Bab 9. Aku Serius denganmu, Evelyn

1210 Kata
Dua hari kemudian, saat sore menjelang Evelyn melajukan mobilnya menuju lokasi yang dikirimkan Joseph. Sebuah coffe shop yang berada di pusat kota. Begitu tiba, Evelyn turun dari mobil dengan anggun, mengenakan blouse berwarna merah yang dipadukan dengan celana hitam. Ditambah dengan aksesori yang membuat tampilan wanita itu terlihat lebih elegan. Saat masuk, matanya langsung menemukan sosok Joseph yang sudah duduk santai di sudut ruangan. Pria itu tampak berkarisma dengan kemeja hitam yang lengannya tergulung, rambut tersisir rapi dan ekspresi penuh percaya diri yang membuatnya terlihat semakin berbahaya. 'Aku lebih percaya dia adalah eksekutif muda daripada seorang guru,' ucap Evelyn di dalam hatinya saat selesai menilai penampilan Joseph. Evelyn lalu menarik napas sebelum melangkah ke arah pria itu. "Sir Joseph," sapanya datar lalu menarik kursi dan duduk tanpa menunggu Joseph mempersilakannya. Joseph tersenyum tipis seraya mengangkat alisnya. "Kamu terlalu formal. Kupikir kita sudah cukup akrab, apalagi malam itu kamu begitu liar. Sejujurnya aku jadi mau mengulanginya lagi saat kita menikah nanti." Evelyn memdelikkan mata saat mendengar perkataan Joseph yang vulgar itu, tapi dia memilih tak menanggapi dan melipat tangannya di atas meja. "Saya tidak punya waktu untuk berbasa-basi. Sekarang cepat katakan apa yang ingin Mister bicarakan tentang Timoti?" kata Evelyn dengan nada tegas. Joseph menatapnya sejenak sebelum menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Tenanglah, Evelyn. Aku memang ingin membicarakan Timoti, tapi kurasa ada hal lain yang lebih menarik." Evelyn menatapnya tajam. "Kalau Mister hanya ingin bermain-main, saya akan pergi sekarang. Masih banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan." Namun sebelum Evelyn bangkit, Joseph mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap langsung ke dalam mata Evelyn. Aroma maskulin yang menguar dari tubuh Joseph mengejutkan Evelyn dan mengingatkannya pada malam panas membara itu. Dia otomatis memundurkan tubuhnya, tak mau terperangkap lebih dalam akan pesona Joseph. Rupanya reaksi Evelyn tertangkap oleh Joseph yang langsung menyunggingkan seringai puasnya. "Aku membaca artikel tentangmu yang berciuman dengan seorang pria di klub malam. Pria itu jelas adalah aku, tapi siapapun yang menyebar gosip itu ... dia tidak mempublikasi wajahku dengan terang-terangan. Sejujurnya aku sangat penasaran dengan hal itu." Dari jarak beberapa meja dari tempat keduanya berada. Seseorang mengarahkan kamera ponselnya ke arah mereka dengan senyum riang. Dia mengambil banyak foto Joseph yang terlihat seperti mencium Evelyn. Kali ini baik Evelyn maupun Joseph menyadarinya, jika saja Evelyn tak mencegah pria itu dengan mengajaknya bicara, dia yakin Joseph akan mendatangi orang itu dan menegurnya untuk berhenti. Joseph menyipitkan mata ke arah meja yang dimaksud, tapi Evelyn buru-buru menyela. "Jangan buat keributan di sini," bisiknya, mencoba tetap tenang meski jelas ada kekesalan di wajahnya. Joseph menatapnya sejenak sebelum bersandar kembali ke kursinya, bibirnya melengkung dalam seringai tipis. "Kamu khawatir? Kupikir kamu tidak peduli dengan berita seperti itu." Evelyn mendengus pelan dan membuat alasan senatural mungkin agar Joseph tidak mencurigai jika dia ingin memanfaatkan gosip ini demi untuk melancarkah tujuannya. "Saya memang tidak peduli, tapi saya tidak suka difoto diam-diam, apalagi dengan pria seperti Mister." Joseph terkekeh, matanya berbinar jahil. "Pria sepertiku? Seperti apa maksudmu?" Evelyn menyilangkan tangan di dadanya. "Sombong dan percaya diri secara berlebihan." Joseph justru terlihat semakin senang dengan deskripsi yang dijabarkan oleh Evelyn. "Terima kasih atas pujiannya." Evelyn mengerang pelan, sadar kalau membalas perkataan pria ini hanya akan membuatnya kehabisan energi. Maka dari itu dia memilih mengabaikannya dan kembali ke inti pembicaraan. "Jadi ... apa yang ingin Mister bicarakan soal Timoti?" tanyanya, kembali menegaskan. Joseph menatapnya sebentar sebelum Evelyn tetap diam, matanya menatap tajam ke arah Joseph yang kini menyunggingkan senyum penuh arti. "Timoti adalah anak yang cerdas, dia periang yang mampu menghidupkan suasana. Tapi ada kalanya dia pemurung dan sukar untuk didekati. Mungkin pertengkaran Timoti dengan temannya dipicu oleh salah satu faktor ...." Joseph sengaja menggantung ucapannya, guna melihat reaksi Evelyn. Setelah yakin mendapatkan semua perhatian wanita itu, Joseph melanjutkan kalimatnya. "Aku menyimpulkan kalau dia sebenarnya memendam sesuatu yang sulit untuk dia katakan kepada orang dewasa yang ada di sekitarnya." "Apa maksud Mister?. Timoti itu adalah anak yang diam dan penurut. Ucapan Sir terlalu berlebihan," bantah Evelyn dengan nada suara meninggi. "Tapi apakah Timoti pernah mengamuk hebat sampai orang-orang yang ada di rumah kewalahan menghadapinya?" tanya Joseph. "Sepertinya Mister hanya menanyakan sesuatu yang sepele. Timoti tentu pernah mengamuk ...." Namun Evelyn tak dapat melanjutkan ucapannya saat teringat jika Timoti tak pernah tantrum. Anak itu memang sering menangis dan merajuk, tapi dalam hitungan detik kembali seperti sedia kala. Seperti ada sesuatu di dalam diri Timoti yang mengendalikan emosinya. Joseph yang melihat perubahan reaksi Evelyn hanya terdiam, membiarkan wanita itu mengambil waktu sejenak untuk merenung. Evelyn mengalihkan pandangannya ke luar jendela, mencoba mengatur napasnya yang tiba-tiba terasa berat. Kata-kata Joseph barusan seperti menusuk sesuatu yang selama ini dia abaikan. Timoti memang layaknya anak kecil pada umumnya yang suka mengamuk dan merengek, tetapi ada saat-saat di mana dia terlihat sangat sedih dan tertutup. Setiap kali Evelyn menanyakan ada apa, bocah itu hanya tersenyum dan mengalihkan pembicaraan. Dan sekarang, mendengar Joseph mengungkit hal itu, Evelyn jadi bertanya-tanya ... Apakah Timoti benar-benar baik-baik saja selama ini? "Aku tidak bermaksud membuatmu gelisah." Suara Joseph kembali membuyarkan pikirannya. "Aku hanya ingin memahami muridku lebih dalam. Aku merasa Timoti berbeda dari anak-anak lainnya, dan itu bukan hal buruk. Aku hanya ingin tahu ... apakah ada sesuatu yang dia sembunyikan di dalam hatinya." Evelyn mengepalkan tangannya. "Timoti baik-baik saja," ulangnya dengan suara lebih tegas, seolah meyakinkan dirinya sendiri. Joseph mengangguk pelan, meski sorot matanya masih penuh dengan rasa ingin tahu. "Baiklah, kalau begitu aku akan berhenti menanyakan hal ini," katanya, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. Namun, Evelyn tahu percakapan ini tidak benar-benar berakhir. Dan yang lebih mengganggunya ... mungkin, di lubuk hatinya, dia sendiri mulai ragu. Apakah selama ini dia benar-benar memahami perasaan Timoti? Ataukah dia hanya meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya baik-baik saja? Evelyn meremas jemarinya di pangkuan, pikirannya berkecamuk. Timoti memang anak yang baik, tapi sekarang dia tak dapat mengabaikan kecurigaan yang mulai merayap ke dalam hatinya. Sementara itu, Joseph tetap mengamatinya dengan tatapan penuh arti, seolah menikmati ekspresi gamang yang ditunjukkan oleh Evelyn. "Tapi aku senang kita bisa bertemu lagi di situasi seperti ini," lanjut Joseph santai, mengambil cangkir kopinya dan menyeruputnya pelan. "Selain membahas Timoti, aku juga ingin membicarakan sesuatu yang lebih ... personal." Evelyn menghela napas, sudah menduga pria itu tidak akan membiarkan pertemuan ini berlalu begitu saja tanpa mengganggunya. "Apa lagi sekarang?" tanya Evelyn yang berusaha terdengar tidak peduli. Joseph menyandarkan tubuhnya dan menautkan jari-jarinya di depan d**a. "Tentang kita," jawabnya ringan, seolah itu adalah hal paling wajar untuk dibahas. Evelyn mengerutkan kening. "Maksud Mister?" "Jangan pura-pura tidak tahu, Evelyn. Malam itu bukan sekadar kesalahan, 'kan?" Jantung Evelyn mencelos, tapi ia segera menegakkan punggung dan menatap Joseph dengan tajam. "Itu adalah kesalahan karena saya terlalu mabuk. Tidak lebih dari itu." Joseph terkekeh pelan, seolah sudah menduga jawaban itu. "Kalau begitu, kenapa kamu kelihatan begitu gelisah sekarang?" tanyanya dengan suara rendah, matanya mengunci Evelyn seperti seorang pemburu yang mengincar mangsanya. Evelyn mendengus, merasa dirinya dipermainkan. "Jika tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, saya akan pergi." Dia bangkit dari kursinya, tetapi sebelum ia sempat melangkah, Joseph menahan pergelangan tangannya dengan lembut namun cukup kuat. "Evelyn," panggilnya, kali ini dengan nada yang lebih serius. Wanita itu menoleh, dan untuk sesaat, dia bisa melihat sesuatu di mata Joseph—sesuatu yang berbeda dari keisengan dan godaan yang biasa pria itu tunjukkan. "Aku ingin menjalin hubungan yang serius denganmu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN