“Pak Danish” Seru Savannah dengan suara tertahan.
Mendengar seruan itu, Danish lantas menolehkan kepala ke sisi kanannya hingga pandangannya bertemu dengan sepasang mata yang menatapnya terkejut.
“Apa yang Bapak lakukan di sini?” Tanya Savannah berbisik.
“Menurutmu?” Tanya Danish dengan sebelah alis terangkat kemudian kembali beralih pada ponselnya.
“Bapak juga suka film yang seperti ini?” Tanya Savannah yang tak dihiraukan oleh Danish. “Maaf, Pak. Tapi, bisakah Bapak mengurangi kecerahan ponsel Bapak? Itu sangat mengganggu” Pintanya membuat Danish terdiam sejenak sebelum akhirnya mengikuti ucapan Savannah.
“Bapak datang sendirian juga ke sini?” Tanya Savannah lagi.
“Film-nya sudah dimulai” Ucap Danish mengabaikan pertanyaan Savannah seraya menyimpan ponselnya ke dalam saku hoodie yang ia kenakan.
Sementara Savannah yang diabaikan pun hanya bisa mencibir pria itu dalam hatinya. Jika saja mereka tidak berada di dalam ruangan ini, mungkin Savannah sudah membalas ucapan pria itu dengan kata-kata pedasnya.
Tak ingin memusingi Danish lagi, Savannah akhirnya memfokuskan pandangannya ke depan. Ke arah layar lebar yang telah memulai sebuah adegan.
Sedangkan Danish masih berkutat dengan pikirannya sendiri. Bagaimana tidak? Daniella yang tadinya merengek padanya untuk pergi menonton film ini karena temannya tidak bisa datang, baru saja mengiriminya pesan kalau gadis itu tidak bisa nonton bersamanya dengan alasan kalau ternyata temannya yang tidak bisa datang itu tiba-tiba datang dan ingin nonton film lain.
Andai ia belum masuk ke dalam ruangan ini, ia lebih baik pulang saja. Lagi pula, ia menyayangkan uang yang telah ia keluarkan untuk membeli tiket film yang lumayan mahal ini. Meski ia masuk dalam golongan kalangan atas, tapi ia tetap saja perhitungan masalah uang.
Perlahan, mata Danish melirik pada Savannah yang duduk di sampingnya. Meski mata gadis itu menatap layar dengan serius, tapi tangannya tak pernah berhenti mengambil popcorn lalu memakannya.
Bertemu dengan salah satu mahasiswanya di sini tidak pernah masuk ke dalam agenda hidup seorang Danish. Tapi kini, ia harus menerima kalau ia sedang nonton film dengan rating usia 17+ itu bersama mahasiswanya sendiri.
-------
Savannah meregangkan kedua tangannya ke depan begitu film selesai dan lampu-lampu kembali menyala. Para penonton yang lain pun mulai keluar dari ruangan itu.
“Akhirnya, selesai juga” Gumam Savannah. “Menurut Bapak, bagaimana film-nya?” Tanyanya pada Danish yang hendak berdiri.
“Itu tugasmu” Ucap Danish yang lagi-lagi membuat Savannah harus mengusap d**a untuk bersabar.
“Savannah” Panggilan itu lantas membuat Savannah dan Danish menoleh pada Aldebaran yang berdiri di samping kursi Savannah yang kebetulan berada tepat di sisi tangga.
“Ada apa?” Tanya Savannah.
“Ayo, pulang” Jawab Aldebaran.
“Kau mau langsung pulang?” Tanya Savannah.
“Memangnya kau mau pergi ke mana lagi?” Tanya Aldebaran.
“Aku lapar. Bagaimana kalau kita pergi makan dulu?” Usul Savannah.
“Baiklah” Ucap Aldebaran.
“Pak...” Ucapan Savannah terhenti saat ia menoleh dan tak menemukan Danish di sampingnya. “Di mana Pak Danish?” Tanyanya.
“Dia sudah pergi” Jawab Aldebaran.
“Pergi? Kapan?” Tanya Savannah.
“Saat kau berbalik” Jawab Aldebaran.
“Wah~ Dasar orang itu. Benar-benar tidak memiliki etika yang baik. Bukankah harusnya dia pamit dulu sebelum pergi?” Gerutu Savannah.
“Memangnya kalian datang bersama?” Tanya Aldebaran.
“Tidak” Jawab Savannah.
“Kalau begitu tidak ada yang salah” Ucap Aldebaran. “Ayo” Ajaknya kemudian beranjak dari sana dan bergabung bersama orang-orang yang juga tengah menuruni tangga.
“Apa semua laki-laki di Jakarta seperti mereka? Selalu pergi sesuka hati?” Gerutu Savannah kemudian beranjak dari sana bersama box popcorn serta gelas minumannya yang telah kosong.
-------
“Dah, Ayah” Pamit Savannah saat hendak keluar dari mobil setelah mengecup pipi sang Ayah.
“Hati-hati, telepon Ayah kalau terjadi sesuatu” Ucap Arya. Kalimat wajib yang harus ia katakan sebelum berpisah dengan kedua putrinya.
“Iya, Ayah” Ujar Savannah kemudian keluar dari mobil dan masuk ke dalam gerbang kampusnya.
“Tia” Panggil Savannah yang melihat Tia keluar dari area parkir. Kedua gadis itu pun saling melempar senyum dan mulai berjalan bersama menuju kelas.
“Kau sudah menyelesaikan tugas Pak Danish?” Tanya Savannah.
“Sudah” Jawab Tia. “Dan film-nya tidak sejelek yang kau katakan. Menurutku film-nya lumayan seru. Banyak teka-teki yang membuat penontonnya berusaha menebak semua teka-teki yang ada” Lanjutnya.
“Benarkah? Bagiku film-nya terlalu amatir dan semua teka-teki yang kau maksud itu sangat mudah untuk dipecahkan” Tutur Savannah.
“Ya. Terserah kau saja, Nyonya Savannah yang terhormat” Ucap Tia hingga membuat Savannah terkekeh. “Bagaimana denganmu? Kau sudah dapat film yang bagus?” Tanyanya.
“Mm-hm. Aku juga sudah menontonnya” Jawab Savannah. “Dan tebak, siapa yang kutemukan saat pergi nonton film itu” Serunya.
“Siapa?” Tanya Tia.
“Aldebaran” Jawab Savannah. “Padahal kami sama sekali tidak janjian untuk nonton film itu. Bukankah itu sangat aneh? Aku bahkan berpikir kalau dia menguntitku” Lanjutnya ngeri membuat Tia terkekeh.
“Kau terlalu banyak nonton film” Canda Tia.
“Ah! Coba tebak, siapa yang kutemui selain Aldebaran” Seru Savannah lagi.
“Siapa?” Tanya Tia.
“Pak Danish” Bisik Savannah.
“Pak Danish?” Tanya Tia yang dijawab anggukan oleh Savannah. “Dia juga nonton film yang sama denganmu?” Tanyanya yang lagi-lagi dibalas anggukan oleh Savannah.
“Dan yang lebih anehnya lagi, dia duduk tepat di samping kursiku” Ucap Savannah.
“Mungkin film yang kau nonton sedang booming jadi kedua pria itu juga ingin menontonnya” Ujar Tia.
“Bagaimana dengan masalah tempat duduk? Aldebaran tidak masalah karena tempat duduk kami terpisah. Tapi, Pak Danish?” Tanya Savannah. “Bukankah ini suatu pertanda?” Tanyanya lagi.
“Pertanda?” Tanya Tia bingung.
“Pertanda kalau aku akan mendapatkan nilai sempurna dari Pak Danish” Jawab Savannah yang membuat langkah Tia berhenti.
“Ada apa?” Tanya Savannah bingung.
Bukannya menjawab pertanyaan Savannah, Tia malah tertawa terbahak-bahak di tempatnya hingga membuat mereka berdua menjadi pusat perhatian.
“Hei, kau sudah gila? Kenapa tertawa di sini?” Bisik Savannah malu.
“Maaf, maaf” Gumam Tia dengan sisa-sisa tawanya. “Kau ini lucu sekali. Dari mana datangnya pemikiran itu?” Tanyanya kemudian kembali tertawa membuat Savannah berdecak kesal.
“Tertawalah sampai puas” Ketus Savannah kemudian beranjak dari sana meninggalkan Tia yang masih tertawa dengan langkah cepat. Saking cepatnya, ia terlihat seperti berlari.
Namun, belum jauh ia melangkah, Savannah malah menabrak seseorang hingga berhasil membuat Tia berhenti tertawa saat melihat siapa temannya itu tabrak.
“Maaf, Sir. Maaf. Saya tidak sengaja” Seru Savannah pada Danish, pria yang ia tabrak.
“Berapa usiamu? Bukankah sekarang bukan zamannya lagi untukmu berlarian seperti itu? Terlebih di area kampus seperti ini?” Tanya Danish.
“Maaf, Sir. Tadi saya sedang buru-buru” Jawab Savannah dengan kepala menunduk. Tak berani menatap pria yang ia gosipkan beberapa saat lalu bersama Tia.
“Apa itu alasan yang bisa dilontarkan oleh seorang mahasiswa?” Tanya Danish membuat Savannah menggeram dalam hati.
“Tapi, saya benar-benar sedang terburu-buru, Sir” Ucap Savannah.
“Kelihatannya tidak seperti itu” Ujar Danish dengan mata yang mengarah pada Tia yang berdiri tak jauh di belakang sana hingga membuat gadis itu salah tingkah dan langsung kabur dari sana. Savannah yang menyadari hal itu pun menghela nafas pelan.
“Sekali lagi saya minta maaf atas kecerobohan saya yang sudah menabrak Anda, Sir. Apa yang bisa saya lakukan untuk mengungkapkan permintaan tulus saya, Sir?” Tanya Savannah sabar.
Tanpa menunggu lama, Danish memberikan beberapa buku pada Savannah yang langsung diterima oleh gadis itu tanpa penolakan.
“Bawa itu ke ruangan saya. Sekarang” Pinta Danish.
“Dengan senang hati, Sir” Ucap Savannah dengan senyum terpaksa.
Danish lalu beranjak dari sana meninggalkan Savannah yang mendengus kesal sebelum pergi mengikuti pria itu. Sepanjang perjalanan mereka menuju ruangan Danish, Savannah tak pernah berhenti mengutuk pria itu.
‘Apa-apaan ini? Bukankah ini penyalahgunaan wewenang? Dia memang seorang dosen, tapi menyuruh mahasiswa melakukan ini adalah kesalahan. Lagi pula, bukankah sebelumnya dia bisa membawa buku-buku ini sendirian? Sangat tidak adil. Sama sekali tidak ada unsur keadilan di dalamnya’ Batin Savannah mendumel.
‘Tapi, kalau dilihat-lihat, bahunya lebar sekali. Dia juga sangat tinggi. Langkahnya lebar dan... tubuhnya sangat tegap. Dari belakang, dia terlihat sangat tampan. Walau dari depan juga lebih tampan’ Batin Savannah lagi.
‘Astaga! Apa yang kupikirkan? Kenapa pikiranku jadi kotor seperti ini? Apa ini efek dari film After yang kunonton kemarin? Dasar Savannah gila’ Batin Savannah mengutuk dirinya sendiri.
Savannah pun memukul-mukul kepalanya sendiri untuk mengusir pikiran itu dari kepalanya hingga ia mengaduh kesakitan saat kepalanya membentur sesuatu.
“Aw!” Seru Savannah seraya memegang keningnya. “Apa aku baru saja menabrak tembok?” Tanyanya dengan suara kecil, namun masih bisa terdengar oleh Danish yang berada di depannya.
Sembari mengusap-usap keningnya, Savannah menengadahkan kepalanya dan langsung berhadapan dengan d**a bidang yang sangat kekar hingga membuatnya melotot.
“Apa kepalamu sedang bermasalah? Kenapa kamu selalu menabrak?” Tanya Danish mengalihkan perhatian Savannah.
“Maaf, Sir. Tadi saya kurang fokus” Ucap Savannah menunduk.
“Saya tidak percaya mahasiswa seperti kamu berada di kelas saya” Ujar Danish kemudian berbalik dan masuk ke dalam ruangannya diikuti Savannah yang terus mengutuk dirinya sendiri.
“Letakkan bukunya di sana” Pinta Danish, menunjuk sebuah meja yang berada tak jauh dari meja kerjanya.
“Baik, Sir” Ucap Savannah mengikuti perintah sang dosen. Setelahnya, ia pun segera pamit dari sana. Ia tak bisa berada di dalam sana lebih lama lagi jika tak ingin melakukan kesalahan yang lain.
Sementara Danish menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Savannah yang keluar dari ruangannya sembari memukul-mukul kepalanya sendiri.
-------
Love you guys~