurang menarik. Lalu apa yang membuat film ini sangat terkenal di kalangan remaja maupun dewasa?” Tanya Danish.
“Sebenarnya itu adalah salah satu pertanyaan saya juga. Tapi, setelah saya menonton ulang film itu di rumah. Ada beberapa alasan yang bisa menjadi alasan mengapa film ini sangat terkenal” Ucap Savannah.
“Yang pertama, karena pemeran prianya sangat tampan. Kebanyakan remaja lebih suka menonton film dengan aktor yang tampan dibanding kualitas film itu sendiri. Yang kedua, karena rating usia yang diberikan adalah 17+. Tak hanya tokoh yang tampan, remaja zaman sekarang juga menyukai film yang memiliki rating usia 17+. Bahkan tak jarang mereka menonton film dengan penyajian adegan dewasa yang lebih panas” Ungkap Savannah.
“Apa kau salah satunya?” Tanya Danish, sontak membuat yang lainnya terkekeh.
“Apa maksud Anda, Sir?” Tanya Savannah menahan kesal.
“Tidak apa-apa” Jawab Danish. “Silakan duduk” Pintanya yang langsung diikuti oleh gadis itu.
“Baiklah. Siapa selanjutnya?” Tanya Danish.
“Jadi kau nonton film itu benar-benar karena alasan itu?” Bisik Aldebaran.
“Tutup mulutmu” Kesal Savannah.
-------
“Kenapa semakin hari dosen 99 itu semakin mengesalkan?” Kesal Savannah.
“Entahlah. Mungkin dia tahu kalau kau terlalu berambisi dengan nilai sempurnanya, jadi dia ingin memperlihatkan kalau kau tidak mungkin mendapatkannya” Jawab Tia.
“Secara tidak langsung dia ingin mengibarkan bendera perang?” Tebak Savannah.
“Bukan mengibarkan bendera perang. Tapi, dia menyuruhmu mengibarkan bendera putih” Koreksi Tia.
“Hah! Sampai mati pun aku tidak akan mengibarkan bendera putih. Enak saja. Setelah dia mempermalukanku di kelas, dia pikir aku akan menyerah begitu saja?” Seru Savannah menggebu-gebu. Namun sedetik kemudian, ia langsung meletakkan kepalanya di atas meja.
“Tapi, yang lebih membuatku kesal adalah aku tidak bisa berbuat apa-apa disaat seperti ini. Kalau aku membuat masalah dengannya, rencanaku bisa gatot. Gagal total” Gumam Savannah.
“Sudahlah. Kau tidak perlu memikirkan nilai sempurna itu. Nilai B juga masih bagus. Lagi pula, nilai A sudah dianggap tidak ada dalam mata kuliahnya yang otomatis membuat nilai B jadi nilai tertinggi” Ucap Tia, menepuk pundak Savannah pelan.
“Tidak bisa. Aku tidak bisa membuang ucapanku begitu saja” Tolak Savannah.
“Siapa yang peduli? Yang tahu ‘kan hanya kau dan aku” Ucap Tia yang hanya dibalas helaan nafas oleh Savannah.
“Oh, ya. Ada yang ingin kutanyakan” Ujar Tia membuat Savannah menoleh padanya. “Apa yang diucapkan Pak Danish, benar? Kau menonton film itu karena rating usianya?” Tanyanya yang langsung membuatnya mendapat pukulan di lengannya dari Savannah.
“Kau gila?” Kesal Savannah, sementara Tia terkekeh melihatnya.
“Lalu kenapa kau memilih film itu?” Tanya Tia.
“Kupikir film-nya akan bagus karena sinopsisnya sangat menarik” Jawab Savannah. “Dan lagi, memangnya kenapa kalau aku menontonnya karena itu? Aku sudah dua puluh tahun, jadi tidak ada masalah. Adegan mantap-mantapnya juga tidak terlalu v****r. Jadi tidak ada yang perlu dibahas” Ketusnya.
“Sudahlah. Aku mau pulang” Putus Savannah kemudian berlalu dari sana.
“Eh, Ar! Tunggu aku!” Teriak Tia sembari menyusul Savannah.
Setelah berhasil menyusul Savannah, Tia segera merangkul pundak sahabatnya itu. Keduanya pun berjalan menuju gerbang kampus bersama diiringi nyanyian Tia dengan suara sumbangnya. Suara yang membuat Savannah mengeluh sepanjang jalan.
“Savannah” Panggil Aldebaran begitu keduanya mencapai parkiran.
“Ada apa?” Tanya Savannah.
“Ayo pulang” Ajak Aldebaran.
“Tidak perlu. Aku akan menelepon Ayahku” Tolak Savannah.
“Naiklah. Jangan repotkan Ayahmu” Pinta Aldebaran.
“Kenapa merepotkan? Aku ‘kan putrinya” Ucap Savannah.
“Putri yang sudah cukup usia untuk tahu kapan harus dijemput dan tidak” Sindir Aldebaran membuat Savannah mendengus.
“Kalau pun harus pulang dengan orang lain, lebih baik aku pulang dengan Tia” Ucap Savannah.
“Arah rumah kalian berlawanan dan lumayan jauh” Ujar Aldebaran.
“Tidak apa-apa. Aku bisa mengantar Arletta pulang” Sahut Tia.
“Do you hear that?” Tanya Savannah pada Aldebaran.
“No” Jawab Aldebaran. “Cepatlah naik” Pintanya kemudian melempar helm pada Savannah lalu menstater motornya.
“Apa dia memang suka memaksa seperti itu?” Dengus Savannah.
“Aku bisa mengantarmu kalau kau mau” Ucap Tia.
“Kalau ada tetangga, kenapa harus minta tolong pada yang jauh?” Tolak Savannah.
“Lalu kenapa tadi kau menolak?” Tanya Tia.
“Aku ingin tahu bagaimana rasanya menolak orang. Tapi, ternyata tetap tidak bisa” Jawab Savannah terkekeh.
Pip... Pip...
“Iya-iya” Kesal Savannah. Ia pun pamit pada Tia kemudian naik ke atas motor Aldebaran setelah mengenakan helm-nya.
“Pegangan yang kuat” Pinta Aldebaran.
Savannah akhirnya memegang kedua pundak pria itu dengan erat. Ia tak ingin kejadian terakhir kali di mana ia hampir terjungkal ke belakang terulang kembali. Saat Aldebaran mulai melajukan motornya, Savannah menyempatkan untuk melambaikan tangan pada Tia seraya tersenyum dibalik helm full face yang ia kenakan.
“Apa kau tidak punya helm lain? Helm ini terlalu besar. Aku kesulitan melihat dan bernafas” Tanya Savannah.
“Siapa suruh kepalamu kecil” Ucap Aldebaran.
“Memangnya aku yang mau punya kepala kecil?” Kesal Savannah.
“Mulai besok, aku akan menjemputmu” Ucap Aldebaran.
“Tidak mau” Tolak Savannah.
“Kenapa?” Tanya Aldebaran.
“Kau pergi terlalu pagi. Aku saja masih mandi saat kau sudah pergi ke kampus” Jawab Savannah membuat Aldebaran terkekeh rendah.
“Belajarlah untuk bangun lebih pagi dan bersiap-siap lebih awal jika jadwal kita di siang hari” Ucap Aldebaran.
“Sangat sulit. Aku tidak bisa” Ujar Savannah.
“Cobalah dulu sebelum mengibarkan bendera putih. Kalau perlu, aku akan datang ke rumahmu untuk membangunkanmu langsung” Ucap Aldebaran.
“Kau mau masuk rumah sakit? Ibuku saja sudah menyerah membangunkanku setiap pagi karena tekanannya hanya akan naik kalau aku tidak bangun-bangun” Ujar Savannah.
“Makanya, belajar dan berusahalah” Ucap Aldebaran.
“Aku tidak janji” Ujar Savannah.
“Aku akan menunggumu besok pagi sampai kau siap” Ucap Aldebaran.
“Jangan datang terlalu pagi. Nanti kau terlalu lama menunggu” Pinta Savannah.
“Maka dari itu, bangunlah lebih awal kalau tidak ingin aku menunggu lama” Ujar Aldebaran.
“Sudah kubilang aku tidak janji. Datang lebih siang hanya untuk persiapan” Ucap Savannah.
“Apa kau ada janji malam ini?” Tanya Aldebaran.
“Mungkin iya kalau aku memiliki banyak teman di Jakarta” Jawab Savannah.
“Aku ingin mengajakmu jalan-jalan nanti malam” Ajak Aldebaran.
“Ke mana?” Tanya Savannah.
“Keliling kota Jakarta” Jawab Aldebaran. “Aku akan menjemputmu jam tujuh” Lanjutnya.
“Aku ‘kan belum jawab ya atau tidak” Ujar Savannah.
“Tidak usah berlagak ingin menolak kalau kau sendiri sedang kosong” Ucap Aldebaran membuat Savannah mendengus.
-------
Love you guys~