Evelyn menatap frustrasi ponselnya yang layarnya sudah menghitam, dia sadar kalau sudah salah langkah. Gosip yang awalnya dia rencanakan untuk menghempaskan para pria tak berguna memang berhasil. Namun ternyata efek gosip itu seperti bom waktu dengan skala ledakan tertinggi.
Sekarang bukan hanya reputasinya saja yang dipertaruhkan, tapi juga reputasi Joseph. Sekali mendengar saja Evelyn sudah tahu betapa murkanya Joseph saat ini.
Merry yang duduk di depan Evelyn menatap bosnya dengan khawatir. "Apa yang akan Ibu lakukan sekarang?"
Evelyn menghela napas panjang sebelum berdiri. "Saya akan menemui Mister Joseph sekarang. Setidaknya saya harus memikirkan solusi agar tidak memengaruhi reputasi pria itu."
"Bukankah sejak awal saya sudah memperingati Ibu akan konsekuensi dari gosip ini?" tanya Merry yang frustrasi dengan kejadian yang sedang menimpa Evelyn.
Evelyn menghela napas, menyadari kalau Merry benar. "Ya, kamu sudah memperingatkan," akunya. "Tapi saya juga tidak menyangka akan sebesar ini dampaknya."
Merry menatap bosnya dengan ekspresi skeptis. "Dan sekarang, Ibu mau menemui Mister Joseph untuk apa? Meminta maaf?"
Evelyn tertawa kecil, tapi tidak ada humor di dalamnya. "Saya akan menawarkan sebuah kesepakatan."
"Saya harap Ibu tidak menawarkan kesepakatan yang gila," sindir Merry yang kesal dengan tingkah sang atasan.
Namun Evelyn tetaplah Evelyn, dia malah menanggapi ucapan Merry dengan tersenyum lebar. Membuat Merry hanya dapat menatap pasrah kepergian sang atasan.
30 menit kemudian, Evelyn tiba di kafe, dia melihat Joseph duduk di meja paling pojok. Jari-jarinya mengetuk permukaan meja dengan ritme teratur. Rahangnya mengatup erat, ekspresinya menunjukkan ketidaksabaran.
Ketika Evelyn mendekati, Joseph langsung mengangkat kepalanya, menatap wanita itu dengan amarah yang membara.
"Sekarang katakan apa yang akan kamu perbuat dengan gosip yang semakin memanas ini? Aku dibebastugaskan dari status sebagai wali kelas," tanya Joseph dengan nada menuntut.
Evelyn lantas duduk di hadapan Joseph, meletakkan tas dengan elegan, lalu tersenyum seolah situasi mereka bukan masalah besar. "Baiklah, saya akan langsung ke intinya. Aku ingin kita berpura-pura berpacaran."
Joseph menatapnya dengan ekspresi tak percaya. "Apa?"
Evelyn bersandar santai. "Kita berpura-pura berpacaran di depan semua orang. Dengan begitu, gosip ini bisa kita kendalikan sebelum semakin liar. Orang-orang akan berpikir ini hanya berita yang dilebih-lebihkan, dan mereka akan bosan lebih cepat."
Joseph mendengus. "Dan kamu pikir aku akan setuju begitu saja? Meskipun aku serius denganmu, aku tidak akan mengawali hubungan dengan kepura-puraan."
Evelyn menaikkan satu alis. "Apa Mister Joseph punya pilihan lain?"
Joseph mengepalkan tangannya. Dia benci mengakui bahwa wanita ini ada benarnya. Jika dia menolak, media akan terus menggali, bahkan bisa berdampak lebih buruk pada pekerjaannya.
"Bukankah ini adalah jalan keluar yang terbaik bagi kita berdua saat ini, Mister Joseph?" tanya Evelyn yang sebenarnya tak membutuhkan jawaban.
Evelyn tetap menatap Joseph dengan penuh percaya diri, seakan-akan solusi yang ditawarkan olehnya adalah jalan keluar yang memengaruhi hidup dan mati Joseph.
Setelah berpikir beberapa saat, Joseph akhirnya menatap tajam Evelyn sembari menghela napas panjang. "Kalau aku setuju, apa jaminannya kalau gosip ini tidak akan berimbas kepada kehidupanku?"
Evelyn tersenyum tipis. "Aku tidak bisa menjanjikan hal yang tak pasti, tapi aku yakin jika semua orang pasti akan penasaran dengan 'hubungan' kita," ucap Evelyn sembari membuat isyarat dengan kedua jari telunjuk dan tengah.
Joseph menatap Evelyn lama, mencoba membaca niat di balik mata wanita itu dalam memintanya untuk berpura-pura berpacaran. Dia tahu Evelyn adalah orang yang cermat dan penuh perhitungan dalam bertindak. Jadi sudah sewajarnya jika dia mencurigai motif Evelyn, bukan?
Akhirnya setelah berpikir beberapa saat, dengan hati yang berat Joseph menjawab, "Baik. Aku setuju."
Evelyn tersenyum puas sebelum Joseph kembali bersuara. "Tapi dengan satu syarat."
Evelyn tanpa sadar mendengus saat mendengar suara Joseph yang tegas. Dia mengangkat dagu, menunggu apa yang akan pria itu katakan.
"Jika dalam hubungan ini aku berhasil mendapatkan hatimu ... maka aku mau kita melangkah ke hubungan yang lebih serius."
"Mister sepertinya kurang memahami ucapan saya tempo hari ... saya tegaskan jika tidak akan ada hubungan romansa di antara kita berdua," ucap Evelyn dengan mata menggelap.
"Kalau begitu aku akan mengambil resiko kehilangan pekerjaan sebagai seorang guru dan memilih profesi yang lain," sahut Joseph sembari berpura-pura memasang raut wajah menyesal.
Evelyn menggeram kesal atas tingkah Joseph yang menyebalkan itu, sebelum dia dapat menyahuti Joseph, terdengar suara riuh di sekitar mereka. Keduanya mengalihkan pandangan dan melihat orang-orang yang memandang sinis ke arah mereka.
"Jadi bagaimana, Evelyn? Apa kamu setuju dengan poin tambahan dariku?" tanya Joseph dengan senyum kemenangan.
Evelyn akhirnya mengulurkan tangan dengan senyum penuh penuh paksaan. "Baiklah. Saya setuju."
Joseph menatap tangan itu sejenak sebelum akhirnya menjabatnya dengan senyuman lebar. Evelyn yang melihat itu hanya dapat menahan rasa muak di dalam dadanya.
"Sekarang mari tunjukkan kepada mereka kalau kita adalah pasangan yang saling mencintai," ucap Joseph sembari mengulurkan tangan ke arah Evelyn.
Namun Evelyn hanya menatap bimbang, merasa sesuatu yang besar akan terjadi saat dia menyambut uluran tangan itu.
"Bagaimana kamu dapat menyakinkan orang banyak jika aku adalah kekasihmu kalau kamu terlihat ragu seperti ini?" tanya Joseph yang membuat wajah Evelyn memerah karena malu.
Evelyn mengepalkan tangannya di bawah meja sebelum akhirnya menyambut uluran tangan Joseph dengan gerakan cepat.
"Ayo pergi," ucapnya dengan nada penuh keterpaksaan.
Joseph tersenyum puas, lalu dengan santai menarik Evelyn lebih dekat sebelum mereka melangkah keluar dari kafe. Tatapan para pengunjung masih tertuju pada mereka, beberapa bahkan mulai mengambil foto dan merekam momen kebersamaan Joseph dan Evelyn.
Evelyn terkejut saat Joseph menggenggam tangannya, sentuhan pria itu terasa nyaman. Bahkan saat Evelyn berpegangan tangan dengan Ronald saat mereka berpacaran dulu, genggaman pria itu tak senyaman genggaman Joseph.
'Aku harap ini hanyalah perasaanku saja,' gumam Evelyn di dalam hatinya.
***
Keesokan harinya, berita tentang mereka menyebar lebih luas. Foto keduanya saat keluar dari kafe dengan tangan saling menggenggam menjadi headline di berbagai media gosip.
'Evelyn Martinus dan Joseph Benjamin bergandengan tangan dengan pose yang begitu mesra. Apakah mereka sudah go publik?'
'Cinta Antara Wali Kelas dan Orang Tua Murid. Apakah Cinta Mereka Akan Bertahan Lama atau Kandas di tengah Jalan.'
Evelyn membaca artikel itu dengan mendengus kesal. "Mesra apanya?" gerutunya.
Merry yang duduk di hadapannya hanya tersenyum miring. "Yah, setidaknya citra Ibu dan Mister Joseph mulai membaik. Orang-orang mulai percaya kalau Ibu memang benar-benar berpacaran. Meskipun ada rumor lain yang menyertainya."
"Cepat katakan rumor apa itu." Titah Evelyn saat melihat Merry hanya terdiam.
"Percintaan antara janda muda dan bujang tua," jawab Merry yang lalu menunduk.
Evelyn mendesah, lalu menutup ponselnya. "Ini baru permulaan, Merry. Saya harus memastikan semua ini berjalan sesuai rencana. Bagaimana dengan reaksi si b******k itu?"
"Jika maksud Ibu itu Pak Ronald. Mantan Ibu terlalu tenang saat ini. Memangnya Pak Ronald nggak ada menghubungi Ibu?" tanya Merry.
"Tidak ada dan sejujurnya aku curiga dengan aksi diamnya ini. Dia itu orang yang meledak-ledak dan tidak akan tinggal diam melihatku bersama pria lain," ujar Evelyn, matanya menyipit penuh kecurigaan.
Merry mengangguk. "Jadi Ibu yakin dia sedang merencanakan sesuatu?"
"Sudah pasti." Evelyn menyandarkan punggungnya di kursi, mencoba menenangkan pikirannya. "Ronald bukan tipe pria yang menerima kekalahan begitu saja. Saya hanya perlu bersiap untuk segala kemungkinan."
Belum sempat Merry menanggapi, ponsel Evelyn bergetar di meja. Nama Ronald terpampang jelas di layar.
Merry menatap bosnya dengan ekspresi penuh arti. "Sepertinya dia tidak akan membiarkan Ibu tenang terlalu lama."
Evelyn hanya menanggapi ucapan Merry dengan senyuman liciknya.